Indahnya Persaudaraan Seiman Walau Tak Saling Berdampingan
Oleh Muhammad Ahmad Khadim 3A Takhasus
Setiap dari kita pasti memiliki kisah perjalanan hidup yang berbeda-beda. Senang dan susah, suka maupun duka, gembira ataupun sedih, semuanya terkumpul menjadi satu di dalam kanvas kehidupan. Di sana ada amalan-amalan shalih yang harus selalu ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya. Ada pula amalan-amalan jelek yang patut dibersihkan dengan istighfar dan minta ampun serta mengambil ibrah dari yang telah terjadi.
Dialah Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan. Tuk menguji para hamba, siapakah diantara mereka yang paling baik amalannya. Amalan shalih yang diiringi dengan keikhlasan dan kesesuaian dengan sunnah Rasulullah.
Perkenankan ana menyampaikan pengalaman berharga di Ma’had Minhajul Atsar Jember yang ana sangat bersyukur bisa diberi kesempatan untuk mendapatkannya. Semoga Allah menjaga dan memberikan keistiqamahan kepada kami semua.
Setelah kelulusanku dari jenjang tahfidzul-Qur’an. Aku dan beberapa temanku diperkenankan untuk pulang terlebih dahulu selama seminggu. Karena lembaga tahfidzul-Qur’an pondok kami berencana menempatkan kami di daerah perawang untuk melaksanakan tugas PKL di sana.
Kegiatan yang akan kami jalankan di sana adalah menimba pengalaman dalam belajar dan mengajar. Setelah sebelumnya kami hanya belajar dan belajar. Alhamdulillah, kami diberi kesempatan oleh Allah melalui ma’had untuk mencicipi realita dakwah yang mau tak mau kami akan menjalaninya suatu saat nanti. Amiin.
Setelah seminggu kami menjalani liburan, aku dan keempat temanku bertolak menuju bandara Juanda dari rumah masing-masing. Kami semuanya bertujuan ke Pondok pesantren “As-Salafy Perawang” yang beralamatkan Jln. Abu Hurairah, Desa Perawang Barat, Kec. Tualang, Kab. Siak Sri Indrapura, Provinsi Riau.
Berat…
Memang berat rasanya aku harus berpisah dari umi, abi dan adik-adik untuk waktu satu tahun lamanya. Merantau ke tempat yang jauh dari tanah kelahiranku. Namun, tak mengapalah… “Toh, teman temanku juga jauh dari orang tua. Mereka merasakan apa yang aku rasakan juga kok. Bahkan sebagiannya lebih lama dibandingkan diriku. Kenapa aku harus mengeluh?” gumamku dalam hati.
“Aku tidak boleh mengeluh! Aku sudah besar! Aku bukan Muhammad yang dulu kecil!”
Singkat cerita, akhirnya kamipun tiba di Ma’had As-Salafy Perawang. Bertepatan dengan hari Ahad tanggal 15 Juli 2017 pukul 23.15 dini hari. Terasa letih disekujur tubuh ini. Sebab, kami baru saja melakukan perjalanan panjang. Namun, rasa kantuk seolah hilang begitu saja. Badan yang sangat letih kembali segar bugar, entah kenapa.
Aku mencoba menerawang alam sekitar. Masjid sederhana yang telah terbangun semenjak tahun 2007 silam. Berikut asrama santri MTP di sebelah selatan tak begitu jauh. Kebun sawit milik pak Muktabar di sebelah barat yang sangat gelap seperti tidak ada pepohonan pun di sana. Agak ngeri sedikit…
Namun, aku hampir lupa, ternyata semenjak kami turun di bandara tadi belum melaksanakan shalat Maghrib dan Isya’. Kamipun segera berwudhu untuk melaksanakan shalat Maghrib dan Isya’ dengan dijama’. Seusai shalat, kami beranjak menuju kamar kami yang berada di depan masjid guna manata berbagai barang bawaan kami, setelah itu kami pun persiapan tidur malam dengan sisa waktu yang ada. Akhirnya kami tertidur. Zzzzzz…
Esok harinya, kami disambut hangat oleh para ustadz dan ikhwah yang ada di ma’had tersebut. Masya Allah, mereka sangat gembira menyambut kedatangan kami di pondok, saling memperkenalkan diri, bertukar cerita, dan hal lainnya dari obrolan pertama kami bersama para ustadz serta ikhwah.
Kamipun bersyukur kepada Allah, manakala kami diberi kesempatan untuk bertemu dengan saudara saudara kami seiman yang sama sama mempelajari qaalallah wa qalarrasul… suatu kenikmatan tersendiri yang kami rasakan saat itu.
