Kisah Syaikh al-Bakri di Negeri India

Bandealit1

 

Sebuah kisah nyata diceritakan oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdul Lathif alu Syaikh dalam Kitab Majmu’ Fatawa wa Rasail. Kitab ini merupakan hasil karya yang dikumpulkan oleh Muhammad bin Abdurrahman bin Qasim. Beliau menyampaikan kisah ini dua kali, sebagaimana disebutkan dalam catatan kaki. Kisah selengkapnya sebagai berikut,

Sekarang saya (Syaikh Muhammad) akan menceritakan kisah Abdurrahman al-Bakri, seorang penduduk Nejed. Beliau dahulu adalah seorang penuntut ilmu di hadapan paman saya, Syaikh Abdullah (bin Abdul Lathif) dan ulama lainnya. Setelah itu, beliau memutuskan untuk membuka madrasah di wilayah Oman dari jerih payah beliau sendiri. Di sana, Abdurrahman al-Bakri mengajarkan tauhid kepada para muridnya.

Apabila uangnya habis, al-Bakri bekerja sama dengan pemilik barang dagangan lalu ia menjualkannya ke India.

Syaikh al-Bakri berkisah,

Dahulu aku tinggal di dekat masjid di India. Di masjid tersebut ada seorang pengajar, apabila ia selesai dari pelajaran yang diajarkan, ia melaknat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Setiap keluar dari masjid, ia datang menemuiku. Ia berkata, “Saya bisa berbahasa arab dengan baik namun saya ingin mendengarkannya dari orang Arab asli,” sambil ia meminum air dingin di dekatku.

Kalimat-kalimatnya di saat ia menyampaikan pelajaran membuatku gelisah. Syaikh al-Bakri melanjutkan kisahnya, aku lalu menyiapkan siasat untuknya dengan mengundangnya ke rumahku. Aku ambil kitab Tauhid, kulepaskan sampulnya lalu kuletakkan di rak rumah sebelum kedatangan pengajar tadi.

Saat ia hadir di rumah, kukatakan kepadanya, “Aku minta izin mengambil semangka.” Lantas akupun pergi meninggalkannya. Tatkala aku kembali kepadanya, tiba tiba ia sedang membaca buku dan mengangguk-anggukkan kepalanya seraya berkata, “Siapa penulis kitab ini? Judul-judul bab yang ada pada kitab ini mirip dengan judul-judul bab dalam Shahih al-Bukhari. Metodologi penulisan kitab ini, demi Allah sama persis dengan Shahih al-Bukhari.”

“Aku tidak tahu,” jawab Syaikh al-Bakri. “Tidakkah kita pergi ke Syaikh al-Ghazawi, kita tanyakan kepadanya siapa penulis kitab ini?” kata Syaikh al-Bakri lagi. Syaikh al-Ghazawi adalah pemilik perpustakaan. Beliau memiliki kitab bantahan terhadap Jami-ul Bayan. Kami pun pergi ke sana dan menemui Syaikh al-Ghazawi.

Syaikh al-Bakri berkata kepada Syaikh al-Ghazawi, “Saya memiliki kumpulan kertas yang penulisnya ditanyakan oleh syaikh pengajar? Namun saya tidak mengetahuinya.” Syaikh al-Ghazawi memahami maksud dan tujuan kami. Beliau lalu memanggil petugas, “Siapa yang bisa membawakan kitab Majmu’ah Tauhid?” Kemudian didatangkanlah kitab tersebut. Beliau membandingkan isi kumpulan kertas  dengan kitab Majmu’ah Tauhid. Syaikh al-Ghazawi berkata, “Kumpulan kertas ini karya Muhammad bin Abdul Wahhab.”

Seketika itu juga, si pengajar sekaligus alim India itu marah seraya meninggikan suaranya, “Si kafir.” Mendengar itu kami terdiam. Alim India itupun diam sejenak hingga kemarahannya mereda hingga ia mengucapkan, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Kemudian ia berkata, “Jika kitab ini adalah karyanya sungguh kami telah menzhaliminya.”

Akhirnya, setiap selesai pelajaran, ia mendoakan kebaikan bagi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Demikian pula para muridnya, mereka ikut mendoakan kebaikan untuk Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Selanjutnya, murid-murid sang alim India itu tersebar di berbagai wilayah India. Apabila mereka selesai menyampaikan pelajaran, mereka semua mendoakan kebaikan untuk Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. (Sumber Majmu’ Fatawa wa Rasail Jilid Pertama) —selesai penukilan—

Renungkanlah! Seandainya Syaikh al-Bakri rahimahullah sejak awal menyertakan sampul Kitab Tauhid secara lengkap dengan nama penulis Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, sangat mungkin alim India itu akan enggan membacanya. Ia akan antipati terhadapnya dan tetap dalam pendiriannya memvonis Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah sebagai kafir dan melaknatnya sebagaimana yang ia lakukan setiap selesai menyampaikan pelajaran.

Benar, alim India itu melakukannya karena terbawa isu-isu negatif dan pembunuhan karakter yang ditebarkan musuh-musuh dakwah tauhid. Walhamdulillah, dengan hidayah dari Allah semata kemudian kecerdikan Syaikh al-Bakri, seorang yang semula membenci menjadi seorang yang dengan mudah mendoakan kebaikan untuk Syaikh Muhammad rahimahullah.

Dari kisah di atas, dengan izin Allah kemudian dengan cara ini, dakwah tauhid dan sunnah akhirnya diterima, walhamdulillah.

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.