Syarat Hadis Shahih
Oleh Sa’ad Mabrur bin Mauludin Sumpyuh 2A Takhasus
- Definisi Hadits Shahih
Berkata Al-Baiquny rahimahulloh dalam Mandzumah Al-Baiquniyyah :
أوّلها الصحيح وهو ما اتّصل إسناده ولم يشذّ أو يعل
يرويه عدل ضابط عن مثله معتمد في ضبطه ونقله
Hadits Shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya dengan penukilan seorang yang ‘adl lagi dhobt dari yang semisal dengan dirinya (dalam sifat ‘adl dan dhobtnya) hingga akhir periwayatannya, tanpa adanya penyelewengan dan cacat. (Lihat Muqoddimah Ibni Shalah, Al-Ba’its Al-Hatsits, Tadribur Raawi)
- Syarat-Syarat Hadits Shahih
Dari definisi yang dilontarkan Al-Baiquny dalam bait sya’irnya di atas kita dapat mengambil 5 syarat (yang telah disepakati oleh para ‘ulama) agar suatu hadits bisa dikategorikan termasuk dalam jajaran hadits shahih (Lihat Taisir Mustholahul Hadits), yaitu:
- Sanad Bersambung
Yaitu dengan cara seorang rowi hadits itu mendengar secara langsung dari rowi yang setelahnya.
- Perowi ‘Adl
‘Adl adalah seorang muslim yang baligh, berakal lagi selamat dari sebab-sebab kefasikan dan perkara-perkara yang menjatuhkan harga diri.
Banyak dari kalangan para ‘ulama -diantaranya Sa’id bin Musayyib, Ibrohim An-Nakha’i, Ibnul Mubarok, Asy-Syafi’i, Ibnu Hibban, dan Adz-Dzahabi rahimahumulloh- yang mengatakan bahwasanya ‘adl adalah: “Seorang yang mayoritas keadaannya dalam ketaatan kepada Allah ta’ala, istiqomah, serta selamat dari sebab-sebab kefasikan.” (Lihat penjelasannya pada At-Ta’liqot Ar-Rodhiyyah ‘ala Al-Mandzumah Al-Baiquniyyah hal.29-30.)
- Perowi Dhobit
Dhobt adalah kuatnya hafalan, memiliki perhatian yang teliti, baiknya pengetahuan tentang perubahan perkara-perkara (yang berkaitan dengan hadits), kokoh hafalannya, memiliki kesungguhan dalam menjaga hadits-hadits yang telah ia tulis semenjak ia mengambilnya dan mendengarnya hingga waktu penyampainnya.
- Tidak Ada Syadz (penyelewengan/keganjilan)
Syadz adalah riwayat seorang perowi makbul (diterima haditsnya) yang menyelisihi riwayat seorang rowi yang lebih utama darinya, baik dari segi jumlah (jalur periwayatan) maupun pentsiqohan (sifat terpercaya).
- Tidak Ada ‘Illah (cacat)
‘Illah adalah sebab yang tidak tampak lagi tersembunyi yang mencacati keshahihan hadits, namun secara dzohir (tampak) hadits itu selamat dari sebab tersebut.
Faedah: Syarat kedua dari lima syarat hadits shahih adalah sifat ‘adl (jujur), meninjau betapa urgennya syarat ini, maka hal ini tidak bisa diremehkan begitu saja.
Teringat seorang rowi hadits bernama Sulaiman bin Dawud Asy-Syadzakuni, namanya termasuk deretan huffadzul kibar, hingga dikatakan bahwasanya ia lebih dikedepankan dari Imam Ahmad bin Hanbal dalam kekuatan hafalan. Bahkan Imam Ahmad rahimahulloh sendiri mengakui kapasitasnya dalam bidang ini, beliau berkata “Huffadz kami adalah Asy-Syadzakuni.”
