MENENGOK SKETSA KEHIDUPAN KITA

Nuansa kehidupan kita pada hari-hari ini agak berbeda dengan nuansa kehidupan pada bulan-bulan yang lalu.
Baliho besar yang berisikan gambar partai-partai politik nampak terpajang di berbagai sudut strategis kota.Bendera-bendera par-pol dan strikernya pun turut meramaikan suasana, baik di kota maupun di desa.Terlebih lagi gaung kampanye sudah mulai bergema…,suatu pergeseran kehidupan yang belum pernah kita rasakan pada bulan-bulan sebelumnya.
Pernahkah diantara kita mencoba untuk merenung,apa gerangan yang menyebabkan terjadinya semua ini…?
Ketahuilah wahai saudaraku,bahwa negeri kita menganut sistem demokrasi dan apa yang anda saksikan hari-hari ini merupakan salah satu dari konsekwensinya.
Bila kita tengok lebih jauh ternyata sistem demokrasi ini benar-benar ”menuhankan” suara mayoritas.Karena sejak proses awal kampanye hingga pemilihan presiden suara mayoritaslah yang sangat menentukan.Oleh karena itu jangan heran bila kemudian muncul istilah “money politic”,karena suara merupakan sesuatu yang sangat berharga dalam sistem ini, lebih-lebih lagi kalau itu suara mayoritas.
Mengingat betapa besarnya pengaruh suara mayoritas ini dalam kehidupan bermasyarakat kita,baik yang terkait dengan gawe hari-hari ini ataupun yang yang lainnya,maka saya ingin mengajak para pembaca untuk sama-sama memahami dan menelusuri hakikat hukum suara mayoritas tersebut menurut kaca mata islam.

Apa Itu Hukum Mayoritas ?
Yang dimaksud dengan hukum mayoritas dalam pembahasan kali ini adalah ; suatu ketetapan hukum bahwa jumlah mayoritas merupakan patokan kebenaran, dan suara terbanyak merupakan keputusan yang harus diikuti,meski bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah Rosululloh ?.

