Bodoh yang Membawa Kesengsaraan
Oleh Hafizh Perawang, Takhasus
“Ketidak tahuan seringkali menjadi biang utama di balik kegagalan dan kehancuran seseorang.”
Kalau aksioma di atas saja berlaku dalam hal-hal yang bersifat duniawi, tentu lebih-lebih lagi dalam hal-hal yang berkaitan dengan akhirat.
Contoh nyata kebenaran aksioma di atas dalam hal-hal duniawi, misalnya ketika ada seorang bapak yang sering sakit-sakitan. Baru saja dua puluh menit melakukan aktivitas berat, rasanya sudah begitu lelah, tak kuat lagi melanjutkan pekerjaan. Padahal usianya masih belum terlalu tua, uban di kepalanya baru saja tumbuh beberapa helai.
Belum lama duduk membaca, punggungnya sudah terasa sakit, matanya tak lagi kuat. Padahal baru saja ia menyantap sarapan pagi.
Selidik punya selidik, ternyata sang bapak punya kebiasaan buruk langsung tidur setiap habis makan malam dan jarang sekali minum air putih. Ia tidak tahu bahwa kebiasaan itu sangat berbahaya. Baginya, “Memang tidak boleh untuk langsung tidur setelah makan malam? Memangnya saya harus sering minum air putih? Bukankah ketika meminum teh manis dan kopi, itu sudah terhitung minum air?”
Demikianlah, ketidak tahuan sang bapak tadi menjadi sebab penyakit dan kelemahan yang kini ia derita. Ini adalah contoh ketidak tahuan yang berdampak negatif bagi kehidupan dunia kita. Tentu itu lebih ringan dampaknya daripada ketika ketidak tahuan kita berdampak pada kehidupan akhirat kita. Jika demikian kondisinya, lantas siapa yang akan kita salahkan?
Oleh karena itulah, kita harus banyak belajar, agar hilang kebodohan dan ketidak tahuan kita. Baik dalam hal-hal duniawi maupun ukhrawi.
Belajar Ilmu Agama, Kewajiban Seorang Muslim
Ketidak tahuan memang sering menjadi kambing hitam di balik banyak kegagalan dan kesalahan. Makanya, dalam agama Islam belajar agama hukumnya wajib, wajib bagi setiap individu muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِم
“Belajar ilmu agama itu wajib bagi setiap individu muslim.” (HR. Ibnu Majah no. 224 dan disahihkan oleh Imam al-Albani di dalam Shahih Sunan Ibnu Majah)
Entah kita sebagai seorang ayah, ibu rumah tangga, atau kita sebagai seorang pemuda, wajib untuk belajar ilmu agama. Mempelajari hal-hal yang kita tidak boleh jahil (tidak tahu) tentangnya.
Berikut adalah contoh hal-hal yang jika kita tidak mengetahuinya, hal itu akan menyengsarakan akhirat kita.
Dusta, Gosip dan Adu Domba adalah Penghapus Pahala
Kita harus tahu, bahwa tidak boleh kita berucap dusta, gosip, dan adu domba. Terlebih saat sedang berpuasa. Kenapa? Karena risikonya fatal sekali! Jika kita melakukan hal-hal di atas saat berpuasa, akan hangus pahala puasa kita, tidak teranggap.
Ya, puasa yang kita lakukan, menahan diri untuk tidak menikmati makanan dan minuman, mulai sejak terbit fajar hingga matahari terbenam, bisa hangus alias sia-sia belaka; percuma.
Demikianlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan, kata beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Siapa yang tidak bisa meninggalkan perilaku dan ucapan kotor serta keji, ketahuilah, Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak butuh terhadap upayanya meninggalkan makan dan minum.” (HR. Bukhari no.1903 dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Betapa ruginya jika kita tidak mengetahui hal ini, akhirnya terbiasa mengucapkan kata-kata kotor ketika berpuasa, yang menyebabkan terhapusnya pahala puasa kita.
Lagi-lagi ketidak tahuanlah yang harus kita salahkan.
Agama Islam, Agama yang Paten
Di antara hal-hal yang akan merugikan diri kita pula ketika kita tidak mengetahuinya adalah, bahwa agama Islam ini sudah ada prosedur dan ketentuannya. Agama ini mudah, segala praktek ibadah mulai dari bangun pagi hingga tidur kembali, semuanya telah dibimbingkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita cukup ittiba’ (mengikuti) saja, tidak lebih.