Di tengah-tengah asyiknya obrolan kami, terlihat di sudut jendela masjid ada dua orang kakak beradik sesekali mengintip kami dengan malu-malu sambil tersenyum. Ketika kami mencoba melihat ke arah dua bersaudara itu, mereka langsung bersembunyi di balik pintu karena malu. “Ooh… mungkin mereka ingin sekali duduk-duduk bersama kami, hanya saja masih malu malu..” pikirku.
Sang ayah pun tak sungkan memanggil mereka, “ Ammaar…! sini Mar..! Amuh..! sini Muh..! salaman dulu sama ustadz-ustadz nih..!” Dengan muka tersenyum malu dan langkah langkah kecil, mereka berdua perlahan menuju kami dan bersalaman dengan kami. Seusai bersalaman, mereka langsung berlari cepat kembali menuju sudut masjid.
Hari itu adalah hari pertama kami. Bertepatan dengan hari Senin 16 Juli 2017. Untuk sementara waktu, karena belum dibuat jadwal pelajaran, kami hanya menasmi’ al-Qur’an bagi thullab MTP. Selama kurang lebih satu minggu, jadwal pelajaran dirancang sedemikian rupa. Rapat demi rapat bersama para asatidzah ma’had terus dilakukan. Kami berlima di bagi pada masing masing kelas. Tiga orang dari kami menjadi wali kelas. Adapun aku dan satu teman ku dipilih untuk mengajar khot dan tahsin untuk thullab MTP. Di samping mengajar kami mendapatkan kegiatan belajar bersama seorang ustadz yang telah ditentukan.
Di pondok ini, aku bisa tetap melanjutkan belajar ilmu agama, mendapat pengajaran dari asatidzah tentang bagaimana caranya mengajari anak anak MTP. Juga belajar berinteraksi dengan para ikhwah salafiyyin di ma’had setempat. Begitu juga, aku di tuntut untuk bisa berinteraksi dengan santri santri MTP dan TA dengan baik.
Merupakan sebuah perkara yang maklum dalam dunia tarbiyah, untuk bisa tetap menjadikan anak-anak terus semangat dalam belajar. Maka, perlu diadakannya tasliyah atau hiburan-hiburan yang dapat menyenangkan hati mereka. Harapannya, semangat belajar yang mungkin sedikit menurun bisa kembali lagi seperti semula.
Selama kami di sana, beberapa acara kami giatkan. Seperti berkemah, permainan, jalan-jalan ke sawah, menyeberangi sungai Siak di bawah jembatan Meredan dan lainnya. Alhamdulillah, acara demi acara yang kami selenggarakan dapat meningkatkan kembali semangat para santri sekaligus mempererat hubungan kami dengan mereka.
Acara-acara ini biasa kami lakukan di hari Jum’at. Karena hari Jum’at adalah hari tasliyah, bukan hari libur. Adapun hari libur bagi santri adalah hari Ahad. Hal ini dikarenakan menyesuaikan hari libur para wali santri yang bekerja di pabrik kertas Indah Kiat Pulp And Paper.
Pada setiap harinya, seusai pelajaran kedua, para santri MTP berbaris rapi menunggu giliran mengambil snack. Setiap santri yang hendak mengambil snack harus CT (cuci tangan) terlebih duhulu (kalau sekarang di masa pandemi covid-19 disebut CTPS). Karena di depan pintu kantor tempat mengambil snack, ada ami pengawas yang memeriksa satu-persatu tangan para santri. Kalau ada yang ketahuan belum CT walaupun sudah antri tetap disuruh CT terlebih dahulu.
Kata ami pengawas kepada sebagian santri, “Haa… tangan antum kering nih…! Ketahuan belum cuci tangan…Cuci tangan dulu yaa…!” Santri tersebut beranjak mencuci tangannya. Masyaallah, para pengawas sangat peduli terhadap para santrinya. Semoga kami bisa mencontoh beliau.
Terkadang snack yang akan dibagikan berupa tahu dengan saus cabai. Maka setelah datang giliran Ukkasyah untuk mengambil snack, dia langsung berkata kepada sebagian kami, “Ustadz, aku bukan pakai cabai ya.” Ada kata “bukan”nya. Maksudnya dia tidak mau memakai cabai/saus, tapi dia bilang “bukan”, seolah-olah dia hanya menyampaikan kabar tapi bermakna permintaan untuk tidak pakai cabai/ saos.
Maklum, anaknya masih kecil, polos, lucu, belum tahu banyak hal, kosa kata mungkin belum semua tahu, termasuk aku sendiri. Aku jadi teringat pelajaran Ushul Fikih bersama Ustadz Alfian–semoga Allah membalas kebaikan dan selalu menjaga beliau–saat sampai pada pembahasan:
وقد يأتي الكلام بصورة الخبر والمراد به الإنشاء و بالعكس لفائدة
“Terkadang pembicaraan itu berbentuk kabar, akan tetapi yang dimaksud darinya adalah perintah, begitu juga sebaliknya, dalam rangka tujuan tertentu.”
