Agar Marah Menjadi Terarah

Ketika marah, darah dalam hati menjadi panas dan urat leher membesar. Hal ini akan mendorong seseorang untuk melampiaskan kemarahannya. Namun begitu, marah merupakan sifat yang Allah gariskan bagi manusia. Jika diarahkan, marah merupakan sifat yang berbuah kemanfaatan dan kemaslahatan. Orang yang tidak bisa marah, maka pada dirinya terdapat kekurangan. Hanya saja, marah harus ditempatkan pada tempatnya. Sebab, jika marah itu melampaui batas maka menjadi tercela.

Marah, bisa terpuji dan tercela

Pembaca rahimakumullah, siapa di antara kita yang tidak pernah marah? Tentu tidak ada. Hanya saja, seorang mukmin akan senantiasa mengontrol dan mengatur emosinya agar jangan sampai marahnya berkelanjutan. Marah terhadap sebuah kemungkaran justru dibutuhkan. Marah tidak harus identik dengan kekerasan.

Adapun orang yang kurang akal, akan terseret oleh marahnya kepada hal-hal tercela seperti membunuh, melukai, berkata jelek atau memutus hubungan silaturahmi. Akhirnya, marah tersebut membawanya kepada perkara yang membinasakan.

Dijelaskan oleh Ibnul Atsir rahimahullah, Marahnya seorang hamba itu bisa terpuji dan bisa tercela. Terpuji apabila marah tersebut dalam koridor agama dan kebenaran, dan tercela apabila sebaliknya. (An-Nihayah fi Gharibil Hadits 4/370)

Oleh karena itu, marah harus ditempatkan pada tempatnya. Dengan demikian ia akan selamat dari berbagai kejelekan.

Coba simak wasiat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada seorang laki-laki yang datang kepada beliau,

لاَ تَغْضَبْ. فَرَدَّدَ مِرَارًا قَالَ: لاَ تَغْضَبْ

“Jangan kamu marah!”

Laki-laki itu kembali meminta wasiat kepada beliau, dan beliau tetap bersabda, ”Janganlah engkau marah.” (HR. al-Bukhari no. 6116 dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu)

Menahan marah bukan hal yang remeh

Pada hadits di atas, laki-laki tersebut berulang kali mengatakan,

يَا رَسُوْلَ اللهِ أَوْصِنِيْ

 “Wahai Rasulullah, berilah wasiat kepadaku!”

Hal ini menunjukkan bahwa apa yang dimintanya adalah sebuah perkara penting, bukan hal yang remeh. Sebab, wasiat adalah memberi pesan kepada seseorang dengan sebuah perkara atau perintah yang penting.

Ternyata, jawaban Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah,

لاَ تَغْضَبْ

“Janganlah engkau marah!”

Sehingga, menahan amarah bukan hal yang remeh. Menjaga diri agar tidak marah merupakan hal yang tidak mudah. Maka dari itu, jauh-jauh hari Rasulullah sangat menekankan dalam sebuah wasiat.

Marah adalah Lumrah

Larangan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada hadits di atas bukan berarti marah itu tidak mungkin. Justru, marah merupakan hal yang lumrah. Hanya saja, keadaan manusia sendiri sangat berbeda-beda dalam masalah marah ini. Ada yang emosional, ada pula yang sebaliknya.

Namun, semuanya tetap dituntut agar mengontrol amarahnya. Masing-masing diharapkan menenangkan jiwa dan mendinginkan permasalahan. Yaitu, dengan menahan diri dari faktor-faktor yang bisa membuat marah.

Sehingga, dengan menahan diri, jiwa tidak akan marah. Jika ternyata harus marah, jangan sampai marah tersebut membawa kepada dampak buruk dari kemarahannya.

Keutamaan Menahan Marah

Menahan marah merupakan sifat orang bertakwa. Ketika menyebutkan sifat-sifat mereka, Allah subhanahu wata’ala berfirman,

وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ

 “… dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan orang lain.” (Ali Imran: 134)

Dalam kesempatan lain, Allah subhanahu wata’ala menyifati orang-orang yang beriman,

وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ

“Dan apabila mereka marah, segera memberi maaf.” (asy-Syuraa: 37)

Allah tidak berfirman, ”Mereka tidak marah.” Akan tetapi, Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Dan apabila mereka marah, segera memberi maaf.” Hal yang dituntut adalah memberi maaf dan bersikap lembut ketika marah.

Bahkan Rasulullah menegaskan bahwa orang yang mampu menahan dirinya saat marah sejatinya dialah orang yang kuat. Sebagaimana sabda beliau shallallahu alaihi wasallam,

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الغَضَبِ

“Orang kuat itu bukanlah orang yang menang dalam gulat akan tetapi orang kuat adalah orang yang mampu menguasai dirinya ketika marah.” (HR. al-Bukhari no. 6114 dan Muslim no. 2609 dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu)

Marah Karena Allah

Menahan marah tidak berarti diam dari kemungkaran. Justru, ketika terjadi kemungkaran seseorang harus marah. Namun, perlu digarisbawahi, marah yang terpuji dan terarah. Marah yang harus disesuaikan dengan bingkai syariat Islam.

