Ibu Maafkan Aku (Bag. Terakhir)

Tak lantas sadar dan diam, aku justru semakin menjadi-jadi, berteriak sekencang-kencangnya, bahkan merusak perabotan rumah yang ada. Astaghfirullah. Tak jarang juga aku bertindak tidak bagus kepada ibu. Ya Allah, ampunilah dosa hambamu.

Nasehat diberikan, sindiran tetangga datang, bahkan pukulan didikan pernah melayang, namun aku belum juga faham, sekali dua kali, ah! Tak mungkin terhitung dengan jari.

Tapi mau dikata apa, ibu tetaplah ibu, yang mengandung lalu melahirkanku, yang merawat dan memberi susu, serta mendidik penuh kesabaran dan keikhlasan, tentu dengan segala kemudahan dari Rabb yang mengatur segenap urusan. Orang tua tetap saja orang tua, walau demikian sikap dan akhlakku kepada mereka, tak sedikitpun berkurang kasing sayangnya, bahkan semakin bertambah dan terus bertambah.

وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” QS. Luqman 14

 

Jember, Jawa Timur 2020….

8 bulan berlalu semenjak awal masa pandemi covid-19 masuk ke negeri Nusantara ini, aku yang berstatus sebagai santri di ma’had tercinta ini masih saja diberi anugerah oleh Sang Maha Pencipta alam semesta untuk senantiasa berada di lingkungan para penuntut ilmu syar’i, moga-moga ini masuk ke dalam bagian sabda baginda Rasul shallallohu ‘alaihi wa sallam:

 مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barang siapa menempuh satu jalan dalam rangka menuntut ilmu, pasti Allah akan mudahkan jalan baginya jalan menuju jannah (surga).”  

Aku belum bisa kembali bersua dengan ayah-ibu di rumah, adik-kakak dan ponakanku para jagoan-jagoan kecil, itu semua karena keadaan dunia di luar sana masih tak dapat dianggap aman dari serangan wabah penyakit menyeramkan bahkan mematikan ini.

Menuntut ilmu syar’i di salah satu ma’had ahlus sunnah pada era wabah covid-19 ini merupakan suatu nikmat yang tiada banyak didapatkan oleh kawan-kawan seperjuangan di ma’had lain.

Mendengar dan merenungi siraman rohani dan motivasi untuk qolbu seorang anak insan yang hampir-hampir mati karena terpenuhi noktah-noktah hitam kelam, untaian-untaian mutiara hikmah dan nasehat bagi jiwa-jiwa yang nyaris tenggelam dalam kubangan lumpur noda, peringatan dan teguran supaya tak terseret dan terayu oleh hawa nafsu yang selalu menyeru kepada lembah nista.

Para asatidzah senantiasa memberikan pesan-pesan yang sangat berharga, membangkitkan kembali iman dan semangat yang telah banyak terkikis oleh ma’ashi, menghilangkan was-was syaithon yang tiada kenal lelah dan putus asa demi menyimpangkan anak Adam dari jalan al-haq dengan berbagai senjata syubhat maupun syahwat.

Bukan tak rindu wahai ayah-ibu, bukan tak ingin ananda berjumpa dengan kalian di sana, namun ini semua ananda jalani karena Allah -insya Allah-, ananda masih ingin meneguk segarnya mata air ilmu dari para asatidzah, sebagaimana spirit nasehat ayah-ibu ketika awal kali ananda hendak berangkat ke sini. Bukankah ananda harus bersabar? Bukankah ananda harus giat belajar? Bukankah ananda masih harus memberbaiki akhlak dan budi pekerti? Bukankah ananda wajib terus berbenah dan berbenah?!”

Imam Ahmad rahimahullah baru kembali ke kampung halamannya 40 tahun setelah melakukan rihlah thalabul ilmi, waktu yang sangat panjang!!!

***

November menjelang, saat rasa rindu ini semakin membuncah dan bergejolak, entah mengapa tiba-tiba memori ini bernostalgia kembali menuju 13 tahun lalu, pada masa-masa sulit dalam kehidupanku juga pasti kedua ayah-ibu, masa dimana peran, jasa dan kasih sayang mereka begitu menancap dalam di hati dan ingatanku, saat badan ini hanya bisa terbujur lesu di atas ranjang mewah milik salah satu rumah sakit besar di kota itu.

