Belajar dari permainan di sela-sela pelajaran
Liburan Akhir Semester, Januari 2021. Seharusnya para santri bisa pulang ke kampung halaman masing-masing. Namun kondisi pandemi Covid-19 yang tak kunjung membaik, mengharuskan mereka untuk menghabiskan masa libur di pondok, sesuai imbauan pemerintah dan hasil musyawarah asatidzah beserta tim medis pesantren.
Walaupun tidak di rumah, liburan ini tetap menjadi pengalaman bagi santri yang menyenangkan, penuh pelajaran, warna dan rasa. Selama dua minggu, para santri mengikuti berbagai perlombaan menarik dan mendidik, permainan yang seru dan membuat haru, kompetisi sehat dan sportif, dan kegiatan-kegiatan lain yang bersifat edukatif, inovatif, dan inspiratif.
Semua kegiatan tersebut bertajuk: Liburan Asadi (Aku suka di sini).
Liburan di pesantren memang selalu menyenangkan. Walaupun ini adalah ketiga kalinya kami merasakan masa liburan di pesantren, akan tetapi kami tidak pernah bosan. Selalu ada hal-hal baru yang dapat kami rasakan dan kami dapatkan. Pengalaman bersama teman-teman seperjuangan adalah hal yang sangat berkesan, dan itu tidak akan kami dapatkan di rumah.
Jangan bilang kami tidak rindu, jangan bilang kami tidak ingin bertemu. Orang tua dan saudara pun demikian, selalu merindukan kami. Kami juga manusia, yang diciptakan dengan perasaan. Urusan rindu, anak kecil pun sudah bisa merasakannya. Rindu kami sangat besar, menggebu-gebu, kami rindu wajah imut si adik kecil, kami rindu wajah tegar sang abi, wajah sabar sang ummi. Tapi itu semua kami redam, kami tahan, di bawah bimbingan ilmu. Walaupun terkadang, semakin rindu itu ditahan, semakin kuat ia menghentak, menerjang. Tapi dengan ilmu dan iman, alhamdulillah, semua bisa memahami. Rindu kami simpan, doa dan harapan kami panjatkan kehadirat Rabbi.
Rindu kami di sini bukan rindu manja, bukan pula karena kami “anak mama.” Akan tetapi kami adalah thalabatul ilmi–para pemburu ilmu syar‘i–. Sekali lagi, rindu kami terbimbing ilmu, insyaallah. Di masa pandemi seperti ini, ilmu mengajari kami untuk menaati waliyyul amr, walaupun hal itu terkadang terasa berat. Tapi dengan ilmu dan keikhlasan, semua menjadi ringan. Sebesar apapun kerinduan, ilmu tak boleh dilupakan.
Biarlah, kami sanggup menahan rindu seberat apapun ia, dengan izin Allah. Toh, kadang kita juga butuh perpisahan, agar ketika bertemu kembali, kita semakin akrab, semakin mengenal. Biarlah rindu itu tumbuh subur, agar kelak buahnya memuaskan.
Kami sadar, kami bukan orang pertama yang meninggalkan orang tua dan kerabat demi ilmu. Telah banyak para tokoh yang mendahului kami. Justru perjuangan kami ini masih teranggap sedikit dibandingkan ulama pendahulu kita. Bahkan tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka. Atau bahkan kami tidak pantas dibandingkan dengan para ulama pembawa ilmu agama.
Kehidupan kami di sini, selalu dipenuhi dengan hal yang bermanfaat, alhamdulillah. Mulai sejak bangun pagi, sampai tidur kembali. Subuh buta, kami sudah harus beranjak meninggalkan bunga-bunga mimpi, pergi ke masjid, dengan kondisi mata setengah terpicing. Untuk kemudian memurajaah Al-Quran, melantukan kalam Ilahi dengan penuh perasaan, berdoa, bermunajat kepada Rabbi, agar pandemi segera diangkat dari negeri ini. Dan itu sulit kami lakukan di rumah kami.
Itu semua bukannya kami lakukan tanpa perjuangan, rasa kantuk selalu menyerang, korbannya bergelimpangan di kanan-kiri. Tapi kami tetap harus bertahan, mengangkat kelopak mata yang rasa-rasanya lebih berat dari barbel 10 kiloan. Tak berguna lagi evoleng atau entah apalah namanya susu-susu itu, ia tak dapat memperkuat otot kelopak mata kami.
