Mayoritas atau Minoritas?
Ada sebuah fenomena yang perlu dijadikan bahan renungan. Yaitu apakah mayoritas itu merupakan tolok ukur sebuah kebenaran? Termasuk dalam dakwah. Apabila seorang dai mempunyai banyak pengikut, ceramahnya diputar di radio-radio, kanal-kanal internet, dll maka dakwahnya pun pasti benar.
Sebaliknya apabila seorang dai, pengikutnya hanya sedikit, maka dakwahnya pun dicurigai, bahkan terkadang divonis sesat. Apakah demikian? Kita simak pembahasan berikut ini,
Dakwah para Nabi
Kita melihat dakwah salah satu nabi dan rasul Allah, yaitu Nuh. Beliau adalah rasul pertama. Bahkan termasuk salah satu nabi Ulul Azmi. Siapa saja yang beriman kepada dakwah beliau? Allah berfirman,
وَمَآ ءَامَنَ مَعَهُۥٓ إِلَّا قَلِيل٤٠
“Tidaklah beriman bersamanya (Nuh ‘alaihissalam) kecuali sedikit.” (Hud: 40)
Dalam sebuah hadis, dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عُرِضَتْ عَلَيَّ الْأُمَمُ، فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّهْطُ، وَالنَّبِيَّ وَمعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلاَنِ، وَالنَّبِيَّ وَلَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ
“Berbagai umat telah ditampakkan kepadaku, maka aku melihat seorang nabi yang jumlah pengikut yang bersamanya kurang dari 10 orang, seorang nabi yang jumpah pengikut yang bersamanya hanya satu atau dua orang, dan seorang nabi yang tidak ada seorang pun yang bersamanya.” (HR. al-Bukhari)
Terkait dengan hadis ini, Syaikh Sulaiman bin Abdullah Alusy-Syaikh berkata, “Dalam hadits ini terdapat bantahan bagi orang yang berdalih dengan hukum mayoritas dan beranggapan bahwa kebenaran itu selalu bersama mereka. Tidaklah demikian adanya, bahkan yang semestinya adalah mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah bersama siapa saja dan di mana saja.” (Taisir al-‘Azizil Hamid, hlm.106)
Dijelaskan pula oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata, “Tidak boleh tertipu dengan jumlah mayoritas, karena jumlah mayoritas terkadang di atas kesesatan. Allah subhanahu wa ta’la berfirman:
وَإِن تُطِعۡ أَكۡثَرَ مَن فِي ٱلۡأَرۡضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَإِنۡ هُمۡ إِلَّا يَخۡرُصُونَ ١١٦
“Dan jika kamu menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah subhanahu wa ta’la).” (al-An’am: 116)
Jika kita melihat bahwa mayoritas penduduk bumi berada dalam kesesatan, maka janganlah tertipu dengan mereka. Jangan pula engkau katakan, ‘Sesungguhnya orang-orang melakukan demikian, mengapa aku bersikap eksklusif tidak sama dengan mereka?” (al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, 1/106)
Tolok Ukur Kebenaran
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata, “Maka tolok ukurnya bukanlah banyaknya pengikut suatu mazhab atau perkataan, namun tolok ukurnya adalah benar ataukah batil. Selama ia benar walaupun yang mengikutinya hanya sedikit atau bahkan tidak ada yang mengikutinya, maka itulah yang harus dipegang (diikuti), karena ia adalah keselamatan. Selamanya, sesuatu yang batil tidaklah terdukung (menjadi benar, pen.) karena banyaknya orang yang mengikutinya. Inilah tolok ukur yang harus selalu dipegangi oleh setiap muslim.”
Beliau juga berkata, “Maka tolok ukurnya bukanlah banyak (mayoritas) ataupun sedikit (minoritas), bahkan tolok ukurnya adalah al-haq (kebenaran). Barangsiapa di atas kebenaran—walaupun sendirian—maka ia benar dan wajib diikuti. Jika mayoritas (manusia) berada di atas kebatilan maka wajib ditolak dan tidak boleh tertipu dengannya. Jadi tolok ukurnya adalah kebenaran. Oleh karena itu, para ulama berkata, ‘Kebenaran tidaklah dinilai dengan orang, namun oranglah yang dinilai dengan kebenaran. Barang siapa di atas kebenaran maka ia wajib diikuti’.” (Syarh Masail al-Jahiliah, hlm. 61)
Tidak tertipu dengan mayoritas
Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy-Syaikh berkata, “Hendaknya seorang muslim berhati-hati agar tidak tertipu dengan jumlah mayoritas, karena telah banyak orang-orang yang tertipu (dengannya), bahkan orang-orang yang mengaku berilmu sekalipun. Mereka berkeyakinan di dalam beragama sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang bodoh lagi sesat (yaitu mengikuti mayoritas manusia, pen.) dan tidak mau melihat kepada apa yang dikatakan oleh Allah subhanahu wa ta’la dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Qurratu ‘Uyunil Muwahhidin, dinukil dari ta’liq [catatan kaki] Fathul Majid, hlm. 83, no. 1)
Jika Mayoritas di Atas Kebenaran
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata, “Ya, jika mayoritas manusia berada di atas kebenaran, maka ini sesuatu yang baik. Namun sunnatullah menunjukkan bahwa mayoritas (manusia) berada di atas kebatilan.
وَمَآ أَكۡثَرُ ٱلنَّاسِ وَلَوۡ حَرَصۡتَ بِمُؤۡمِنِينَ ١٠٣
“Dan mayoritas manusia tidak akan beriman, walaupun kamu (Muhammad) sangat menginginkannya.” (Yusuf: 103)
وَإِن تُطِعۡ أَكۡثَرَ مَن فِي ٱلۡأَرۡضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ
“Dan jika engkau menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (al-An’am: 116) [Syarah Masail al-Jahiliah, hlm. 62]
Kesimpulan
Kesimpulannya, hukum mayoritas bukan dari syariat Islam, sehingga ia tidak bisa dijadikan sebagai tolok ukur kebenaran suatu dakwah, manhaj, dan perkataan. Tolok ukur yang hakiki adalah kebenaran yang dibangun di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman as-Salafush Shalih.