Kediri, Jawa Timur 2007….

Bermula dari sparing beladiri anak-anak seusiaku…

“Dep!!!” hantaman keras tepat mengarah di tengah dadaku, sontak aku kaget, nafasku berhenti, jantungku pun tak berdetak! Aku terhempas di gelanggang pertandingan.

Syukur sang wasit lapangan melihat kondisi ini, segera ia mengangkat badanku, dan membuka jalur pernafasanku. Segala puji hanya milik Allah ta’ala semata yang masih memberikan kesempatan untukku bisa kembali bernafas.

Aku segera beranjak pulang dan mendatangi ibu, beliau memangku diriku yang benar-benar sudah tak berdaya, mengusap-usap kepalaku sembari terus berdo’a.

Mulai malam itu aku terus menangis karena kesakitan. Anehnya, yang aku rasakan adalah di punggung, padahal pukulannya tepat di dada, bahkan memberi efek bengkak yang lumayan besar. Anehnya juga, aku hanya merasakan sakit pada malam hari, siangnya aku masih bisa beraktivitas seperti biasa, bahkan aku masih bisa beraksi di lapangan hijau mengolah si kulit bundar.

Detik ke menit, menit berputar menjadi jam, jam berdetak tepat sehari, hari-hari terus berlalu berganti minggu hingga kondisi ini makin menyulitkan diri sendiri bahkan orang lain. Tentu! Siapa lagi kalau bukan ayah-ibu.

Ayah-ibu lah yang rela bergantian bergadang malam demi menjagaku yang terus saja menangis kesakitan, mereka tidak bisa istirahat dengan baik seperti hari-hari lalu.

Bukan tak berusaha berobat, tukang urut sekitar maupun para ahli medis sudah kami datangi. Jangankan mengobati, hanya untuk bisa mengidentifikasi penyakitku saja mereka bahkan harus angkat tangan.

Seorang teman ayah yang berprofesi sebagai spesialis pijat-urut dari negri jauh rela datang demi mencoba menangani. Beberapa hari beraksi akhirnya ia pun menyerah. Aku belum terobati dengan baik, justru seakan semakin bertambah parah!

Datang lagi seorang kawan ayah dari pulau dewata, alih-alih datang ke jawa untuk mengikuti pengajian akbar, ternyata ia juga berminat mencoba membawa diriku ke Bali untuk ditangani di sana. 1 minggu lebih aku berteduhkan rumah mewah 4 lantai miliknya, namun hasil dari tujuan intinya pun masih sama, nol besar. Aku belum sehat!

Ada usul dari salah seorang teman ayah agar aku dibawa berobat ke negri jiran sana, namun ada juga yang menyarankan untuk dibawa ke Surabaya saja, “Ada rumah sakit bagus di sana!” imbuhnya. Akhirnya orang tuaku lebih memilih untuk ke Surabaya saja, demi menghemat jarak tempuh dan biaya tentunya.

RSUP Dr. Soetomo Surabaya, November 2007

Setelah berbulan-bulan mencari seorang ahli yang mampu mengidentifikasi penyakitku, namun tak kunjung jua bertemu, akhirnya kamipun berangkat menuju kota ini, kota dimana tersimpan banyak kenangan manis-pahit di dalamnya. Kota dimana aku mengerti bahwa yang diinginkan orang tuaku hanyalah kebaikan untukku. Kota yang selalu mengingatkan diriku betapa mahalnya masa sehat dan waktu luang

 نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالفَرَاغُ

“Ada 2 nikmat yang mayoritas manusia tertipu padanya: Masa sehat dan waktu luang.”

 

Sesampainya di sana, kata ibu sih hanya bermalam sebentar, nyatanya???

Sehari dua hari, eeh,, ga kerasa hampir seminggu nginep di sana,,,

Sebotol dua botol, laah,, ga keitung lagi berapa botol invus yang udah kosong,,,

Suntik vitamin sampe ambil darah, kebal sudah aku dari alat dokter berisi cairan basah,,,

Dari obat-obatan kimia sampe jintan hitam yang diterangkan oleh Baginda shallallohu ‘alaihi wa sallam bahwa jinten itu bisa mengobati segala penyakit.

