Uzlah, salah satu solusi di masa fitnah
Oleh Abdul Halim Perawang
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, mereka saling membutuhkan satu sama lain. Tidak hanya dalam urusan dunia saja, bahkan mayoritas ibadah yang Allah syariatkan membutuhkan interaksi.
Mulai dari ibadah yang besar seperti shalat berjamaah yang merupakan kewajiban setiap pria beriman, zakat yang merupakan di antara faktor penstabil ekonomi masyarakat, ibadah haji, jihad fisabilillah, dakwah dan tarbiyah, pelaksanaan Iedul Fitri dan Iedul Adha.
Hingga ibadah-ibadah yang dianggap kecil oleh keumuman orang, seperti mengangkutkan barang milik teman, menampakkan wajah ceria di hadapan saudara sesama muslim, dan seterusnya.
Khulthah (berinteraksi bersama manusia) memang jauh lebih utama daripada ‘uzlah (mengisolasi diri dari kejelekan dan fitnah), karena banyaknya manfaat dari khulthah.
Nabi shalallahu’alaihi wasallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ، وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ، أَعْظَمُ أَجْرًا مِنَ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لَا يُخَالِطُ النَّاسَ، وَلَا يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ
“Seorang mukmin yang berbaur berinteraksi dengan manusia, serta bersabar dengan gangguan mereka, lebih besar pahalanya dibandingkan dengan mukmin yang tidak berbaur dan tidak sabar dengan gangguan mereka.” [HR. Ibnu Majah (4032) dan at-Tirmidzi (2507), dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani]
Namun terkadang, ada beberapa kondisi yang menyebabkan ‘uzlah lebih afdhal dan lebih baik.
Antara lain dalam kondisi seseorang mengkhawatirkan dirinya akan terjerumus ke dalam fitnah, seperti dia berada pada tempat yang diharuskan disana tidak boleh beragama Islam, atau dipaksakan disana sebuah ideologi bid’ah. Atau sangat banyaknya beredar kemaksiatan dan dosa di tengah masyarakat, atau dirinya takut terpengaruh kemudian ikut mengerjakan maksiat tersebut, dan semisalnya. Maka saat itulah ‘uzlah menjadi lebih utama.
Dalam rangka menyelamatkan agama itulah disyariatkannya hijrah dari negeri kafir menuju negeri muslim, dari negeri kefasikan menuju negeri nan dipenuhi suasana ketaatan.
Seorang sahabat pernah bertanya kepada Nabi ‘alaihishalatu wassalam: “Wahai Rasulullah, manusia seperti apakah yang terbaik?” Beliau menjawab,
«مُؤْمِنٌ مُجَاهِدٌ بِنفْسِه ومالِهِ في سَبيْل الله»
“Manusia terbaik adalah seorang yang beriman kemudian berjihad di jalan Allah mengorbankan jiwa serta hartanya.”
“Kemudian siapa?”, sang sahabat kembali bertanya. Kata Rasulullah,
«ثُمَّ رجُل معْتزِلٌ في شِعْب مِن الشِّعابِ يعْبُد ربَّه». في رواية: «يتَّقِي اللهَ، يَدَعُ النَّاس مِن شَرِّه»
“Kemudian seorang yang mengasingkan diri ke salah satu celah bukit yang ada (pelosok negeri) agar dia bisa fokus beribadah kepada Allah.”
Dalam riwayat lain: “Ia melakukannya karena rasa takutnya kepada Allah, dia meninggalkan masyarakat karena khawatir terjerumus dalam kejelekan.” (HR. Al-Bukhari no.2786 dan Muslim no.1888)
Secara hukum asal, berbaur dengan sesama lebih baik. Karena dengannya kita bisa melakukan amar makruf dan nahi mungkar, mendakwahkan al-Haq, dan menjelaskan Sunnah kepada manusia.
Namun jika dalam kondisi fitnah merajalela dan dirinya tidak sanggup bertahan, maka saat itulah ‘uzlah lebih utama baginya.