Bahkan dengan tegas dan keras, nabi memperingatkan:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang melakukan sebuah praktek ibadah, namun tidak ada bimbingannya dari kami, pasti tertolak (tidak diterima).” [HR. Muslim no.1718]
Dengan kata lain, siapa menyusahkan diri untuk menciptakan cara baru dalam ibadah (ibadah apa saja), maka itu akan tertolak, sia-sia dan tidak diterima.
Kata Ibnu Hajar menjelaskan hadis di atas, “Hadis ini merupakan hadis yang membantah seluruh praktek bidah (dalam ibadah).”
“Segala sesuatu yang tidak ada contohnya, berarti bukan bagian dari agama Islam. Sehingga harus tertolak”. Lanjut beliau rahimahullah dalam Fathul Bari 5/372.
Betapa ruginya ketika kita tidak mengetahui hal ini, akhirnya melakukan kebidahan dan amal-amal ibadah yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi, lalu amalan tersebut tertolak tiada guna. Kita hanya mendapatkan lelah dan capek tanpa hasil pahala, bahkan naudzubillah bisa mengundang azab dari Rabb semesta.
Seorang murid senior sahabat Abu Hurairah, Said bin Musayyib pernah melihat seorang laki-laki melakukan salat lebih dari 2 rakaat, ia memperbanyak rukuk dan sujudnya. Seusai salat, Said menghampiri lelaki tersebut untuk menegurnya. Sang lelaki justru bertanya: “Wahai Abu Muhammad, apakah karena salat Allah akan mengazabku?”
“Tidak, tetapi Dia akan mengazabmu lantaran sikapmu yang menyelisihi sunnah.” (as-Sunanul Kubra lil-Baihaqi 2/466).
Akibat Bodoh, Kita Jadi Mensyusahkan Diri Sendiri
Demikianlah jika kita jahil. Kita merasa melakukan kebaikan, tapi ternyata sia-sia dan tertolak. Hanya lelah dan capek yang kita dapatkan.
Suatu ketika Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu melihat sekelompok orang secara yang melakukan zikir berjamaah di masjid secara berkelompok. Salah seorang dari mereka ada yang memandu. Mereka bertasbih subhanallah, bertakbir allahu akbar, dan bertahlil laa ilaaha illallah sambil menghitungnya dengan kerikil.
Melihat pemandangan baru tersebut, Abu Musa al-Asy’ari merasa ganjal. Tapi ia tak ingin tergesa-gesa mengambil sikap. Ia berangkat menemui Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu lalu menceritakan apa yang dilihatnya.
“Lalu apa yang engkau katakan kepada mereka?” Tanya Abdullah bin Mas’ud.
Abu Musa menjawab, “Aku tidak mengatakan apa-apa, karena menunggu bimbingan anda.”
“Seharusnya engkau katakan bahwa lebih baik mereka menghitung kesalahan mereka sendiri. Dengan itu aku jamin, kebaikan mereka tidak akan hilang.” Tegas Abdullah bin Mas’ud.
Sesampainya di masjid yang dimaksud, Abdullah bin Mas’ud menemui orang-orang tersebut lalu mengingkari perbuatan mereka, “Yahai umat Muhammad! Betapa cepatnya kalian hancur! Lihatlah para sahabat Nabi masih banyak yang hidup, pakaian Nabi masih belum usang, periuk beliau juga masih bagus, apakah ajaran kalian lebih baik daripada ajaran Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam? Atau kalian ini ingin membuka pintu kesesatan?”
“Demi Allah, wahai Abu Abdirrahman. Kami hanyalah menginginkan kebaikan!” Jawab mereka.
Abdullah bin Mas’ud mengatakan: “Betapa banyak orang yang ingin kebaikan namun justru tidak mencocoki (mendapatkannya).“ (Sunan ad Darimi hal. 68-69)
Bukan Karena Ibadahnya
Salat adalah ibadah yang mulia, itu benar. Namun tetap akan menjadi salah ketika tidak sesuai dengan bimbingan yang sudah Nabi contohkan.
Selawat kepada Nabi adalah ibadah mulia, itu juga benar. Tapi, akan tetap menjadi salah ketika tidak selaras dengan petunjuk yang telah beliau gariskan.
Sekali lagi, kita sepakat bahwa salat wajib adalah ibadah. Namun ketika dilakukan tanpa menghadap kiblat, akankah ibadah mulia itu diterima?
Maka ingat, kita harus tahu bahwa semuanya harus mengikuti bimbingan yang sudah Nabi contohkan.
Semoga Allah memberi petunjuk dan hidayah-Nya kepada kita semua, amin.