Akhlak Mulia, Berani Mengakui Kesalahan
Oleh Abdullah Imam Kebumen
Rasulullah pernah bersabda,
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“ Setiap anak Adam pasti bersalah. Namun sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah yang segera bertaubat.” HR. Ibnu Majah.
Setiap dari kita tidak mungkin terluput dari yang namanya dosa dan kesalahan saat mengarungi bahtera kehidupan ini. ini merupakan salah satu sunnatullah yang wajib untuk kita yakini. Bahwa sisi pandang dan nilai seseorang bukanlah yang tidak pernah bersalah. Namun yang jadi tolok ukur adalah yang terjatuh untuk segera bangkit, yang berbuat kekeliruan untuk segera kembali, yang berbuat dosa untuk segera bertaubat. Tertanam pula dalam benaknya rasa penyesalan yang dalam serta azam untuk tidak kembali terjatuh, untuk tidak kembali keliru dan untuk tidak kembali berbuat dosa.
Alllah menyatakan dalam sebuah ayatNya;
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah dan segera memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka– dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah?– serta tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” Ali Imran: 135.
Kenyataan, tidak semua orang mampu atau diberi taufik oleh Allah untuk mau merunduk menyadari lalu menginjak pedal rem kekhilafan. Dibutuhkan jiwa yang besar untuk mau sadar diri, mau kembali dan berhenti saat terjatuh dalam lubang pelanggaran.
Mari sejenak membaca sebuah kisah berharga yang dibawakan oleh al imam Ibnul ‘Arabi dalam kitab Ahkamul Qur’an saat menjelaskan ayat ke 226 dari surat al Baqarah;
أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ قَاسِمٍ الْعُثْمَانِيُّ غَيْرَ مَرَّةٍ: وَصَلْت الْفُسْطَاطَ مَرَّةً، فَجِئْت مَجْلِسَ الشَّيْخِ أَبِي الْفَضْلِ الْجَوْهَرِيِّ، وَحَضَرْت كَلَامَهُ عَلَى النَّاسِ، فَكَانَ مِمَّا قَالَ فِي أَوَّلِ مَجْلِسٍ جَلَسْت إلَيْهِ: إنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – طَلَّقَ وَظَاهَرَ وَآلَى، فَلَمَّا خَرَجَ تَبِعْته حَتَّى بَلَغْت مَعَهُ إلَى مَنْزِلِهِ فِي جَمَاعَةٍ، فَجَلَسَ مَعَنَا فِي الدِّهْلِيزِ، وَعَرَّفَهُمْ أَمْرِي، فَإِنَّهُ رَأَى إشَارَةَ الْغُرْبَةِ وَلَمْ يَعْرِفْ الشَّخْصَ قَبْلَ ذَلِكَ فِي الْوَارِدِينَ عَلَيْهِ، فَلَمَّا انْفَضَّ عَنْهُ أَكْثَرُهُمْ قَالَ لِي: أَرَاك غَرِيبًا، هَلْ لَك مِنْ كَلَامٍ؟ قُلْت: نَعَمْ. قَالَ لِجُلَسَائِهِ: أَفْرِجُوا لَهُ عَنْ كَلَامِهِ. فَقَامُوا وَبَقِيت وَحْدِي مَعَهُ. فَقُلْت لَهُ: حَضَرْت الْمَجْلِسَ الْيَوْمَ مُتَبَرِّكًا بِك، وَسَمِعْتُك تَقُولُ: آلَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَصَدَقْت، وَطَلَّقَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَصَدَقْت.
وَقُلْت: وَظَاهَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَهَذَا لَمْ يَكُنْ، وَلَا يَصِحُّ أَنْ يَكُونَ؛ لِأَنَّ الظِّهَارَ مُنْكَرٌ مِنْ الْقَوْلِ وَزُورٌ؛ وَذَلِكَ لَا يَجُوزُ أَنْ يَقَعَ مِنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -. فَضَمَّنِي إلَى نَفْسِهِ وَقَبَّلَ رَأْسِي، وَقَالَ لِي: أَنَا تَائِبٌ مِنْ ذَلِكَ، جَزَاك اللَّهُ عَنِّي مِنْ مُعَلِّمٍ خَيْرًا. ثُمَّ انْقَلَبْت عَنْهُ، وَبَكَّرْت إلَى مَجْلِسِهِ فِي الْيَوْمِ الثَّانِي، فَأَلْفَيْته قَدْ سَبَقَنِي إلَى الْجَامِعِ، وَجَلَسَ عَلَى الْمِنْبَرِ، فَلَمَّا دَخَلْت مِنْ بَابِ الْجَامِعِ وَرَآنِي نَادَى بِأَعْلَى صَوْتِهِ: مَرْحَبًا بِمُعَلِّمِي؛ أَفْسِحُوا لِمُعَلِّمِي، فَتَطَاوَلَتْ الْأَعْنَاقُ إلَيَّ، وَحَدَّقَتْ الْأَبْصَارُ نَحْوِي، وَتَعْرِفنِي: يَا أَبَا بَكْرٍ يُشِيرُ إلَى عَظِيمِ حَيَائِهِ، فَإِنَّهُ كَانَ إذَا سَلَّمَ عَلَيْهِ أَحَدٌ أَوْ فَاجَأَهُ خَجِلَ لِعَظِيمِ حَيَائِهِ، وَاحْمَرَّ حَتَّى كَأَنَّ وَجْهَهُ طُلِيَ بِجُلَّنَارٍ قَالَ: وَتَبَادَرَ النَّاسُ إلَيَّ يَرْفَعُونَنِي عَلَى الْأَيْدِي وَيَتَدَافَعُونِي حَتَّى بَلَغْت الْمِنْبَرَ، وَأَنَا لِعَظْمِ الْحَيَاءِ لَا أَعْرِفُ فِي أَيْ بُقْعَةٍ أَنَا مِنْ الْأَرْضِ، وَالْجَامِعُ غَاصٌّ بِأَهْلِهِ، وَأَسَالَ الْحَيَاءُ بَدَنِي عَرَقًا، وَأَقْبَلَ الشَّيْخُ عَلَى الْخَلْقِ، فَقَالَ لَهُمْ: أَنَا مُعَلِّمُكُمْ، وَهَذَا مُعَلِّمِي؛ لَمَّا كَانَ بِالْأَمْسِ قُلْت لَكُمْ: آلَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَطَلَّقَ، وَظَاهَرَ؛ فَمَا كَانَ أَحَدٌ مِنْكُمْ فَقُهَ عَنِّي وَلَا رَدَّ عَلَيَّ، فَاتَّبَعَنِي إلَى مَنْزِلِي، وَقَالَ لِي كَذَا وَكَذَا؛ وَأَعَادَ مَا جَرَى بَيْنِي وَبَيْنَهُ، وَأَنَا تَائِبٌ عَنْ قَوْلِي بِالْأَمْسِ، وَرَاجِعٌ عَنْهُ إلَى الْحَقِّ؛ فَمَنْ سَمِعَهُ مِمَّنْ حَضَرَ فَلَا يُعَوِّلْ عَلَيْهِ. وَمَنْ غَابَ فَلْيُبَلِّغْهُ مَنْ حَضَرَ؛ فَجَزَاهُ اللَّهُ خَيْرًا؛ وَجَعَلَ يَحْفُلُ فِي الدُّعَاءِ، وَالْخَلْقُ يُؤَمِّنُونَ
Ringkas cerita, suatu hari Muhammad bin Qasim al Utsmani menghadiri kajian ilmu yang disampaikan oleh Abul Fadhl al Jauhari. Saat itu, abul Fadhl menyampaikan bahwa rasulullah pernah menjatuhkan talak, mengucapkan zihar dan melakukan ila. Setelah kajian selesai, Muhammad bersama beberapa orang yang lain mengikuti abul fadhl untuk berkunjung ke rumahnya. Terjadilah perbincangan dalam rumah tersebut. Suatu ketika abul fadhl melihat orang asing yang tidak lain adalah Muhammad bin Qasim. Dia bertanya, “Aku belum pernah melihatmu, adakah yang ingin kau sampaikan?”. Muhammad menjawab, “Iya. Hari ini aku menghadiri majlismu dan mendengar penyampaianmu bahwa Rasulullah pernah menjatuhkan talak, mengucapkan zihar dan melakukan ila. Tentang masalah talak, engkau benar. Tentang masalah ila, engkau benar. Adapun tentang masalah zihar maka ini tidak benar. Karena ucapan zihar adalah ucapan yang mungkar dan keji dan yang demikian ini tidak mungkin terjadi pada diri nabi.”
Setelah mendengar ucapan tersebut, saat itu pula Abul Fadhl memeluk dan mencium kepala Muhammad seraya berkata, “Mulai saat ini aku bertaubat dari pendapat tersebut. Semoga Allah membalas engkau dengan kebaikan.”
Lalu keesokan hari, Muhammad sengaja datang lebih awal ke majlis Abul Fadhl. Tidak disangka, abul Fadhl telah lebih dahulu berada di tempat kajian. Tatkala dia melihat Muhammad segera dia memanggilnya dengan suara keras “Selamat datang wahai guruku. Beri tempat untuk guruku!” Maka ketika itu pula para hadirin mengarahkan pandangan ke Muhammad dan memuliakannya, sementara Muhammad tersipu malu. Kemudian Abu Fadhl berkata;
“Aku adalah guru kalian dan ini adalah guruku. Kemarin aku mengatakan bahwa Nabi pernah melakukan ‘ila, talak dan zhihar. Tidak ada seorangpun dari kalian yang mengingatkan dan menegurku.”
Dia melanjutkan;
“orang ini (yakni Muhammad) telah menegurku. Maka aku bertaubat dari ucapanku kemarin dan rujuk kepada kebenaran. Bagi yang hadir kemarin maka jangan mengambil pendapat tersebut. Bagi yang tidak hadir hari ini maka yang hadir hendaknya menyampaikannya. Semoga Alllah membalasnya dengan kebaikan.” Lalu Abul Fadhl berdoa yang kemudian diaminkan oleh para hadirin.
Subhanallah!
Apakah yang demikian ini masih bisa kita temukan pada zaman kita sekarang ini? Seorang pemimpin, pembesar atau seorang alim yang punya jiwa besar untuk mau menerima masukan, menyadari dan mengakui kesalahan. Tahu diri sekaligus merunduk tanpa memperdulikan status, jabatan atau kedudukan dirinya ditengah-tengah manusia. Mau sadar diri membuka hati untuk bertaubat dan berhenti dari kekhilafan.
Mintalah taufik kepada Allah Rabbul ‘alamin!
Allahu a’lam bishshawwab. Semoga bermanfaat.