Tiga jenis jiwa manusia
Oleh Mush’ab Klaten Takhasus
Allah Ta’ala dengan hikmahNya yang mulia, menjadikan jiwa manusia itu terbagi menjadi tiga. Yang setiap dari ketiga jenis jiwa tersebut memiliki karakteristik dan ciri khas masing-masing, bahkan ketiga jenis jiwa ini memiliki sifat yang berbeda-beda.
Diantaranya ada jiwa yang baik, ada yang jahat, ada pula diantara ketiganya yang berada di tengah-tengah antara baik dan jahat. Pembagian jenis jiwa menjadi tiga ini disebutkan oleh Allah Ta’ala di dalam Al-quran.
Tiga jenis jiwa
Ketiga jiwa itu ialah,
Yang pertama: Jiwa yang muthmainnah (tenang).
Jenis jiwa yang kedua: Jiwa yang ammarotun bissu (jelek atau buruk)
Jenis jiwa yang ketiga: Jiwa yang lawwamah (yang berbolak-balik)
Jiwa yang muthmainnah (tenang).
Jiwa yang muthmainnah sering diartikan sebagai jiwa yang baik. Dan memang demikianlah keadaan jiwa jenis ini, karena jiwa yang muthmainnah akan mengajak pemiliknya kepada perkara-perkara yang positif atau ketaatan kepada Allah Ta’ala. Sedangkan makna kata muthmainnah itu sendiri adalah: tenang dan mantap atau yakin.
Sifat-sifat jiwa yang muthmainnah
Maka jiwa yang muthmainnah adalah jiwa yang merasakan ketenangan ketika beribadah kepada Allah Ta’ala, merasakan ketentraman saat menyebut namaNya, bahkan senang dengan ber-zikir mengingat Allah Ta’ala, atau selalu kembali kepada Allah Ta’ala setiap kali terjatuh dalam kesalahan.
Atau jiwa yang merasa yakin bahwa Allah Ta’ala adalah satu-satunya sesembahan baginya, yakin akan janji-janji Allah Ta’ala, mengimani dengan kuat bahwa ia akan berjumpa dengan Allah Ta’ala, dsb.
Yang intinya jiwa yang muthmainah adalah jiwa yang mengajak pemiliknya kepada ketaatan dan kebaikan dunia maupun kebaikan akhirat. Jiwa yang muthmain adalah jiwa yang beriman kepada Allah Ta’ala, beriman kepada rasulNya, kepada hari kiamat, dan jiwa yang baik yang membawa pemiliknya kepada kebahagiaan di dunia maupun di akhirat kelak.
Karena itulah Allah Ta’ala panggil jiwa jenis ini dengan panggilan kasih sayang dan ampunan. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Fajr, Allah berfirman:
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ )٢۷( ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً )٢۸( فَادْخُلِي فِي عِبَادِي )٢۹( وَادْخُلِي جَنَّتِي) ۳۰(
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati tenang lagi diridai oleh-Nya. Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr: 27-30)
Sehingga jiwa yang tenang hanya dimiliki oleh orang-orang yang Allah Ta’ala beri taufik dari kalangan orang-orang yang beriman.
Jenis jiwa yang kedua: Jiwa yang ammarotun bissu (jelek atau buruk)
Keadaan jenis jiwa yang satu ini adalah kebalikan dari jenis yang pertama. Jiwa yang jelek adalah yang selalu mengajak kepada keburukan dan kemaksiatan, mengajak pemiliknya untuk menuruti kemauan hawa nafsu yang berlebihan dan mendahulukan kesenangan sesaat.
Sebagaimana keadaannya yang berbalikan dengan jenis yang pertama, maka jiwa yang buruk ini tidak berhak mendapat rahmat Allah Ta’ala. Bahkan jiwa yang ini adalah jiwa yang dimurkai dan tidak diridai oleh Allah Ta’ala. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surat Yusuf, dimana Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ النَّفْسَ لأمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلا مَا رَحِمَ رَبِّي
“Karena sesungguhnya jiwa (yang buruk) itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali jiwa yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (QS. Yusuf: 53).