Sejauh Manakah Keabsahan Hukum Mayoritas Ini ?.
Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menggolongkan hukum mayoritas ini ke dalam kaidah-kaidah yang dipegangi oleh orang-orang jahiliyyah, bahkan termasuk kaidah terbesar yang mereka punyai. Beliau berkata : “Sesungguhnya di antara kaidah terbesar mereka adalah ; berpegang dan terbuai dengan jumlah mayoritas, mereka menilai suatu kebenaran dengannya dan menilai suatu kebatilan dengan kelangkaannya dan dengan sedikitnya orang yang melakukan”. (Kitab Masail Al Jahiliyyah, masalah ke-5).
Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan berkata : “Di antara karakter jahiliyyah adalah ; bahwasanya mereka menilai suatu kebenaran dengan jumlah mayoritas, dan menilai suatu kesalahan dengan jumlah minoritas, sehingga sesuatu yang diikuti oleh kebanyakan orang berarti benar, sedangkan yang diikuti oleh segelintir orang berarti salah. Inilah patokan yang ada pada diri mereka di dalam menilai yang benar dan yang salah. Padahal patokan ini tidak benar, karena Alloh Jalla wa ‘Alaa berfirman :
?وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَمَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ الله إِنْ يَتَّبِعُوْنَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنْ هُم إِلاَّ يَخْرُصُوْنَ?
“Dan jika kamu menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Alloh. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Alloh ? )”. (QS. Al An’aam: 116).
Dia juga berfirman :
? وَلكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُوْنَ?
“Tetapi mayoritas manusia tidak mengetahui”. (QS. Al A’raaf: 187).
?وَمَا وَجَدْنَا ِلأَ كْثَرِهِمْ مِنْ عَهْدٍ وَإِنْ وَجَدْنَا أَكْثَرَهُمْ لَفَاسِقُوْنَ?
“Dan Kami tidak mendapati mayoritas mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati mayoritas mereka orang-orang yang fasik”. (QS. Al A’raaf: 102).
Dan lain sebagainya”. (Syarh Masail Al Jahiliyyah, hal. 60).
Bila demikian hakekat permasalahannya, maka betapa ironisnya pernyataan para budak demokrasi bahwa “suara rakyat adalah suara Tuhan”. Suatu pernyataan sesat yang memposisikan suara rakyat (mayoritas) pada tingkat tertinggi yang tak akan pernah salah bak suara Tuhan. Mau dikemanakan firman-firman Alloh di atas ?!. Yang lebih tragis lagi, orang-orang yang mengkampanyekan diri sebagai “partai islam”….., siang dan malamnya berteriak “tegakkan syari’at Islam!!”, namun sejak awal kampanyenya yang dibidik adalah suara terbanyak, tak mau tahu suara siapakah itu. Dan ketika duduk di kursi dewan, teriakannya pun hanya sampai pada kata “tegakkan” sedangkan kata “syari’at Islam” tak lagi terdengar. Jangankan menegakkan syari’at Islam, menampakkan syiar Islam pada dirinya saja masih harus mempertimbangkan sekian banyak pertimbangan. Terlebih lagi tatkala rapat dan sidang digelar, hasilnya pun berujung pada suara terbanyak. Tak mau tahu, suara siapakah itu….. tak mau peduli, apakah sesuai dengan syariat Islam ataukah justru menguburnya….. tak mau pusing, apakah menguntungkan umat Islam ataukah justru menelantarkannya. Dan ketika hasil sidang tersebut diprotes karena tak selaras dengan syari’at Islam, maka dia pun orang yang pertama kali berkomentar bahwa ini adalah suara mayoritas anggota dewan….., kita harus mempunyai sikap toleran dan legowo….., kita harus menjunjung tinggi demokrasi, dan lain sebagainya. Padahal kalau dia belum duduk di kursi dewan, barangkali dialah orang pertama yang menggelar demo1 dengan berbagai macam atribut dan spanduknya. Wallohul Musta’an.
Demikianlah bila hukum mayoritas dikultuskan. Kesudahannya, akan semakin jauh dari hukum Alloh, akan semakin buta tentang syari’at Islam, bahkan akan menjadi penentang terhadap hukum Alloh dan syari’at-Nya.
Para pembaca yang dirahmati Alloh….. sesungguhnya masih ada fenomena lain yang perlu untuk dijadikan refleksi, yaitu dijadikannya hukum mayoritas sebagai tolak ukur suatu dakwah. Apabila seorang da’i mempunyai banyak pengikut, ceramahnya diputar di seluruh radio nusantara dan akhirnya bergelar “da’i sejuta umat” maka dakwahnya pun pasti benar. Sebaliknya bila seorang da’i pengikutnya hanya sedikit, maka dakwahnya pun dicurigai, bahkan terkadang divonis sesat. Padahal Alloh telah berfirman tentang nabi Nuh ? :
?وَمَاءَامَنَ مَعَهُ إِلاَّ قَلِيْلٌ?
“Dan tidaklah beriman bersamanya (Nuh) kecuali sedikit”. (QS. Huud: 40).
Rasululloh ? bersabda :
عُرِضَتْ عَلَيَّ اْلأُمَمُ, فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّهْطُ, وَالنَّبِيَّ وَمعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلاَنِ, وَالنَّبِيَّ وَلَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ …..
