Tuntunan Ringkas Seputar Hari Raya Idul Fithri

Idul Fitri merupakan salah satu hari raya yang Allah subhaanahu wa ta’ala anugerahkan kepada kaum muslimin. Dinamakan Idul Fitri karena ia selalu berulang setiap tahun dengan penuh kegembiraan, dan di antara bentuk kegembiraan itu adalah makan, minum, dan lain sebagainya dari hal-hal mubah yang sebelumnya tidak boleh dilakukan di siang hari Ramadhan.
Di mana Kita Shalat Id, dan Bagaimana Cara Menuju Tempat Tersebut?
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menuntunkan agar shalat Id dilaksanakan di musholla id (tanah lapang), dan inilah yang dilakukan oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Abu Sa’id al-Khudri radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Dahulu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam selalu keluar menuju mushalla (tanah lapang) untuk melaksanakan shalat Idul Fitri dan Idul Adha….” (HR. al-Bukhari no. 956)
Namun bila ada udzur seperti hujan dan yang sejenisnya, maka boleh dilakukan di masjid. Asy Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata, “Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan hadits-hadits yang shahih menunjukkan bahwa beliau selalu mengerjakan dua shalat id di tanah lapang pinggiran kampung, dan ini terus berkelanjutan di masa generasi pertama (ummat ini), mereka tidak melaksanakan di masjid-masjid kecuali bila ada udzur yang darurat seperti hujan dan sejenisnya. Inilah madzhab Imam yang empat dan selain mereka dari para Imam.” (Shalatul ‘Idaini fil Musholla Hiyas Sunnah, hal. 35).
Adapun cara menuju mushalla Id (tanah lapang) adalah:
Pertama, bagi kaum laki-laki hendaknya mengenakan pakaian yang terbaik, sebagaimana hadits Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhuma dalam Shahih al-Bukhari no. 948.
Kedua, makan beberapa butir kurma sebelum berangkat, sebagaimana hadits Anas radhiyallaahu ‘anhu ia berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم لاَ يَغْدُوْ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ التَّمَرَاتِ
“Rasulullah tidaklah berangkat untuk shalat Idul Fitri kecuali memakan beberapa butir kurma terlebih dahulu.” (HR. al-Bukhari no. 953).
Ketiga, berangkat dan pulang melewati jalan yang berbeda, sebagaimana hadits Jabir radhiyallaahu ‘anhu ia berkata, “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika hari Id melewati jalan yang berbeda (antara berangkat dan pulang –red).” (HR. al-Bukhari no. 986).
Keempat, melantunkan takbir, sebagaimana riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf dan disebutkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Silsilah Shahihah no. 170.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah berkata, “Dan disyariatkan bagi siapa saja untuk melantunkan takbir ketika keluar menuju shalat Id, dan ini kesepakatan Imam yang empat.”
Apa yang Dilakukan Setiba di Tempat Shalat?
Ketika tiba di tempat shalat, hendaknya terus bertakbir hingga imam memulai shalat. Adapun shalat sunnah qabliyyah dan ba’diyyah Id, maka tidak ada tuntunannya, sebagaimana hadits Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhuma:
… لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلَابَعْدَهَا …
“… (Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam) belum pernah shalat (sunnah) sebelum shalat Id atau pun sesudahnya…” (HR. al-Bukhari no. 989).
Tidak Ada Adzan dan Iqomah
Sahabat Jabir radhiyallaahu ‘anhu berkata:
“Aku telah melaksanakan shalat dua Id bersama Rasulullah tidak hanya sekali atau dua kali (semuanya -red) tanpa adzan dan iqomah.” (HR. Muslim no. 887)
Adapun ucapan, “Ash-shalaatu Jaami’ah”, maka al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah berkata, “Yang sunnah adalah tidak mengucapkannya.” (Zaadul Ma’ad 1/427)
Shalat Dulu, Kemudian Khutbah
Sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Aku telah menyaksikan shalat Id bersama Rasulullah, Abu Bakr, Umar dan Utsman, semuanya melakukan shalat Id sebelum khutbah.” (HR. al-Bukhari no. 962 dan Muslim no. 84)
Sifat Shalat Id
Shalat Id dua rakaat, dimulai dengan takbiratul ihram, kemudian bertakbir 7 kali (selebihnya seperti shalat lainnya). Dan pada rakaat kedua bertakbir 5 kali selain takbir perpindahan gerakan, (selebihnya seperti shalat lainnya). Dan ini yang dijelaskan oleh al-Baghawi rahimahullaah dalam Syarhus Sunnah 4/309.
Adapun bacaan tertentu di antara takbir, maka belum pernah dicontohkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan bacaan surah yang disunnahkan (padanya) adalah Surah Qaaf dan Al-Qamar, sebagaimana riwayat Muslim no. 892, atau Surah Al-A’la dan Al-Ghasyiyah, sebagaimana riwayat Muslim no. 878.
Dan jika ketinggalan shalat bersama imam, maka shalat 2 rakaat. Al-Imam al-Bukhari rahimahullaah berkata, “Bab: Jika Ketinggalan Shalat Id, Maka Shalat 2 Rakaat.” (Lihat Fathul Baari 2/550)
Bagaimana dengan Wanita?
Kaum wanita diperintah oleh Rasulullah untuk menghadiri shalat Id, sebagaimana perkataan Ummu ‘Athiyyah radhiyallaahu ‘anha, “Kami diperintah untuk menghadirkan gadis-gadis dan wanita-wanita haid pada 2 hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha –red), agar mereka menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin, sedangkan yang haid diminta untuk menjauhi tempat shalat.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Namun ada 2 hal yang perlu diingat:
Pertama, Hendaknya keluar dalam keadaan menutup aurat dengan sempurna, tidak berhias, tidak memakai wewangian, dan tidak campur baur dengan laki-laki, karena dilarang oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan bisa menjadi fitnah bagi kaum lelaki.
Kedua, Tidak boleh berjabat tangan dengan selain mahramnya. Sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika membaiat kaum wanita, “Sungguh aku tidak berjabat tangan dengan wanita (yang bukan mahram).” (HR. an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Juga sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Benar-benar kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi, lebih baik dari menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. adh Dhiyaa’ al-Maqdisi)
Dan hukum haramnya perbuatan ini ada di dalam kitab-kitab empat madzhab. (Lihat Ahkamul Idain hal. 82)
Dan ada beberapa hal yang tidak ada sunnahnya untuk dilakukan pada hari Id dan harus ditinggalkan, di antaranya: pengkhususan ziarah kubur di hari Id, pengkhususan malam Id untuk melakukan ibadah tertentu, menyerupai orang-orang kafir dalam hal berpakaian dan berpesta pora, dan bertamasya ke tempat-tempat hiburan dan maksiat.
Wallahu a’lam bish shawaab.
Dicuplik dari Buletin Al-Ilmu dengan sedikit perubahan