Namun begitu Allah ta’ala belum menaqdirkan aku untuk sembuh.

Demikianlah manusisa, mereka hanya mampu berusaha, hasilnya tetap di tangan Allah ta’ala!

Menunjukkan betapa lemahnya kita, apakah masih ingin ingkar dan durhaka?!

Hampir 1 minggu di sana, bukan tanpa usaha kawan! berulang kali ronsegnt dilakukan, namun hasilnya nihil, penyakitnya tak terlihat. Ambil darah hampir setiap pagi dilangsungkan, namun laboratorium pun tak berdaya.

Aku juga tak hanya ditangani oleh 1 dokter spesialis, bahkan 7 spesialis dari berbagai bidangnya masih saja tak kuasa mengidentifikasi penyakit apa sebenarnya yang aku derita.

Do’a dan munajat orang tua tak perlulah ditanya, setiap waktu mereka menengadahkan tangannya, bermunajat kepada Rabb yang ‘ala kulli syain qodiir, memohon dan mengemis pertolongan untuk putranya, terlebih lagi di sepertiga malam terakhir. Air matanya hampir tak lagi mengalir, mata mereka bukan lagi sembab, bahkan aku bilang bengkak.

Belum ada perubahan signifikan pada diriku, yang ada hanya badan yang semakin lemah tak berdaya, makin merepotkan orang tua! Mulai Bergadang malam, mengantar bolak-balik ke kamar belakang, hingga menyuapi makan pagi, siang, dan malam.

Terkejut! Belum genap 1 minggu menginap, kondisi setengah badanku -mulai dari pusar ke bawah hingga ujung kaki- tak mampu untuk bergerak, bahkan tak merasakan apa-apa. Aku lumpuh kawan!

Para pakar kedokteran dari berbagai bidangnya itu terlihat keheranan, mereka tampak kebingunan, pikirnya usaha apa lagi yang mesti dilakukan, hampir segala cara telah dikerahkan.

Betapa sedihnya kulihat raut wajah ibu tercinta yang ingin memapahku ke WC, betapa semakin hancur hatinya melihat keadaan putranya yang sedemikian menderita.

Bagaimana dengan aku? Jujur aku tak merasakan kesulitan, semuanya seakan dipikul oleh ayah-ibu. Ketika merasa sakit, aku cukup menangis dan berteriak meminta tolong, pasti mereka segera datang. Mengeluh dan terus mengeluh, itu saja yang kubisa. Aku juga tak bisa BAB/BAK secara normal, semuanya serba bantuan alat medis dan orang-orang yang turut membantu ayah-ibu kala itu. Aku semakin terpuruk, namun Rabbku Maha tahu hikmah apa yang ada di balik ini semua! Ya Allah, aku memohon ganjaran dan balasan terbaik dari-Mu.

Aku juga ucapkan banyak-banyak terima kasih teruntuk manusia-manusia baik hati yang dengan suka rela dahulu membantu meringankan beban kedua ayah-ibuku, semoga kebaikan kalian dibalas dengan pahala yang berlipat ganda oleh Yang Maha Kuasa. Lebih dari itu, semoga kita semua diberi hidayah untuk menapaki jalan kebenaran hingga ajal datang.

لَا يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاس

“Tidaklah seorang hamba dikatakan bersyukur kepada Allah, apabila ia tidak berterima kasih terhadap bantuan manusia.”

1 minggu berlalu, seorang dokter memanggil kedua orang tuaku, ahli medis itu menawarkan alternatif untuk mencoba mengidentifikasi penyakitku, yaitu “ambil sumsum tulang paha” untuk dilakuan cek lab kembali. Namun ibu segera menolak, kasih-sayangnya mencegah beliau untuk menerima tawaran itu. “Ibu cuma ngebayangin gimana jarum suntik untuk pelaksanaan ambil sumsum itu, kalo aja suntik yang biasa kita dapetin udah bikin deg-degan dan bulu kuduk merinding.” Kenang ibu sambil terharu.

“Apa tidak ada cara lain untuk anak saya dok?” tanya ibu sambil menangis.