- Ucapan Para ‘Ulama
- Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahulloh berkata:
(( أبو أيوب سليمان بن داود الشاذكوني البصري الحافظ الذي قال فيه صالح محمد الحافظ: ما رأيت أحفظ منه. سمع حماد بن يزيد وطبقته. وكان آية في كثرة الحديث وحفظه. ينظر بعلي بن المديني، ولكنه متروك الحديث. ))
“Abu Ayyub Sulaiman bin Dawud Asy-Syadzakuni Al-Bashri Al-Hafidz. Seorang Al-Hafidz Shalih Muhammad berkata tentangnya: ‘Aku tidak melihat seorangpun yang lebih hafidz darinya.’ Dia mendengar (hadits) dari Hammad bin Zaid dan yang sezaman dengan beliau. Dan tanda (kebesaran Allah) pada banyaknya hadits (yang dihafal) dan (kuatnya) hafalannya. Dia disetarakan dengan Ali bin Al-Madini, akan tetapi dia matruukul hadits! (ditinggalkan haditsnya).” (Lihat Al-‘Ibar fii Khobar min Ghobar. Bab: Sanah Arba’ wa Tsalatsin wa Miatain. Juz:1. Hal.328.)
- Syamsuddiin As-Sakhowi Asy-Syafi’i berkata:
(( وَكَانَ أَبُو أَيُّوبَ سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الشَّاذَكُونِيُّ مِنَ الْحُفَّاظِ الْكِبَارِ، إِلَّا أَنَّهُ كَانَ يُتَّهَمُ بِشُرْبِ النَّبِيذِ وَبِالْوَضْعِ، حَتَّى قَالَ الْبُخَارِيُّ: هُوَ أَضْعَفُ عِنْدِي مِنْ كُلِّ ضَعِيفٍ ))
“Adalah Abu Ayyub Sulaiman bin Dawud Asy-Syadzakuni, termasuk diantara huffadzul kibar, akan tetapi ia tersangka dengan tuduhan minum khamr dan pemalsuan hadits, hingga Imam Al-Bukhori rahimahulloh turut berkomentar tentang diri Asy-Syadzakuni “Dia lebih dho’if (lemah) di sisiku dari seluruh rowi dho’if.” (Lihat Fathul Mughits bi Syarhi Alfiyatul Hadits. Bab: Maraatibut Ta’diil. Juz:2. Hal.116.)
- Akrom bin Muhammad Ziyadah Al-Faluji Al-Atsari berkata:
(( أبو أيوب، سليمان بن داود الشاذكوني، المنقري، البصري، توفي سنة أربع وثلاثين ومائتين، من العاشرة، حافظ، ضعيف، ضاعت كتبه، فحدث من حفظه، فأخطأ، فرموه بالكذب والوضع ))
“Abu Ayyub Sulaiman bin Dawud Asy-Syadzakuni Al-Munqiri Al-Bashri, wafat pada tahun 234 Hijriyah. Termasuk deretan thobaqot ke-10. Al-Hafidz akan tetapi dho’if, hilang kitab-kitabnya, lalu ia menyampaikan hadits dari hafalannya, namun salah. Maka para ‘ulama melemparinya (menyifatinya) dengan kadzib dan al-wadh’u (pemalsu hadits).” (Lihat Al-Mu’jamus Shoghir liRuwaatil Imam Ibnu Jarir. Bab: As-Siin Al-Muhmalah: Man Ismuhu Sulaiman. Juz:1. Hal.215.)
- Ibnu Mandah Al-‘Abdi berkata:
(( أَبُو أَيُّوب: سُلَيْمَان بن دَاوُد الشَّاذكُونِي الْبَصْرِيّ. مُنكر الحَدِيث. حدث عَن: حَمَّاد بن زيد.))
“Abu Ayyub Sulaiman bin Dawud Asy-Syadzakuni Al-Bashri: Munkarul Hadits. Dia mennyampaikan hadits dari Hammad bin Zaid.” (Lihat Fathul Bab fil Kunaa wal Alqoob. Bab: wa mimman Kunyatuhu Abu Ayyub. Juz:1. Hal.67.)
Allahu a’lam.
-Ibnu_Mauluddin-