Nabi shallallahu alaihi wasallam sendiri pernah marah namun tidak sampai berkepanjangan. Kecuali jika kemarahan itu karena Allah. Beliau adalah seorang yang lembut dan tidak suka membalas dendam sekalipun kepada orang-orang yang memberikan gangguan kepada beliau. Namun ketika batasan-batasan Allah dilanggar maka beliau pun marah karena Allah, bukan karena dirinya.

Demikianlah seharusnya. Seorang mukmin meneladani beliau. Yaitu, tidak marah karena dirinya sendiri. Hendaknya, ia bersikap lembut, memaafkan dan berbuat baik kepada orang yang menyebabkan dia marah. Allah subhanahu wata’ala berfirman,

فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ

“Maka barangsiapa yang memaafkan dan mengadakan perbaikan, pahalanya ada di sisi Allah.” (asy-Syuraa: 40)

Langkah-Langkah Menahan Marah

Jika tidak terarah, kemarahan akan melahirkan berbagai kerusakan besar. Berapa banyak suami menceraikan istrinya tatkala dia marah. Setelah kemarahannya mereda, dia baru sadar, kemudian menyesal.

Berapa banyak orang ketika marah mengucapkan perkataan yang tidak terpuji seperti ucapan, “Demi Allah, aku tidak akan mengajak berbicara fulan!”. Kemudian dia menyesal.

Jika ada pertanyaan, “Kalau ada faktor-faktor yang membuat seseorang marah, apa yang harus dilakukannya?”

Pertama, kondisikan dirimu sebisa mungkin agar tidak marah. Kedua, Jika terpaksa harus marah, maka jangan sampai kemarahan itu berkepanjangan. Akan tetapi wajib bagimu untuk bersabar dan menghilangkannya serta bersikap lembut.

Di samping itu, ada beberapa obat dan solusi dari kemarahan. Obat tersebut berbentuk ucapan dan tindakan.

Obat Dalam Bentuk Ucapan

Jika seseorang marah, maka hendaknya mengucapkan,

أَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ

“Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.”

Sebab, suatu ketika Rasulullah melihat seseorang yang sedang marah besar. Maka beliau lantas bersabda,

إِنِّي لأَعْلَمُ كَلِمَةً، لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ – يعني الغضب -، لَوْ قَالَ: أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

“Sungguh, aku mengetahui sebuah kalimat, kalau seandainya dia mengucapkannya, pasti apa yang ia dapati (dari rasa marah) akan hilang. (Kalimat tersebut yaitu) Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.” (HR. al-Bukhari no. 3282 dan Muslim no. 2610 dari shahabat Sulaiman bin Shurad radhiyallahu anhu)

Obat Berupa Tindakan

Kalau seseorang yang marah dalam keadaan berdiri maka hendaknya duduk. Kalau dia duduk maka hendaknya berbaring. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,

إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ، فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلاَّ فَلْيَضْطَجِعْ

“Apabila salah seorang di antara kalian marah dalam keadaan berdiri hendaknya dia duduk. Jika dengan itu kemarahannya belum hilang maka hendaknya dia berbaring.” (HR. Abu Dawud no. 4782 dari shahabat Abu Dzar radhiyallahu anhu)

Keindahan Islam

Penjelasan di atas menunjukkan keindahan Islam. Agama Islam melarang berbagai akhlak jelek dan tercela. Di antara sifat buruk tersebut adalah marah yang tidak terarah.

Pelarangan dari berbagai akhlak jelek dan tercela secara tersirat mengandung perintah untuk berakhlak yang baik dan terpuji. Oleh karena itu, biasakanlah diri kita untuk menahan diri dan tidak marah.

Pernah suatu ketika ada seorang arab badui menarik selendang Nabi shallallahu alaihi wasallam. Begitu kerasnya, tarikan tersebut sampai menimbulkan bekas tarikan pada leher beliau. Beliaupun menoleh pada Arab Badui tersebut lantas tertawa.  (HR. al-Bukhari dan Muslim, lihat Syarah Arbain An-Nawawi)

Padahal kalau tindakan ini dilakukan kepada orang lain selain beliau, setidaknya orang tersebut akan marah.  Maka wajib bagi kita, umat Islam, sebisa mungkin untuk bersikap tenang, sabar serta tidak tergesa-gesa.

Saat marah, kondisikan hati Anda agar merasa tenang dan jauh dari berbagai penyakit yang akan timbul dalam sebuah hati, seperti tidak sadarkan diri, tekanan darah naik dan semisalnya. Wallahu A’lam.

Penulis: Ustadz Abu Abdillah Majdiy hafizhahullah

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.