Dahulukan Petunjuk Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam Daripada Selainnya
Allah Azza wa Jalla berfirman,
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau adzab yang pedih.” (An-Nur : 63)
Berkata Ibnu Rajab Rahimahullah :
“Sehingga wajib atas setiap orang yang telah sampai kepadanya perintah (ketetapan) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan diapun telah memahaminya pula, untuk menjelaskan ketetapan tersebut kepada umat ini, menasehati mereka, serta memerintahkan mereka agar mengikuti ketetapan tersebut, meskipun harus menyelisihi/bertentangan dengan pendapat/ketentuan tokoh besar yang ada di tengah-tengah umat ini. Karena sesungguhnya ketetapan/perintah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam itu jauh lebih berhak untuk diagungkan dan diikuti daripada pendapat tokoh besar manapun yang menyelisihi ketetapan beliau dalam sebagian permasalahan, sengaja atau tidak sengaja. Dari sinilah para shahabat dan orang-orang sesudah mereka menegaskan bantahan mereka terhadap semua yang menyelisihi sunnah yang sahih, bahkan tidak jarang mereka bersikap keras dalam bantahan tersebut, bukan karena benci kepada pelakunya, tapi karena dia (yang salah itu) adalah orang yang dicintai di tengah-tengah mereka, diagungkan oleh jiwa-jiwa mereka. Akan tetapi Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam jauh lebih mereka cintai, dan perintah/ketetapan beliau jauh di atas semua perintah makhluk lainnya. Sehingga apabila perintah beliau bertentangan dengan perintah manusia selain beliau, maka perintah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam lebih utama untuk didahulukan dan diikuti. Dan penghormatan terhadap orang yang menyelisihi ketetapan beliau itu meskipun kesalahannya itu diampuni tidaklah menghalangi seseorang untuk lebih mengagungkan dan mengikiti perintah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam. Bahkan orang yang menyelisihi dan kesalahannya diampuni tersebut tidak akan marah bila seseorang menyelisihi ketentuannya, apabila sudah jelas ketetapan Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam yang bertentangan dengannya.
(Dinukil dari Ta’liq terhadap Iqamatul Himam hal 93)
Berkata Al-Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah:
“Janganlah kamu taqlid kepadaku, dan jangan pula taqlid kepada Malik, Asy–Syafi’i, Al–Auza’i ataupun Ats–Tsauri. Ambillah dari sumber mana mereka mengambilnya.”
(HR. Ibnu Abi Hatim dalam Adab Syafi’i –hal 92-, Abul Qasim As Samarqandi dalam Al-Amali sebagaimana dalam Al-Muntaqa Abu Hafzh Al-Muaddid(234/1), Abu Nua’aim dalam Al-Hilyah (9/106) dan Ibnu ‘Asakir (15/10/1), dengan sanad yang shahih).
Berkata Al–Imam Asy–Syafi’i Rahimahullah:
“Apabila kamu lihat saya mengatakan satu pendapat, padahal yang shahih dari Nabi adalah menyelisihinya, maka ketahuilah bahwa akal saya sudah hilang.”
Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan janganlah kalian mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya, amat sedikit di antara kalian yang mengingat.“ (Al–A’raf: 3)
Maka ayat di atas telah jelas bagi orang yang beriman kepada apa yang Allah turunkan dari langit-Nya berupa kitab suci yang tidak ada keraguan padanya, yang bisa mengobati seseorang dari penyakit-penyakit hati dari penyimpangan atau keraguan dan sebagai petunjuk menuju jalan yang lurus yaitu Al-Qur’an, terkandung padanya perintah untuk kembali kepada Al-Qur’an dan mengikutinya dan larangan untuk mengedepankan ucapan selain darinya.
(Dikutip dari Terjemahan Sifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, Maktabah Al–Ghuraba’ dengan sedikit penambahan)