“Telah ditampakkan kepadaku umat-umat, maka aku melihat seorang nabi bersamanya kurang dari 10 orang, seorang nabi bersamanya satu atau dua orang, dan seorang nabi tidak ada seorang pun yang bersamanya….”. (HR. Al Bukhari no:5705, 5752, dan Muslim no:220, dari hadits Abdullah bin Abbas)
Asy Syaikh Sulaiman bin Abdullah Alus Syaikh berkata : “Dalam hadits ini terdapat bantahan bagi orang yang berdalih dengan hukum mayoritas, dan beranggapan bahwa kebenaran itu selalu bersama mereka. Tidaklah demikian adanya, bahkan yang semestinya adalah mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah bersama siapa saja dan di mana saja”.
(Taisir Al ‘Azizil Hamid, hal.106).
Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin berkata : “Tidak boleh tertipu dengan jumlah mayoritas, karena jumlah mayoritas terkadang di atas kesesatan, Alloh berfirman :
?وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَمَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ الله إِنْ يَتَّبِعُوْنَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنْ هُم إِلاَّ يَخْرُصُوْن َ?
“Dan jika kamu menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Alloh. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Alloh ?)”. (QS. Al An’aam: 116).
Jika kita melihat bahwa mayoritas penduduk bumi berada dalam kesesatan, maka janganlah tertipu dengan mereka. Jangan pula engkau katakan : “Sesungguhnya orang-orang melakukan demikian, mengapa aku eksklusif tidak sama dengan mereka ?”. (Al Qoulul Mufid ‘Ala Kitabit Tauhid, Juz 1 hal. 106).
Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan berkata : “Maka tolak ukurnya bukanlah banyaknya pengikut suatu madzhab atau perkataan, namun tolak ukurnya adalah benar ataukah batil. Selama ia benar walaupun yang mengikutinya hanya sedikit atau bahkan tidak ada yang mengikutinya, maka itulah yang harus dipegang (diikuti), karena ia adalah keselamatan. Dan selamanya sesuatu yang batil tidaklah terdukung (menjadi benar-pen) dikarenakan banyaknya orang yang mengikutinya. Inilah tolak ukur yang harus selalu dipegangi oleh setiap muslim”. Beliau juga berkata: “Maka tolak ukurnya bukanlah banyak (mayoritas) atau pun sedikit (minoritas), bahkan tolak ukurnya adalah al haq (kebenaran), barangsiapa di atas kebenaran- walaupun sendirian- maka ia benar dan wajib diikuti, dan jika mayoritas (manusia) berada di atas kebatilan maka wajib ditolak dan tidak boleh tertipu dengannya. Jadi tolak ukurnya adalah kebenaran, oleh karena itu para ulama berkata : “Kebenaran tidaklah dinilai dengan orang, namun oranglah yang dinilai dengan kebenaran. Barangsiapa di atas kebenaran maka ia wajib diikuti”. (Syarh Masail Al Jahiliyyah, hal.61).
Asy Syaikh Abdurrohman bin Hasan Alus Syaikh berkata : “Hendaknya seorang muslim berhati-hati agar tidak tertipu dengan jumlah mayoritas, karena telah banyak orang-orang yang tertipu (dengannya), bahkan orang-orang yang mengaku berilmu sekalipun. Mereka berkeyakinan di dalam beragama sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang bodoh lagi sesat (mengikuti mayoritas manusia -pen) dan tidak mau melihat kepada apa yang dikatakan oleh Alloh dan Rosul-Nya”. (Qurrotu Uyunil Muwahhidin, dinukil dari ta’liq Kitab Fathul Majid, hal. 83, no. 1).
Bagaimanakah Jika Mayoritas Berada Di Atas Kebenaran ?.
Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan berkata : “Ya, jika mayoritas manusia berada di atas kebenaran, maka ini sesuatu yang baik. Akan tetapi sunnatulloh menunjukkan bahwa mayoritas (manusia) berada di atas kebatilan.
? وَ مَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَ لَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِيْن ?
“Dan mayoritas manusia tidak akan beriman, walaupun kamu (Muhammad) sangat menginginkannya” (QS. Yusuf: 103).

? وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَمَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ الله … ?
“Dan jika engkau menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Alloh”. (QS. Al An’aam: 116)”. (Syarh Masail Al Jahiliyyah, hal.62).

Penutup
Dari pembahasan yang telah lalu, dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwasanya hukum mayoritas bukan dari syari’at Islam, sehingga ia tidak bisa dijadikan sebagai tolak ukur suatu dakwah, manhaj dan perkataan. Tolak ukur yang hakiki adalah kebenaran yang dibangun di atas Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman As Salafus Sholih.
Atas dasar ini maka sistem demokrasi yang menuhankan suara mayoritas adalah batil. Demikian pula sikap mengukur benar atau tidaknya suatu dakwah, manhaj dan perkataan dengan hukum mayoritas, merupakan perbuatan batil dan bukan dari syari’at Islam.
Wallohu A’lam Bish Showab.

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.