“Ibarat emas, Islam pak ustadz itu emas murni, Islam yang masih asli…”
Gambar. Di gubuk inilah, salah satu warga Muara Dua “berkantor” mengais rezeki dengan nderes pohon kelapa
Pagi itu, matahari belum menampakkan wajahnya ketika kami mengobrol dengan seorang warga di sebuah gubuk yang terbuat dari daun aren. Gubuk itu berdiri tepat di pinggir sebuah muara sungai.
Ditemani segelas kopi panas, kamipun bercerita tentang agama, pekerjaan, dan kehidupan dunia ini. Sang bapak pemilik gubuk adalah seorang penderes kelapa. Dia bekerja pagi sampai malam hari untuk mengumpulkan badek (air nira) kemudian memasaknya hingga menjadi gula merah.
Panas, hujan, angin, dia lalui dengan penuh semangat untuk mengumpulkan rupiah buat anak istri di rumah. Sengaja dia membuat gubuk di tengah kebun kelapa ini karena kalau harus membawa badek pulang ke rumah terlalu berat dan memakan biaya.
Walhasil, dia harus hidup berpisah dengan anak istri hanya untuk menafkahi mereka semua. Tinggal di gubuk tanpa lampu listrik, dan ditemani ribuan nyamuk ganas khas daerah rawa-rawa.
Ceritapun mengalir deras bak air sungai Muara Dua yang sedang surut pagi itu. Dari pembicaraannya, dia mengaku sebagai seorang muslim dan pengikut salah satu ormas Islam besar di negeri ini, tapi dia mengakui bahwa agama yang selama ini dipegangi hanyalah sebatas di KTP saja.
Dia sadar selama ini hidupnya jauh dari agama. Dengan alasan kesibukan, shalatpun sudah lama dia tinggalkan. Tapi di hati yang terdalam, dia sebenarnya menjerit. Hidup seperti ini ibarat orang mati, ujarnya dengan raut pucat pasi. Tiba-tiba sang bapak tidak kuasa menahan air matanya. Dengan cepat dia menyeka air mata yang akan menetes dari kedua matanya itu.
Hatinya bergelora, penyesalan demi penyesalan dia ungkapkan dengan polosnya. Dia berharap dengan kedatangan kita ini, sang bapak mendapat bantuan doa. “Doakan saya pak ustadz, semoga dapat hidayah dan kembali lagi bisa beribadah walaupun sementara masih di rumah.
Tolong jangan marahi saya kalau ternyata nanti belum bisa mengamalkan sebagaimana amalan panjenengan pak ustadz. Dengan jujur dan polosnya dia juga berkata, “Saya akui memang Islamnya panjenengan inilah yang paling utama pak ustadz. Ibarat emas, Islam pak ustadz itu emas murni, Islam yang masih asli.”
Subhanallah… Walhamdulillah… Maha Suci Engkau ya Allah yang telah menggerakkan lisan orang ini berkata jujur. Lisan seorang tukang deres yang jauh dari agama. Lisan seorang awam yang jauh dari hingar bingar kota dan beragam media yang menghiasinya.
Ya Allah… Tolonglah hamba-Mu ini untuk selalu ingat kepada-Mu, takut kepada-Mu, dan selalu berharap hanya kepada-Mu.
Muara Dua. Selasa pagi ketika matahari belumlah naik sepenggalah.