“Amar Ma’ruf Nahi Mungkar” yang benar

 

Oleh Dawud Malang 

 

Amar ma’ruf nahi munkar (memerintah kepada yang baik dan melarang dari yang mungkar) merupakan salah satu pokok agama Islam. Amar ma’ruf nahi munkar memiliki aturan dan metode yang telah digariskan oleh syariat Islam yang sempurna ini. Dengannya, akan membuahkan hasil yang baik sesuai dengan tujuan diperintahkannya amar ma’ruf nahi munkar.

Bimbingan ulama dalam amar ma’ruf nahi munkar

Sebuah atsar yang disebutkan oleh al-Qadhi Abu Ya`la rahimahullah dalam al-Mu`tamad:

لا يأمر بالمعروف وينهى عن المنكر إلا من كان فقيها فيما يأمر به، فقيها فيما ينهى عنه، رفيقا فيما يأمر به، رفيقا فيما ينهى عنه؛ حليما فيما يأمر به، حليما فيما ينهى عنه

“Amar ma’ruf nahi munkar tidak boleh dilakukan kecuali oleh seorang fakih (mengerti) tentang sesuatu yang ia perintahkan, begitu pula sesuatu yang ia larang. Bersikap lembut pada yang ia perintahkan atau yang dia larang. Halim (sabar dan tidak terburu-buru) dalam perkara yang ia perintahkan dan perkara yang ia larang.”[1]

Pada atsar di atas, terdapat padanya tiga perangai inti yang harus ada pada setiap orang yang melakukan amar maruf nahi munkar. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menegaskan:

فلا بد من هذه الثلاثة: العلم، والرفق، والصبر. العلم قبل الأمر والنهي، والرفق معه، والصبر بعده، وإن كان كل من الثلاثة مستصحبا

“Bahwa tiga sifat ini (berilmu, bersikap lembut, dan selalu sabar) harus dimiliki. Berilmu sebelum memerintahkan atau mencegah kemunkaran, bersikap lembut dalam mengerjakannya, serta sabar atas segala hal yang akan menimpanya. Tiga hal ini harus ada pada semua keadaan.”[2]

ولا بد أيضا أن يكون حليما صبورا على الأذى: فإنه لا بد أنيحصل له أذى؛ فإن لم يحلم ويصبر كان ما يفسد أكثر مما يصلح: كما قال لقمان لابنه:

Beliau rahimahullah juga mengatakan: “Pelaku amar ma`ruf nahi munkar seharusnya ia halim {bersikap lembut}, shobuur {selalu sabar} dalam menghadapi segala gangguan. Karena ia pasti akan menghadapi hal tersebut. Jika ia tidak bersikap lembut dan sabar, maka yang ia rusak akan lebih banyak dari yang ia perbaiki. Sebagaimana wasiat Luqman al-Hakim kepada anaknya,

وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ

“Dan perintahkanlah  kepada kebaikan dan cegahlah dari kemunkaran kemudian bersabarlah atas segala yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal yang diwajibkan oleh Allah Ta`ala.” (QS. Luqman: 17)

ولهذا أمر الله الرسل – وهم أئمة الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر – بالصبر

“Oleh karenanya, Allah Ta`ala memerintahkan para Rasul untuk sabar, karena merekalah para pemimpin yang selalu memerintahkan kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar.”[3]

 

Diam dari kemungkaran, sebab mendapat dosa

Jika sebuah kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan adalah sebab kejelekan dan permusuhan, maka seorang yang diam dan tidak mencegah kemungkaran telah berbuat dosa. Ada sebagian kelompok yang lain yang mencegah kemungkaran tersebut namun dengan cara yang munkar {yang tidak dibenarkan}, maka itu juga dosa bagi mereka, karena yang demikian itu akan menimbulkan perpecahan, perselisihan, dan kejelekan. Inilah ujian terbesar serta kerusakan, baik pada masa lalu ataupun masa kini.

 

Tujuan amar ma’ruf nahi munkar

Ketahuilah wahai saudaraku! Bahwa tujuan dari amar ma`ruf nahi munkar ialah menciptakan lingkungan yang baik, lingkungan yang selalu dibangun di atas Al-Qur`an dan As-Sunnah. Karena munculnya berbagai kemaksiatan, penyelisihan terhadap syariat adalah sebab terjadinya kerusakan dan juga tidak adanya amar ma`ruf nahi munkar.

Itulah di antara tujuan ditegakkannya amar maruf nahi munkar. Maka merupakan suatu hal yang bertolak belakang jika seorang atau suatu kelompok yang menegakkan amar maruf nahi munkar, namun justru menimbulkan kerusakan lainnya. Bukan hanya kerusakan dalam bentuk fisik, tindakan mereka juga menimbulkan kerusakan dalam bentuk maknawi. Seperti kehancuran sendi-sendi kehidupan sosial, tumbuhnya sikap saling curiga di tengah sebuah komunitas, saling melempar fitnah dan adu domba, saling melecehkan dan menjatuhkan kehormatan, menebar kebencian , dan selainnya.

Kerusakan maknawi tentu lebih dahsyat pengaruhnya dibandingkan kerusakan fisik. Oleh karenanya, ketahuilah! Bahwa menghentikan sebuah kemunkaran hendaknya benar-benar ditunaikan dengan landasan ilmu, penuh hikmah, dan mengedepankan nasehat yang disertai dengan kesantunan.

Ingatlah! Melawan sebuah kemunkaran tidak semata bermodal semangat, namun harus memiliki pertimbangan, melihat dampaknya, serta melihat objek atau pelaku kemungkaran. Yang tak kalah pentingnya, kita harus melihat kepada diri kita, apakah kita pantas untuk menjadi pihak yang berhak untuk mencegah kemungkaran?

Mudah-mudahan Alah memberikan kita hikmah dan ilmu yang bermanfaat, menjadikan kita orang-orang yang peduli terhadap saudara-saudara kita dengan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Amin

 

Sumber: kitab al-Amru bil Ma`ruf wan Nahi `nil Munkar li Ibni Taimiyyah rahimahullah.

 

[1] Al-Amru bil Ma`ruf wan Nahi `anil munkar li Ibni Taimiyyah Hal.21

[2] Al-Amru bil Ma`ruf wan Nahi `anil munkar li Ibni Taimiyyah Hal.20

[3]Al-Amru bil Ma`ruf wan Nahi `anil munkar li Ibni Taimiyyah Hal.19

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.