Padahal jiwa yang dirahmati Allah adalah jiwa yang muthmain (yang tenang), sedangkan jiwa yang ammarotun bissu (yang buruk) berkebalikan dengan jiwa yang muthmain tersebut, sehingga dengan ini diketahui bahwa jiwa yang ammarotun bissu tidak akan mendapat rahmat dari Allah.
Penyebab menjadi buruknya jiwa
Adapun sebab mengapa jiwa itu menjadi buruk, adalah karena kezaliman dan tidak adanya ilmu pada pemilik jiwa tersebut. Kezaliman dan kebodohan yang menjadi sifat utama pada jiwa akan sangat berpotensi menjadikan jiwa itu menjadi jiwa yang buruk. Dalilnya adalah Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولاً
“Sesungguhnya manusia itu amat lalim dan amat bodoh.” (QS. Al-Ahzab: 72)
Kurangnya ilmu sebab terbesar jiwa yang buruk
Sedangkan asal dari kezaliman adalah kebodohan. Dan ilmu yang dimiliki orang tersebut akan mengangkat kebodohan dari dirinya. Sehingga kebodohanlah yang sebenarnya menjadikan jiwa manusia itu menjadi buruk, dan ilmulah yang akan mengangkat itu semua.
Jenis jiwa yang ketiga: Jiwa yang lawwamah
Lawwamah itu bermakna: “yang suka mencela.” Dikatakan demikian karena jiwa yang lawwamah selalu menyalahkan dirinya, baik kerena kebaikan dan kejelekan.
Hal itu sebagaiman diakatan oleh Imam Atho’ rahimahullah,
“كُلُّ نَفْسٍ تَلُوْمُ نَفْسَهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ: يَلُوْمُ المُحْسِنُ نَفْسَهُ أَنْ لَاْ يَكُونَ ازْدَادَ إِحْسَانًا، وَيَلُوْمُ المُسِيْءُ نَفْسَهُ أَنْ لَا يَكُونَ رَجَعَ عَنْ إِسَاءَتِهِ”
“Yaitu jiwa yang mencela dirinya sendiri pada hari kiamat. Orang yang baik akan mencela dirinya; mengapa dia tidak menjadi lebih baik. Dan orang yang buruk juga mencela dirinya; mengapa dia tidak mau kembali dari kejelekannya.” (lihat kitab al-Basit Li al-Wahidi. Hal: 475/22)
Sifat-sifat jiwa yang lawwamah
Jiwa ini sering melakukan kesalahan, namun di suatu waktu ia juga berbuat kebaikan dan menyesali perbuatan buruknya. Terkadang jiwa ini menjadi ammarotun bissu namun terkadang menjadi jiwa yang muthminnah, sehingga keadannya tidak pasti. Karena itulah pemiliknya akan menyayangkan kebaikannya yang sedikit, namun juga menyesali keburukan yang ia lakukan.
Jiwa ini dihukumi sesuai keadaannya yang paling dominan. Apabila keadaan baiknya lebih mendominasi, maka ia dihukumi dengan jiwa yang baik (muthmainnah). Namun jika ternyata kondisi buruknyalah yang mendominasi keadaanya, maka ia akan dihukumi sebagai jiwa yang buruk.
Berjuanglah!
Lalu manakah jiwa yang seharusnya dimiliki oleh seorang mukmin? Jawabannya tentu jelas; yaitu jiwa yang muthmainahlah yangg seharusnya dipunyai oleh hamba mukmin.
Namun untuk mendapatkan jenis jiwa yang muthmiannah tentu membutuhkan usaha yang tak mudah. Selama masa usahanya ini ia akan sering terjatuh dalam kesalahan, namun hamba yang mukmin akan selalu kembali dari kesalahannya, dan inilah kategori jiwa yang lawwamah.
Ia akan terus berusaha hingga jiwanya benar-benar mencintai al-haq (kebenaran) dan memebenci al-bathil (kejelekan), yang mana ini merupakan kondisi jiwa yang muthmainnah. Namun jangan sampai jiwa kita menjadi jiwa yang menyukai perbuatan buruk dan membenci kebaikan. Wallahu a’lam.