Selembar Potret Masyarakat Nusantara Pedalaman Yang Kurang Terpedulikan -Badan Kurus Kering, di Atas Dipan Terus Terbaring-

Gambar. Salah satu sudut pemandangan pantai Sukamade. Ada duka di balik keindahan.

Mas, kula namung nunut adik kula (Mas, saya hanya numpang adik saya).” kata nenek tua itu sambil menarik nafas dalam sembari mata berkaca-kaca. “Pun mboten gadhah anak maleh (Sudah tidak punya anak lagi).” tambahnya.

Siang itu, jam 11.30, kami mengunjungi rumah Pak Sidin. Pak Sidin merupakan salah satu warga dusun Sumbersari, wilayah Sukamade, Banyuwangi. Sebuah dusun yang terjangkau oleh tim PKL.

Kami berempat; 1 dokter, 1 asisten dokter, 1 petugas administrasi, dan 1 anggota PKL, serta satu orang lagi warga setempat yang kami rekrut sebagai pemandu lokasi. Siang masih mendung, karena sejak pagi wilayah Sukamade diguyur hujan deras.

Hari itu adalah hari Ahad, 22 Januari 2017, hari-H pelaksanaan program Indonesia Sehat. Antusiasme warga begitu besar. Sekalipun banyak warga yang terjebak luapan sungai, yang saat itu setinggi leher orang dewasa. Mereka terlanjur di kebun yang dipisahkan dengan sungai besar.

Banjir merupakan hal biasa bagi warga Sukamade. Sudah tidak terhitung jumlah warga yang terseret arus berikut rumah-rumahnya. Dan itu sudah biasa bagi mereka.

Kembali ke Pak Sidin. Gubuk yang tidak lagi tegak itu, karena bambu dan kayunya sudah lapuk, menjadi saksi atas kunjungan kami. Gubuk dengan 2 kamar itu dihuni 5 orang; Pak Sidin dan istrinya, Tarom cucu Pak Sidin, serta Pak Untung dan istrinya, adik ipar Pak Sidin yang menjadi tulang punggung keluarga miskin itu.

Mengandalkan kerja di kebun, Pak Untung harus banting tulang agar keluarga itu bisa makan. Termasuk Pak Sidin. Apa yang menarik dari Pak Sidin?

Pak Sidin sudah hampir 2 tahun terbaring di atas dipan. Dipan reyot yang dilapisi kasur kapuk dengan kain yang sudah menghitam. Ia terkena stroke. Kaki dan tangan kirinya tidak bisa digerakkan. Bahkan sudah mengecil.

Keluarganya sudah putus asa mengobatkan pak Sidin. Apalagi dia tinggal di rumah adik ipar. “Bapak mboten kagungan putra? (Bapak tidak punya anak?)” Tanya kami.

Mpun mati (Sudah meninggal).” Jawabnya. “Kantun putu (Tinggal cucu).” Lanjut Pak Sidin.

Ternyata, laki-laki yang agak kurang id*** itu adalah Tarom, cucunya.

Loh, bapake Tarom ten pundi? (Loh, bapaknya si Tarom di mana?)” Tanya kami kemudian.

Lunga… (Pergi)” Sahutnya.

Mungkin, karena beban hidup yang berat, anak kurang akal dan mertua sakit-sakitan, akhirnya bapaknya Tarom pergi. Allahul Musta’an.

Pak Sidin sudah tidak lagi berharap banyak untuk berobat, apalagi sembuh.

Kok, mboten diobatke? (Kok tidak dibawa berobat?)” Kami bertanya.

Halah, jare doktere wis angel. Adoh nang rumah sakit, biaya taksine wae larang (Halah, kata dokternya sudah sulit. Jauh dari rumah sakit. Biaya taksinya saja sudah mahal).” Katanya.

Taksi di Sukamade berbeda dengan taksi di kota. Taksi mereka adalah truk-truk yang lewat. Kadang truk angkutan pohon sengon, dll. Harus merogoh uang seratus ribu minimal untuk pulang pergi Sukamade-Banyuwangi.

Ya Allah, kasihan pak Sidin. Istrinya juga mengidap asma akut dan maag kronis. Betul, kami melihat obat merk Pr***g dan satu jenis obat asma.

Mendengar kalimat demi kalimat yang muncul dari Pak Sidin, kami sangat terharu. Lalu kami bertanya kepada nenek Sidin. “Sampun diobatke ten pundi mawon mbah? (Sudah dibawa berobat ke mana saja, mbah?)”

“Mpun ten pundi-pundi. Dokter sampun, dukun nggih sampun (Sudah dibawa ke mana-mana, dokter sudah, dukun juga sudah).”

Kaget kami mendengarnya.

Ning nggeh mboten wonten asile (Tapi juga tidak ada hasilnya).” Lanjut si nenek.

Sanes wekdal ampun dibeto ten dukun mbah nggeh? (Lain kali jangan dibawa ke dukun lagi ya, mbah?)”

Oh, nggeh nak (Oh, ya nak).” Jawabnya.

Bapak taksih shalat? (Bapak masih shalat?).” Tanya kami.

Mbiyen yo ra tau lali nang mushalla. 5 waktu ten mushalla. Saiki wis ra tau meneh (Dulu ya tidak pernah lupa ke mushalla. Lima waktu ke mushalla. Sekarang sudah tidak pernah lagi)”

Ya Allah, kasihan, pak Sidin sudah menderita fisik, harus juga merugi agama. Mungkin tidak shalatnya Pak Sidin karena tidak tahu tata cara shalat ketika sakit, atau anggapan shalat sudah gugur baginya, atau faktor yang lain.

Namun, kami tidak rela pak Sidin rugi 2 kali. Memang, kami belum bisa membantu pengobatan medis tetapi setidaknya kami memberi semangat untuk shalat, untuk sabar dan untuk tabah.

“Mbah, taksih apal bacaan shalat? (Mbah, masih hapal bacaan shalat?)” Tanya kami.

Isih, ora lali (Masih, tidak lupa).” Jawabnya.

Nah, pak Sidin tetep kedah shalat (Nah, pak Sidin tetap harus shalat).”

Setelah itu, kami mengajari tata cara shalat bagi orang sakit kepada pak Sidin. Alhamdulillah, pak Sidin bertekad untuk shalat kembali.

Semoga Allah ta’ala tetap memberi istiqamah dan kesabaran kepada pak Sidin sekeluarga. Amin.

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.