Di pagi harinya kami melakukan kegiatan, perlombaan, dan permainan yang sangat seru. Begitu pula di sore dan malam hari. Terus demikian selama dua minggu, betul-betul penuh warna dan rasa. Tujuan dari kegiatan-kegiatan tersebut adalah melatih kekompakan, kerja sama, keahlian individual, kemampuan ilmiyah, dan sebagainya.
Hampir seluruh kegiatan dan permainan yang diadakan mempertandingkan kelompok-kelompok yang telah dibuat sebelumnya. Ada Bashrah, Naisabur, Syiraz, dan kelompok-kelompok lain yang namanya mengadopsi dari nama kota-kota Islam pada zaman dahulu maupun sekarang.
Berikut Daftar Permainan dan Perlombaan Tersebut:
- Kompetisi Futsal dan Sepak Bola
Kompetisi yang satu ini, walaupun berulang setiap tahunnya, ia tetap saja seru dan tak membosankan. Permainan dengan jumlah peminat terbanyak ini telah menghibur liburan kami. Banyak sekali keseruan terjadi, mulai dari gol bunuh diri, sampaipun anak MTP yang memberi dukungan, dsb. Pengalaman terbaik kami selama permainan ini adalah ketika berhasil membantai kelompok Naisabur dengan skor 4-1, Alhamdulillah. (Naufal Amir)
- Badminton
Permainan ini terdiri dari dua kategori: Single dan double. Walaupun permainan ini baru nge-tren di mahad ini ketika masa Covid, namun sampai sekarang ia telah menarik banyak peminat… (Fathurrahman)
- Jasadi (Jadilah Santri Sejati)
Walaupun sempat terjadi “ketegangan seru” di akhir-akhir permainan, Jasadi tetap menarik sekali. Justru hal itulah yang menyebabkan permainan ini semakin seru, layaknya bumbu, tanpanya masakan terasa garing. Dari situ kami belajar tentang mengalah, belajar memaafkan, belajar mengakui kesalahan, dan belajar dewasa.
Motivasi yang membangkitkan tim, kekompakan dalam tim, semakin menambah keseruannya. Walaupun dada kami agak “tergores” setelah merayap, tapi itu sungguh terobati dengan serunya permainan.
- Sari-‘u (Santri Berani Maju)
Permainan ini adalah tentang memecahkan sandi dan misteri. Karenanya, kekompakan, firasat, nalar serta insting merupakan kombinasi tepat yang dibutuhkan pada permainan ini.
Dan kami adalah sebuah kelompok yang kompak, yel-yel kami menggentarkan, langkah kami selalu satu. Karenanya, di awal permainan kami memimpin, namun apa daya, kami terjebak dan kesulitan ketika mencari pos yang dinamakan dengan pos ‘bising berair’, akhirnya kami finish di urutan ketiga senior. La ba’sa. (Tasbih)
- Maa-dah (Masak Enak di Lidah)
Sungguh, dari awal kami sudah menyangka bahwa kamilah yang akan menjadi pemenang tingkat junior, karena memang lawan kami tak sebanding.
Walaupun di awal permainan kelompok kami agak salbut, tapi ya itulah bumbu-bumbu yang diperlukan, agar perlombaan semakin asyik dan menarik. Suara-suara tinggi, itu diperlukan untuk mengecoh dan menggetarkan lawan, walaupun kelihatannya kami memarahi anggota sendiri. Semua penonton terhibur kan dengan penampilan kami? (Hakim Lumajang)
- Cermati (Cerdas Cermat Asadi)
Permainannya sangat seru dan menantang serta mengasah otak. Kami sangat bersyukur bisa menjadi pemenang, soal terakhir ba’dallah bisa menjadi jurus pamungkas yang menghantarkan kami pada kemenangan. (Amin Malang)
- Nad’u (Nahnu Du’at)
Lombanya zen, cuman agak grogi, karena kurang persiapan. Yah, walaupun ana gak bisa jadi pemenang, tapi ya alhamdulillah ana sudah bisa menggondol hadiah piramida. Itu bahkan lebih zen, lebih seru dan lebih meriah daripada sekedar menjadi juara satu. (Abdul Aziz Baabduh)
Sebagai santri yang baru masuk Pra Tahfizh, kami senang bisa ikut serta dalam permainan ini, walaupun bukan untuk maju berkhutbah. Partisipasi kami hanya sekedar dalam menjawab kuis yang diberikan oleh panitia, tapi itu sudah lebih dari cukup bagi santri PT. Alhamdulillah kami berhasil menggondol tiga hadiah sekaligus dalam satu malam. (Umar Padang)
- Rowahu (Roqmul Awwal Huwa)
Bangga rasanya bisa menjadi orang nomor satu di pondok, Alhamdulillah.
