Apakah niat puasa itu harus setiap hari?
Oleh Hanif Buthon Takhasus
Niat merupakan perkara yang sangat penting dalam sebuah ibadah. Bahkan ia merupakan salah satu rukun ibadah. Dengan niat dapat terbedakan antara ibadah yang satu dengan yang lainnya.
Niat secara bahasa adalah maksud atau tujuan. Adapun secara syar’i niat adalah keinginan yang kuat (‘azm) untuk menunaikan sebuah ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Niat tempatnya di hati dan merupakan satu amalan hati yang tidak perlu untuk diucapkan dengan lisan, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin.
Niat membedakan antara ibadah dengan adat
Niat merupakan faktor terbesar dalam menentukan kualitas suatu amalan dan pahala/ganjaran yang diperoleh dari amalan tersebut. Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرى ما نوى
“Hanyalah amalan-amalan itu tergantung dengan niat-niatnnya, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dengan niat pula akan tahu mana yang disebut ibadah dan mana yang hanya sekadar adat (kebiasaan). Oleh karena itu, beda antara ibadahnya orang lalai dengan ibadanya orang yang tidak lalai. Sebagian ahlul ilmi (ulama) mengatakan:
عبادات أهل الغفلة عادات وعادات أهل اليقظة عبادات
“Ibadah orang yang lalai adalah adat (Kebiasaan) dan adatnya orang yang tidak lalai adalah ibadah”
Perbedaan ibadahnya orang yang lalai dengan adatnya orang yang tidak lalai
Ibadah orang yang lalai adalah adat. Misalnya seorang yang beridiri kemudian berwudhu, kemudian salat, dan kemudian pergi. Ia membangun aktivitasnya di atas adatnya, maka yang semacam ini tidak bernilai ibadah walaupun zahirnya ia melakukan ibadah.
Adat kebiasaan orang yang sadar adalah ibadah. Misalnya seorang yang makan -makan merupakan kebiasaan manusia- namun, ia makan dalam rangka merealisasikan perintah Allah Ta’ala,
كُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا
“Makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31)
Ia ingin menempuh sebab keberlangsungan hidupnya dan untuk menjaga kehormatannya. Maka ini bernilai ibadah, padahal asalnya adalah kebiasaan (adat).
Niatkanlah puasa Ramadhan untuk beribadah kepada Allah Ta’ala
Demikian pula dengan puasa Ramadhan, jangan sampai kita melakukannya hanya karena rutinitas tahunan yang terulang, namun benar-benar kita perhatikan niat kita. Niatkanlah untuk mengerjakan perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ]
“Wahai orang-orang beriman, telah diwajibkan atas kalian puasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Dan berharap mendapatkan pahala, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ، وَقَامَهُ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan didasari dengan keimanan dan mengharap pahala, akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Apakah niat harus diucapkan?
Lalu bagaimanakah berniat puasa di bulan Ramadhan? Apakaha kita harus mengucapkan niat tiap hari? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya tentang permasalah ini, maka beliau menjawab:
كل من علم أن غدًا من رمضان، وهو يريد صومه فقد نوي صومه، سواء تلفظ بالنية أو لم يتلفظ . وهذا فعل عامة المسلمين، كلهم ينوي بالصيام
“Setiap yang mengetahui bahwa besok masuk bulan Ramadhan dan dia ingin puasa, maka ia telah berniat puasa. Sama saja apakah ia mengucapkan niat ataukah tidak. Dan ini adalah perbuatan kebanyakan Muslimin. Mereka semua meniatkan puasa.” (Majmu’ al-Fatawa karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah)
Demikianlah semoga bermanfaat. Barakallahu fikum.
Referensi:
- Syarah Arbain an-Nawawiyah karya syaikh Sholeh Ibnu Utsaimin
- Majmu’ al-Fatawa Ibnu Taimiyah