“Ada bu, hanya saja dengan biaya yang berkali-kali lipat lebih mahal. ‘scan’ namanya.” Jawab dokter ringan.

Masih dengan tangisan, ibu memandang ke arah ayah sembari berkata dengan maksud memaksa: “Gapapa pak, Kalo uang masih bisa kita pinjem, tapi kalo anak kita sakit cuma dia yang bisa ngerasain sendirian, kasihan. Kita ga bisa apa-apa.”

“Iya ibu, tenang. Silahkan dimusyawarahkan kembali.” Dokter coba menenangkan.

Malamnya ayah-ibu kembali bergantian bergadang, aku masih seperti biasa dalam tangisan. Kamar berkapasitaskan 4-5 pasien itu menjadi saksi bisu rengekan ibu kepada Rabbul ‘alamin, di saat yang lain lelap dalam tidurnya, beliau mulai menengadahkan kedua tangannya, penuh tunduk dan rasa harap agar do’anya terkabulkan, supaya putranya lekas sembuh dari penyakit dan lepas dari ikatan kesulitan. Bukan munajat atau bisikan, tetapi dengan suara yang agak meninggi beliau memohon jalan keluar dan kesembuhan bersama linangan air mata yang kian membasahi pipi. “Ya Allah, Engkau Yang Memegang segala urusan, Engkau Yang Maha menyembuhkan, jika Engkau berkehendak panjangkan umur anak hamba, maka hamba mohon panjangkanlah dengan kebaikan, sembuhkan ia dari penyakit yang menimpanya. Namun apabila Engkau hendak mengambilnya, maka ambillah Ya Allah, hamba ridho dengan taqdir-Mu. Jangan Engkau biarkan ia terus dalam kesulitan dan kesakitan.”  

Ayah yang mendengar itu segera menuju ke arah ibu lalu memeluk dan menenangkan beliau “Iya bu, insya Allah besok kita ambil jalan terbaik untuk anak kita.”

Husada Utama, Surabaya…

Tak menunggu waktu lama, besoknya scan segera dilaksanakan. Namun, karena satu dan lain hal maka pelaksanaan scan dilangsungkan di RS. Husada Utama yang terletak tepat berseberangan dengan RSU.Dr.Soetomo. Aku yang akan diperiksa benar-benar ditenangkan, masuk ke dalam ruangan yang lumayan besar, di sana ada alat yang agak aneh menurutku, bentuknya seperti gua tapi buatan manusia. Aku segera ditidurkan dengan posisi terlentang. Sebelum masuk ke mulut gua itu, aku menggunakan earphone bersuarakan musik dengan volume yang begitu tinggi, demi menjaga gendang telingaku agar tidak pecah ketika mendengar suara alat ‘scan’  yang sangat dahsyat kata para medis.

Begitu pula ayah-ibuku, karena mereka ingin melihat dan mendampingiku, para dokter mewajibkan agar mereka juga menggunakan earphone, kalau tidak bersedia maka tidak diperkenankan masuk.

Aku yang berada di dalam alat itu merasa seakan-akan di fotocopy kawan, karena adanya cahaya lampu yang berkilat-kilat seperti mesin-mesin fotocopy yang ada. Benar memang, suara mesinnya sangat besar, volume musik earphone yang kugunakan hampir tak terdengar.

Maklum kawan, dulu aku masih awam dan tak tahu-menahu hukum musik.

Alhamdulillah, Penyakitku terlacak!

Setelah kira-kira ½ jam dan berkali- kali diulang akhirnya ayahku dipanggil oleh seorang dokter di satu ruangan. Dokter itu memperlihatkan kepada ayah gambar monitor yang menunjukkan asal-muasal penyakit di dalam tubuhku. Setelah menjelaskan panjang lebar, akhirnya dokter itu memberi tahu ayah, bahwasanya ada  segumpal nanah yang sudah lama dan kian membesar diantara 2 tulang punggungku bagian atas, itulah sebabnya mengapa aku selalu merasa sakit di bagian punggungku, ternyata nanah itu menyebabkan 2 tulangku terinfeksi dan semakin lama semakin membusuk serta tidak lagi berfungsi menyanggah badanku.