Mungkin jika melihat penampilan ana yang seperti ini, orang tidak akan percaya bahwa ana adalah orang nomor satu. Tapi ya memang seperti itu kenyataannya, mau gimana lagi?! I (Syauqi)
- Desain Grafis Stiker
Buat para penonton sekalian, jika kita ingin meraih sesuatu, berjuanglah! Karena selama kita mau berusaha, insyaAllah semua dapat kita raih dan lakukan. Ana sendiri, sebelumnya betul-betul tidak mengenal komputer apalagi mendesain. Bahkan sempat, ketika sedang mendesain, seseorang menyeplos, “Gak punya jiwa seni kok mau mendesain?!” Tapi dengan perjuangan yang sungguh-sungguh, siang malam duduk di kursi multimedia, menatap layar sampai bosan, alhamduluillah saya bisa menjadi juara. (Musab Klaten)
- Estafet Lari
Tidak hanya pada kecepatan, kunci memenangkan perlombaan ini juga terletak pada efisiensi ketika mengisi air ke dalam botol, efektifitas proses estafet selama perjalanan, dengan meminimalisir air yang tumpah, serta tekad yang tinggi.
Walapun sudah dua kali berturut-turut kami memenangkan perlombaan ini, alhamdulillah kami tidak pernah sombong. Kami tetap menghormati lawan kami, terutama dari lembaga takhassus. Ya, karena dari merekalah kami jadi memiliki tekad yang kuat, dari mereka kami belajar kesungguhan dan keuletan. (Asyraf Merauke)
Masih banyak permainan-permainan lainnya yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu. Semisal: kompetisi volley, ping pong, minatur dan lain sebagainya. Semua permainan itu berjalan seru, asyik dan menarik.
Kesan dan Pesan:
Kami tim Ray, Kami Bashrah, Kami Turmudz, Kami Riyadh, Kami Syiraz, Kami Madinah, Kami Bukhara, dan terakhir kami NAIISAABBUURR!!!
Sungguh kami sangat berterima kasih kepada panitia yang telah berusaha menghibur hari-hari kami selama liburan. Dalam setiap kelompok kami seperti merasakan keluarga baru. Ada ketua tim, ibaratnya bapak, master chef sebagai ibu, dan yang lainnya sebagai kakak adik. Semuanya seperti keluarga. Bahkan keluarga di sini lebih Asyik dan lebih seru lagi. Jika di rumah, mungkin sejam dua jam mengobrol kami sudah mulai bosan, namun di sini, kami selalu bermain bersama, berjuang bersama, sampai akhirnya bisa menjadi juara. Satu perasaan, koordinasi bersama, dan merasakan suka duka liburan bersama. Yang sebelumnya kurang akrab bisa jadi lebih mengenal, tak mengenal usia, yang tua tidak merasa gengsi, yang muda tak merasa minder, karena kita semua serasa dan senasib.
