Hukum Membunuh Duta/Utusan Negara Kafir Karena Dianggap Negaranya Tersebut Memerangi Kaum Muslimin

Pertanyaan:

Ada yang berfatwa bahwa boleh membunuh orang-orang kafir yang berada di Jazirah Arab dengan dalih bahwa mereka bukan orang-orang yang terikat perjanjian damai, karena negara mereka membunuh kaum muslimin dengan dalih memerangi terorisme. Maka fatwa ini benar?

Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjawab:

Ini termasuk fatwa orang-orang bodoh dan juga sok pintar. Tidak boleh membunuh orang-orang kafir yang datang dengan perjanjian dan jaminan keamanan. Mereka masuk ke negeri-negeri kaum muslimin perjanjian dan jaminan keamanan yang diberikan oleh kaum muslimin.

Yang seperti ini merupakan tindakan melanggar janji dan berkhianat yang tidak diperbolehkan, walaupun mereka berada di Jazirah Arab.
Mereka boleh untuk masuk ke Jazirah Arab untuk kepentingan kaum muslimin, apakah sebagai duta besar, pedagang, atau pekerja yang mengerjakan hal-hal yang tidak bisa dikerjakan dengan baik oleh selain mereka, yang seperti ini boleh.

Yang dilarang adalah menetap untuk selamanya atau menjadi warga negara, yaitu memberi izin kepada orang-orang kafir untuk menetap di Jazirah Arab.

Adapun mereka masuk ke Jazirah Arab untuk tujuan muamalah dan kerja sama, lalu mereka keluar, maka ini tidak terlarang.

Sumber || http://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=7086

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bertanya kepada dua orang utusan Musailamah al-Kadzdzab (yang mengaku sebagai nabi -pent), “Apa keyakinan kalian?”

Keduanya menjawab, “Seperti yang dia (Musailamah) yakini.”

Maka beliau bersabda:

ﺃَﻣَﺎ ﻭَﺍﻟﻠَّﻪِ ﻟَﻮْ ﻻَ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﺮُّﺳُﻞَ ﻻَ ﺗُﻘْﺘَﻞُ ﻟَﻀَﺮَﺑْﺖُ ﺃَﻋْﻨَﺎﻗَﻜُﻤَﺎ.

“Demi Allah, seandainya bukan karena para utusan itu tidak boleh untuk dibunuh, niscaya kupenggal leher kalian.” (HR. Abu Dawud no. 2761)

Sumber || https://twitter.com/Arafatbinhassan/status/810943815792160768

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda :

(من قتل نفسًا معاهدا لم يرح رائحة الجنة)

“Barangsiapa membunuh jiwa seorang kafir mu’ahad maka dia tidak akan mencium aroma surga.” (HR. al-Bukhari)

al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan, “Yang dimaksud adalah orang kafir yang dia ada perjanjian dengan kaum muslimin, baik dalam bentuk keharusan si kafir membayar jizyah, atau perjanjian damai (dengannya) oleh pihak penguasa, atau jaminan keamanan (untuknya) dari seorang muslim.” (Fathul Bari, 12/259)

Asy-Syaikh al-‘Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah ditanya:

“Sebagian pemuda menyangka bahwa kekerasan terhadap orang-orang kafir, baik mereka yang tinggal di negeri Islam maupun para duta/utusan resmi. Sebagian para pemuda itu menganggap halal membunuh dan menghabisi orang-orang kafir tersebut ketika mereka melihat kemungkaran dari orang-orang kafir itu.”

Beliau menjawab:

“Tidak boleh membunuh orang kafir yang tinggal/menetap atau utusan/duta yang telah dijamin keamanannya, yaitu telah diizinkan masuk oleh negara dengan aman. Demikian pula tidak boleh membunuh ahli maksiat dan menyerang mereka.

Kemungkaran yang mereka lakukan diserahkan kepada hukum syariat. Mahkamah (Pengadilan) Syariat yang kalian lihat, itu sudah mencukupi.”

Tanya : “Jika tidak ada pengadilan syari’at?”

Jawab :

“Jika tidak ada pengadilan syari’at, maka nasehat saja. Yaitu menyampaikan nasehat kepada pemerintah dan menyarankannya kepada kebaikan. Bekerja sama dengan pemerintah, agar mereka mau berhukum dengan syari’at Allah.

Adapun seseorang yang memerintah atau melarang dengan tangannya, yaitu membunuh atau memukul maka ini tidak boleh. Namun hendaknya dia bekerja sama dengan pemerintah dengan cara yang baik supaya pemerintah mau memberlakukan hukum syari’at Allah terhadap hamba-hamba Allah.

Kalau tidak, maka kewajiban dia hanyalah menyampaikan nasehat dan menyarankan kebaikan. Kewajibannya adalah mengingkari kemungkaran dengan cara yang lebih baik. Inilah kewajiban dia. Allah Ta’ala berfirman (artinya), “Bertaqwalah kalian kepada Allah sesuai kemampuan kalian.”

Karena mengingkari kemungkaran tersebut dengan tangan, baik dengan membunuh atau memukul akan mengakibatkan kejelekan yang lebih banyak dan kerusakan yang lebih besar, ini tanpa diragukan lagi bagi barangsiapa yang telah berpengalaman dan mengerti permasalahan ini.”

(Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 8/207)

Disarikan dari

www.forumsalafy.net

www.manhajul-anbiya.net

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.