Musyawarah digelar demi tak ada penyesalan untuk sebuah keputusan yang akan diambil. Maka tim medis tak memberi pilihan lain kepada keluargaku kecuali untuk menjalani operasi besar. Ditentukanlah jadwal pelangsungan operasi beberapa hari semenjak scan.

Hari itu tiba…

Semenjak malam aku sudah mulai menahan makan dan minum, pagi harinya semua sibuk mengurusiku yang sebentar lagi akan masuk kamar bedah. Beberapa kali aku ditanya “Masih pengen BAB/BAK?” Karena jika sudah tidak ingin BAB/BAK, alat-alat medis yang menempel di tubuhku akan segera dilepas. Aku segera dipakaikan kain hijau-hijau khas seorang pasien yang akan digarap, ditemani seorang ayah yang sangat ku hormati dan ku segani menuju ruang tunggu para calon pasien yang akan dioperasi, beliau berbincang-bincang dengan perawat yang mendorong ranjang mewah tempatku berbaring, sesekali menengok ke arahku dengan senyuman yang sangat aku rindukan sekarang, hingga sampailah kami di depan pintu ruangan itu, dimana ayah tidak bisa lagi menemaniku.

Seorang dokter datang menyapa, setelah ngobrol sebentar, tiba-tiba aku disuntik melalui selang infus yang masih terpasang di tangan kananku, aku tidak sadar kalau itu adalah suntik bius. Dokter bertanya “Ade umurnya berapa tahun?” “7 tahun.” Jawabku singkat. Tiba-tiba saja mataku sayu dan ngantuk. “Kamu ngantuk ya?” Tanya dokter sambil tersenyum sebelum akhirnya aku hilang dikuasai cairan bius tadi.

Pukul 01.30 dini hari, segala puji hanya milik Allah ta’ala semata, sedikit demi sedikit aku sadar dari bius, mulai mataku dapat melihat kembali dunia fana ini setelah hampir 24 jam aku tidur, ku lihat sesosok wanita disamping ranjangku duduk tertidur lelah. Ya, dia bukan siapa-siapa lagi, melainkan ibuku tersayang yang sedari tadi menanti diriku bangun, betapa bahagianya beliau melihat aku sadar, tidak lupa mengulang-ulang tahmid sembari mengelus-elus kepalaku. “Alhamdulillah, ibu kira kamu ga bakal bisa terlentang le, ternyata bisa.” Kata ibu dengan nada bahagia.

“Mau minum.” Pintaku. Segera beliau mengarahkan botol air kepadaku, aku minum menggunakan sedotan. Baru saja aku meneguk 1 tegukan segera beliau menarik botol itu dariku seraya berkata “Belom boleh banyak-banyak le, masih baru operasi.” Setelah itu aku tertidur kembali hingga pagi hari.

Kira-kira 2 hari aku bermalam di ruang pemulihan, karena kondisiku yang masih sangat lemah, jadi belum diizinkan kembali ke ruang rawat inap. Kembali lagi ayah-ibu bergantian menemaniku, karena tidak boleh lebih dari 1 orang yang mendampingi pasien.

Pada hari-hari setelah menjalani operasi, aku sempat pindah kamar, yang semula berada di kelas 3, yaitu 1 kamar yang berkapasitaskan 4/5 orang, alhamdulillah aku bisa pindah ke kamar VIP sendirian lengkap dengan fasilitasnya. Orang tuaku juga jadi lebih leluasa mengurusiku, tidak takut mengganggu pasien lain karena ulah putranya yang super extra ngeyel ini.

Setiap bangun pagi, aku sudah melihat ayah-ibu berada di sampingku, Aku hanya bisa tersenyum, selalu merengek meminta sesuatu, aku masih tidak berdaya, belum bisa berbuat apa-apa, dan tak lupa dulu juga masih tak pernah absen dari menonton siaran untuk anak-anak di televisi, astagfirulloha wa atuubu ilaihi.

Ku kira ketika selesai operasi boleh langsung pulang, ternyata tidak, kisahku belum berakhir.