Dari dulu, memang kami tak pernah diajari untuk bertaashub, antar pondok, antar kelas, angkatan, dan sebagainya. Dan kelompok-kelompok ini mengurangi bahkan menghancurkan unsur-unsur taashub tersebut. Kami jadi mengerti, sungguh betapa indahnya persaudaraan yang dibangun diatas keimanan, bukan di atasa angkatan dan lain sebagainya. Kami juga jadi belajar banyak hal, belajar tentang mengayomi anggota, belajar tentang menyayangi yang lebih muda, menghormati yang lebih tua, menghargai pendapat, belajar berkoodinasi dengan orang yang lebih luas, bukan dengan orang yang sudah kita kenal dekat sebelumnya, dan masih banyak lagi pelajarannya. TMT. (Tim Senior)
Sungguh, kami sangat bersyukur dengan adanya kelompok-kelompok seperti ini, di usia kami yang masih sangat muda, kami sudah punya kesempatan untuk belajar banyak hal seperti yang telah disebutkan di atas. Hanya orang-orang aneh saja yang tidak dapat merasakan betapa banyak manfaat dan indahnya pengelompokan ini dibanding dengan pengelompokan antar angkatan, walaupun kami yakin semuanya pasti senang. (Tim Junior)
Kesan pesan dari para penonton: Walaupun mungkin kami tidak ikut di banyak permainan dan perlombaan, tapi alhamdulillah kami tetap merasakan senang. Sekedar melihat penampilan pemain saja kami sudah terhibur, apalgi ketika melihat peserta senang kami pun juga ikut senang. Melihat suatu tim bisa menang, kami juga senang, entah tim itu dari takhassus ataupun tahfizh. Kami tidak pernah iri atas siapapun yang menang, apalagi dendam dan mencari cara untuk membalas. (Hibrizi atau yang lain)
Kesan Pesan dari musyrifun: Sungguh, kami terkadang terharu melihat suasana liburan yang seperti ini. Seluruh santri memnunjukkan antusiasnya, kekompakan tim, antar junior dan senior saling menghargai, dan lain sebagainya. Terkhusus santri kami sendiri, kami sungguh terharu melihat kebahagiaan mereka. Di usia yang masih sangat labil, mereka sudah bisa mengendapkan rasa, meredam rindu, demi bisa tetap tinggal di pondok sesuai imbauan pemerintah.
Ini merupakan masa-masa terakhir kami di mahad ini, namun jika melihat suasana yang seperti ini, ingin rasanya menambah masa kontrak kami, ingin rasanya bisa tinggal lebih lama di sini. Karena memang, suasana pertemanan, persaudaraan, keakraban, dan keharmonisan di sini sangat berbeda. Sungguh, kecintaan karena Allah itu memang indah …
Kesan dari panitia: Jazakumullahu khairan kepada seluruh peserta yang telah mengikuti kegiatan Liburan Asadi ini. Kami sangat-sangat berterima kasih kepada antum semua. Melalui antum kami belajar menyayangi, belajar menyusun kegiatan, belajar membuat konsep, belajar menghargai kegiatan orang. Dan masih banyak lagi hal-hal lainnya.
Kami panitia juga sebenarnya merasakan rindu, rindu rumah dan kampung halaman. Tapi demi melihat antusias antum yang sangat besar dalam mengikuti kegiatan kami, semua rindu itu terobati. Ya, tanpa antum bakdallah, mungkin kami tidak akan betah lagi di sini. Memang, fungsi kita di sini agar saling menguatkan satu sama lain.
Sungguh, ini adalah dua minggu yang sangat indah bagi kami. Segala kelelahan, kepenatan, walaupun harus bergadang setiap malam, semua itu terbayarkan dengan antusias antum. Apalagi ketika melihat relita bahwa santri-santri MTP iri dengan kegiatan yang kita semua lakukan. Ya, itu terucap dari lisan mereka, “Enak ya di pondok, rame..” Motto kami, Hiburlah para santri, karena kita senasib. Jadikan dua minggu liburan di pondok ini dapat menggantikan dua tahun yang telah berlalu. Salam Semangat!
Akhir Kata
Akhi fillah, jika kita ikhlas dalam meninggalkan sesuatu karena Allah, maka nicaya Allah akan ganti dengan yang lebih baik. Biarlah tidak ada liburan di rumah, tapi kan Allah sudah mengganti dengan dua minggu yang menyenangkan. Dalam sebuah hadits yang mulia, baginda Rasul n pernah bersabda:
“Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya akan Allah ganti dengan yang lebih baik.”
