Jangan Kamu Tertipu!

berdoa

 

 

Oleh Muhamad Zulfirman Aceh 4B Takhasus

 

Sebagian manusia tertipu dengan dunia dan berbagai kenikmatan yang mereka rasakan, lalu tak jarang prinsip Islam dikorbankan. Dengan dalih,  kelezatan dunia itu jelas rasanya adapun kenikmatan akhirat meragukan. Jadi jangan sampai luput dari sesuatu yang pasti kepada hal yang meragukan.

Ucapan di atas disampaikan oleh Ibnul Qayyim Rahimahullah yang kemudian beliau bantah pada kitab ad-Daa-u wad-Waddawaa’ hlm. 20. Kata beliau selanjutnya, “Ini termasuk salah satu tipuan terbesar setan. Manusia yang paling tertipu adalah yang tertipu dengan dunia, kemudian mengedepankan dunia serta lebih meridhainya.”

Dalam musnad Imam Ahmad dan at-Tirmidzi melalui sahabat Mustaurid bin Syaddad, Rasulullah bersabda,

((ما الدُّنيا في الآخرة إلا كما يدخل أحدكم إصبعه في اليم، فلينظر بِم يرجع؟))

“Tidaklah dunia itu dibandingkan akhirat melainkan seperti salah satu dari kalian mencelupkan jarinya di lautan, kemudian perhatikanlah air yang jatuh dari jari tersebut.”

Ya, air lautan adalah akhirat sedangkan air yang terbawa jari lalu jatuh kembali ke lautan adalah dunia. Sungguh kecil dan sedikit nilai dunia dibandingkan nilai akhirat.

Sebagian manusia menganggap tolok ukur cinta Allah kepadanya adalah manakala diberi kenikmatan dunia. Padahal mereka bergelimang dalam kemaksiatan. Sungguh anggapan ini merupakan kesalahan besar.

Imam Ahmad dalam Musnad-nya membawakan sebuah hadis melalui sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

   ((إذا رأيت الله يعطي العبد من الدنيا على معاصيه ما يحب فإنما هوا الاستدراج))

“Apabila kamu melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan untuk seorang hamba kenikmatan yang dicintainya di dunia, dalam keadaan dia bermaksiat, ketahuilah itu bentuk istidraj (penguluran waktu adzab sebagai bentuk tipuan untuknya).”

Yakni, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kenikmatan dunia dalam keadaan dia terus bermaksiat, kemudian setelah itu barulah Allah mengazabnya. Bisa jadi azab tersebut di dunia atau di akhirat atau di dua negeri. Wallahul Musta’an.

Allah berfirman dalam surat al-An’am:

فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa dan azab mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka diam berputus-asa.” (QS. Al-An’am: 44)

Dalam ayat lain yaitu surat al-Fajr ayat 15-17, Allah berfirman,

فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ (15) وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ (16) كَلَّا

“Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata, ” Rabbku telah memuliakanku.” Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata, “Rabbku menghinakanku.” Sekali-kali tidak (demikian).”

Ibnul Qayyim Rahimahullah menerangkan makna ayat di atas,

“Tidak semua kenikmatan, rezeki yang dilapangkan berarti Aku telah memuliakan orang itu. Demikian pula tidak semua ujian, musibah, dan kesempitan rezeki bermakna Aku telah menghinakannya. Bahkan Aku menguji seseorang dengan diberi kenikmatan, sehingga membuatnya tertipu. Dan bisa juga Aku memuliakan seseorang dengan ujian dan musibah, agar Aku bisa meninggikan kedudukannya di sisi-Ku.”

Pembaca, sebagian manusia salah dalam menilai hakikat kehidupan dan barometer kebahagiaan serta tolok ukur cinta Allah kepadanya. Barometer kehidupan yang benar adalah apa yang disebutkan oleh al-Qur’an maupun as-Sunnah. Yaitu, keimanan yang benar. Bila keimanan Anda benar, itu adalah anugerah dan tanda cinta Allah kepada Anda.

Di dalam Jami’ at-Tirmidzi dari jalur sahabat Ibnu Mas’ud Radhiallahuanhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

” إِنَّ اللهَ يُعْطِي الدُّنْيَا مَنْ يُحِبُّ, وَمَنْ لَا يُحِبُّ، وَلَا يُعْطِي الْإِيمَانَ إِلَّا مَنْ يُحِبُّ.

“Sesungguhnya Allah memberi dunia itu kepada orang yang Allah cintai ataupun tidak cintai. Akan  tetapi Allah tidak memberikan keimanan kecuali kepada hamba yang dicintai-Nya.”

Adapun keimanan kepada Allah merupakan tanda terbimbingnya seorang hamba. Ketika seorang hamba terbimbing, bahagialah dia. Allah Subhanahu wa Ta’ala  menjelaskan kepada kita,

فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Jika mereka beriman sebagaimana keimanannya kalian, maka mereka telah mendapat petunjuk. Namun apabila mereka berpaling sesungguhnya mereka dalam kesengsaraan. Allah lah yang mencukupi kalian dari mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” QS. al-Baqarah: 137

Pemabaca rahimakumullah…

Sungguh keimanan adalah barometer kebahagiaan. Tidak adanya iman adalah tanda kesengsaraan dan siksaan. Jangan tertipu dunia dan keindahannya. Dunia adalah fitnah dan ujian bagi umat ini. Wallahu a’lam.

 

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.