Perkembangan kondisiku lumayan baik, kakiku yang lumpuh sedikit bisa kembali bergerak walau baru jari-jemarinya, namun aku terus berusaha untuk sembuh, dengan dibantu aya-ibu dan orang-orang baik hati itu. Terkadang ketika aku bosan di ruangan berAC, aku minta keluar sebentar, kursi rodapun disiapkan untukku yang hendak menghirup udara segar dari alam.

Aku teringat, dulu kala ingin minum 1 obat, aku bisa menghabiskan 2 buah pisang ambon besar. Ya, aku tidak bisa menelan obat begitu saja. Sekarang? 5 butir Habbatus sauda bisa kuminum 1 kali langsung.

Sanak keluarga dan famili sempat beberapa kali datang menjenguk, senangnya bisa melihat dan bercanda dengan mereka yang sudah lama tak berjumpa.

Seperti saat ini, rindu ini masih harus dipendam demi sebuah cita-cita tinggi tak tertandingi. Hanya do’a dan salam yang bisa selalu ku panjatkan kepada Allah untuk mereka.

 

Hampir 1 bulan kami di rumah sakit, kalau bukan karena kecukupan dari Allah ta’ala kemudian bantuan orang-orang dekat ayah-ibu, maka entah bagaimana caranya orang tuaku masih bisa memperjuangkan aku. Biaya tebus obat dan kamar rumah sakit bukan sedikit kawan!

Akhirnya, tepat pada malam pergantian tahun baru 2008, ambulan milik “pon-pes” tempat ayah mengajar datang menjemput, aku sudah siap untuk pulang, aku sudah siap bersua dengan adik-kakak dan teman-teman. Namun, aku bukan yang dulu lagi, 1 bulan lebih 2 hari aku menginap di rumah sakit, hari-hari itu benar-benar merubah diriku, aku yang tadinya gemuk, kini tersisa seperti tulang dibalut kulit, yang tadinya super aktif kini harus menahan aksi melompat kesana-kesini.

Perjuangan dan pengorbanan orang tua tak akan usai bila ingin ku tuliskan, biarlah yang sedikit tadi menjadi pelecut semangatku di sini.

***

Hujan itu reda dengan bergesernya awan gelap, menyisakan genangan-genangan air di jalanan, namun tak lupa, langit mengeluarkan pelangi indah sertelahnya.

Sulit memang kala itu, namun dengan itu aku hanya berharap kepada Allah untuk menghapus segala dosa dan kesalahanku, serta meninggikan derajatku.

.

Biarlah nasehat salah seorang ustadz dalam catatannya (dengan tambahan dan pengurangan) menutup tulisanku ini:

“Duhai ayah-ibu, betapa besar jasa-jasamu terhadapku, duhai betapa lelah-letih bersatu pada dirimu demi meramut serta mendidikku…

Celaka! Amat durhakanya ananda yang masih saja lancang membuat engkau kecewa bahkan tak jarang menitikkan air mata.

Ayah-ibu…

Tahun 2020 tak terasa akan berakhir, hati ananda semakin terombang-ambing oleh rasa bersalah yang tak bertepian, gelombang arus perasaan berdosa dan penyesalan membuat ananda terpuruk dalam pusaran sesal, jiwa ananda bagai remuk lalu hilang beterbangan dihempas angin kesedihan.

Ayah-ibu…

Ingin rasanya berada di sampingmu, memeluk dan mencium keningmu seraya meminta maaf atas segala kesalahan ananda, betapa banyak petuah ayah-ibu yang ananda abaikan begitu saja, betapa sering Allah ta’ala menegur ananda karena sebab tersebut, namun ananda belum juga faham, lagi terulang dan terus terulang.

Ayah-ibu…

Maka maafkanlah ananda yang terlambat untuk merasakan keindahan dan keluhuran ajaran-ajaran islam. Sungguh telinga ini mendengar, lisan membaca bahkan hati ini menghafal untaian hadits Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam bahwa akan celaka seseorang yang tidak masuk surga sementara arang tuanya ada yang masih hidup.

 

Ananda tidak ingin menjadi orang yang celaka sebagaimana sabda baginda Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam.  

Maka maafkanlah kekeliruan terdahulu dari putramu ini, izinkan ananda berbenah diri dengan terus berthalabul ilmi demi memperbaiki diri serta mengangkat derajat kalian di dunia dan di akhirat nanti.”

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.