Apa Itu Ilmu Syar’i?
Oleh Muhammad Dhafin, Takmili
Al-‘Ilmu (ilmu) secara bahasa yaitu lawan dari al-jahlu (kebodohan), yaitu: mengetahui sesuatu secara hakikat aslinya.
Adapun secara terminologi, al-‘ilmu (ilmu) bermakna: al-fiqhu (pemahaman). Dan ilmu adalah lawan dari kebodohan. Berkata sebagian ulama lainnya dari kalangan ahlul ilmi bahwasanya ilmu lebih dalam dari sekedar pemahaman.
Ilmu yang Menjadi Topik Pembahasan Kita
Ilmu yang kami maksud adalah ilmu syar’i. Yaitu ilmu yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya berupa keterangan dan petunjuk. Ilmu yang padanya terdapat pujian dan sanjungan adalah ilmu wahyu, yaitu ilmu yang hanya Allahlah yang menurunkannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan untuknya, maka akan Allah fahamkan dia ilmu agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا , وَإِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ , فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar (mata uang dari emas) dan tidak pula dirham (mata uang dari perak), namun yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Abu Dawud no. 3641)
Ilmu Syar’i, Warisan Para Nabi
Sebagaimana yang kita ketahui, bahwasannya yang diwariskan oleh para nabi itu hanyalah ilmu syariat yang Allah ‘Azza wa Jalla turunkan, bukan selainnya. Para nabi tidak mewariskan kepada manusia ilmu industri dan apa-apa yang berkaitan dengannya.
Bahkan tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke kota Madinah, beliau mendapati sekumpulan sahabat sedang melakukan proses pembuahan (penyerbukan) pohon kurma.
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat mereka lelah, beliau mengatakan bahwa tidak perlu sampai begitu. Para sahabat pun akhirnya mematuhi Nabi dan meninggalkan pekerjaan mereka. Namun pohon kurma itu pun menjadi rusak, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka:
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ
“Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian.” (HR. Muslim no. 2363)
Kalau seandainya ilmu tentang perkara seperti ini merupakan ilmu yang mengandung pujian, niscaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling mengetahui ilmu tersebut. Karena orang yang paling banyak dipuji karena ilmu dan amalnya adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh karena itu, maka ilmu yang terpuji dan pelakunya mendapat pujian adalah ilmu syar’i. Walaupun demikian, saya tidak mengingkari adanya faedah pada selain ilmu syar’i. Namun faedah itu (akan tercapai) dengan ketentuan:
- Jika ilmu itu membantu terhadap ketaatan kepada Allah, menolong agama-Nya, dan para hamba Allah mendapatkan manfaat Maka ilmu itu menjadi sesuatu yang baik dan mengandung maslahat. Bahkan terkadang mempelajarinya menjadi wajib pada kondisi tertentu, apabila hal tersebut masuk ke dalam firman Allah:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang.” (QS. Al-Anfal: 60)
Kebanykan ahlul ilmi mengatakan bahwasannya mempelajari ilmu yang seperti ini hukumnya fardhu kifayah. Karena manusia butuh ilmu tentang tata boga, minuman, dan ilmu-ilmu bermanfaat lainnya. Apabila tidak ada orang yang mempelejari ilmu keterampilan seperti ini, maka hukum mempelajarinya adalah fardhu kifayah.
Pada masalah ini terdapat perselisihan pendapat di antara ahlul ilmi, akan tetapi yang aku pegang bahwa ilmu yang terpuji adalah ilmu syar’i yaitu memahami kitabullah (al-Qur’an) dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Adapun selain ilmu syar’i, maka ada yang bisa menjadi perantara kepada kebaikan, adapula yang mengantarkan kepada kejelekan. Maka hukum mempelajarinya sesuai dengan tujuannya.
Akhir Kata
Semoga penjelasan yang sedikit ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Wabillahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam.
Sumber: Pasal pertama dari Kitabul Ilmi karya asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullahu Ta’ala.