Akhi fillah, apa yang kita lakukan sekarang, kisah kita memenangkan jasadi, kisah kita menaklukkan pos demi pos di permainan sariu, kisah kegagalan kita dalam memasak lumpia, semua itu akan menjadi mozaik indah yang akan kita kenang sampai tua. Akan menjadi sebuah cerita yang kita turunkan kepada anak cucu kita. Biarlah dalam perjalanan kita mengalaminya, terjadi di sana gesekan, terdapat padanya sakit hati, tergores padanya luka. Tapi suatu saat nanti, kita akan senyum-senyum sendiri ketika mengingat masa-masa indah itu. Bukankah terkadang mengenang itu lebih indah dari peristiwa itu sendiri?
Akhi fillah, apa yang kita lakukan sekarang, itu semua akan diteruskan oleh anak cucu kita. Mereka akan melihat, kemudian meniru apa yang kita lakukan. Jika mereka melihat kita berjuang, maka esok mereka akan menjadi pejuang, Insya Allah. Namun jika kita menjadi pecundang, esok mereka juga akan menjadi pecundang, atau bahkan lebih parah. Maka berbuat baiklah, agar bisa menjadi kisah indah yang akan diteladani oleh pera penerus kita.
Akhi fillah, sungguh indah sekali kehidupan di pondok ini. Kisah kebersamaan di pondok sungguh mengharukan. Kisah tentang persudaraan yang dibangun di atas keimanan. Kisah tentang cinta dan benci karena Allah. Santri yang datang dari berbagai penjuru, dengan perbedaan watak dan karakter, semuanya Allah persatukan dibawah satu manhaj, di bawah satu atap, di bawah satu tim. Biarlah kita berbeda umur, biarlah kita berbeda lembaga, tapi lauk kita sama, air yang kita minum juga sama, yang kita cari dan kita tuju, pun sama. Kelak, sungguh kita akan merindukan pertemanan ini, mungkin di saat masing-masing kita telah berpisah.
Akhi fillah, rindu biarlah rindu, siapa pula diantara kita yang tidak ingin kembali ke kampung halaman, berjumpa dengan orang tua dan handai taulan. Tapi tidak ingatkah kita dengan kisah Abu Hatim ar-Razi v. Rihlah pertamanya untuk thalabul ilmi beliau lakukan selama 7, meninggalkan orang tua dan kampung halaman. Itu semua beliau lakukan dalam usianya yang baru menginjak 20 tahun.
Tidak ingatkah kita dengan kisah Imam Baqi bin Makhlad, beliau pernah melakukan rihlah dua kali: Dari Mesir ke Syam dan dari Hijaz ke Baghdad. Rihlah pertama beliau lakukan selama 14 tahun, sedangkan rihlah kedua beliau lakukan selama 20 tahun.
Adapun kita, baru setahun setengah tak berjumpa dengan orang tua, tak kembali ke kampung halaman. Itu baru seper dua puluh dari apa yang dilakukan oleh imam Baqi bin Makhlad. Lalu pantaskah kita mengeluh?
Akhi fillah, Pandemi yang menimpa kita, itu masih lebih ringan daripada yang pernah terjadi di masa lampau. Dahulu orang sebelum kita mengalami pandemi selama 16 tahun, sebagaimana yang terjadi pada wabah ‘Black Death’ atau ‘Wabah Hitam’. Lima abad setelahnya, terjadi lagi wabah yang dikenal dengan ‘The Modern Pleague’, menimpa dunia selama 43 tahun. Melihat fakta di atas, sekali lagi “Pantaskah kita mengeluh?” Jawabannya pantas, tapi jangan pernah merasa bahwa apa yang menimpa kita adalah yang terberat.
Akhi fillah, liburan sudah usai. Dan esok kita akan menyongsong kembali hari-hari belajar. Maka mari kita kembali berjuang, bersama saling menguatkan. Buka kembali kisah semangat para ulama dalam menuntut ilmu, kisah-kisah yang tertelan di perut-perut buku Tarikh dan sejarah, agar semangat kita kembali tergugah, tekad kita kembali membuncah. Ingat kembali pesan dan harapan orang tua kita, agar kelak anaknya menjadi orang yang bermanfaat bagi manusia. Ingat kembali bahwa negeri kita sangat membutuhkan para mujahidin, yang akan menyebarkan dakwah ini hingga ke pelosok-pelosok terpencil, mengikuti jejak para pendahulu mereka dari kaum salaf.
-Rabbi Yassir wa A’in