Jadi, aku bisa memuraja’ah faedah pelajaran ushul fikih dengan adanya kejadian ini pada tiga tahun lalu yang saat ini aku sedang menulisnya, “Ustadz, aku bukan pakai cabai yaa…” masih terlalu banyak kisah indah kami bersama para santri Ma’had As-Salafy Perawang yang tak sanggup kutuangkan dalam lembaran sederhana ini.
Tak terasa, kami sudah berada di pertengahan tahun menjalani KBM di ma’had tersebut. Para santripun menjalani liburan selam kurang lebih dua pekan. Adapun kami, setidaknya ada dua agenda acara yang kami laksanakan saat itu.
Pada pekan pertama, kami mengadakan acara safari dakwah dari Perawang menuju kota Medan. Kebetulan Ustadz Abu Sa’id Hamzah–Mudir kami di Jember, jazaahullahul-kher semoga Allah jaga beliau–, sedang berkunjung menjeguk dan melihat kondisi kami di ma’had. Beliau sangat perhatian kepada kami. Akhirnya kami pun berangkat bersama Ustadz Hamzah, Ustadz Salim, dan teman-teman satu mobil. Kami memulai perjalanan pada pukul 21.17 waktu setempat.
Alhamdulillah, Allah kembali memberi kesempatan untuk memperluas wilayah kami tuk bertemu dengan saudara-saudara seiman dan semanhaj di wilayah pulau sumatera. Ternyata, di sana masih ada saudara-saudara kita yang haus akan ilmu, rindu untuk mendengarkan nasehat dan wejangan para asatidzah yang selama ini mereka hanya sebatas mendengarkan taklim lewat radio RII saja.
Masih terbayang di benakku, waktu itu kami bersama-sama menyusuri berbagai kota di provinsi Riau. Mulai dari kota Duri, Dumai, Ujung tanjung, Rantau prapat, hingga keluar dari provinsi Riau dan masuk provinsi Sumatera Utara tepat di kota Tebing tinggi.
Sebuah pemandangan alam yang tidak kami dapatkan di Jawa selama perjalanan kami. Kebun sawit terlihat sejauh mata memandang. Terkadang, sesekali melewati “Cevron” pabrik kilang minyak dan beberapa rumah di pinggiran jalan raya. Akhirnya, tibalah kami di sebuah pondok yang berada di daerah “Aek songsongan” kurang lebih pada pukul 07.00 pagi. Karena badan terasa letih dan capek, kami pun segera beristirahat di ruang tamu seusai sarapan. Adapun Ust. Hamzah, beliau langsung menuju masjid dan mengisi taklim bersama para ikhwah, masyaallah semoga Allah memberkahi ilmu beliau.
Subhanallah, di usia saat itu, beliau masih semangat berjuang dan berdakwah tanpa kenal lelah. Semoga Allah memanjangkan umur beliau dan menjadikan beliau istiqamah diatas manhaj ini. Manhaj Ahlus Sunnah wal jama’ah begitu pula asatidzah kami semua. Aamiin…
Pada perjalanan safari dakwah selanjutnya, kami menuju kota Tanjung balai sejarak kurang lebih lima jam perjalanan. Disana kami bertemu dengan santri Tahfidz mutawassith yang sampai saat ini masih ada di ma’had. Beliau akrab dengan panggilan “Robi’ Medan” semoga Allah menjadikan beliau seperti syaikh Robi’, aamiin. Keluarga beliaulah yang menyambut kedatangan kami di sana. Seumur-umur baru kami rasakan jamuan “udang” sebesar tiga jari dengan campuran bumbu merah. Masya Allah… lezaat sekali… kami ucapkan jazakumullahu khairan atas jasa keluarga Rabi’ Medan. Sungguh terasa besar bagi kami jasa antum walau hanya kami rasakan beberapa jam saja.
Selanjutnya, kami berangkat menuju Tanjung marowa atau Deli serdang yang bersebelahan dengan kota Medan. Tak luput pula, Ust. Hamzah diberi kesempatan untuk mengisi taklim dan musyawarah dakwah bersam asatidzah pengampu dakwah di kota Medan.
Sebenarnya, Ust. Hamzah ingin mengajak kami melanjutkan safari dakwah hingga ke kota Lhoksumawe yang berada di provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Namun, karena akan diadakan daurah di kota Karanganyar bersama syaikh Abdul Wahid, maka beliau diminta untuk segera kembali ke Jawa. Safari dakwah pun di cukupkan sampai di kota Medan, kemudian beliau segera kembali ke Jawa menaiki pesawat dari bandara kualanamu, Medan Sumatra Utara.
Pada hari yang sama, kami berangkat dari Tanjung Marowa menuju Perawang, tempat asal PKL kami yang kurang lebih satu tahun.
Sesampainya kami di ma’had Perawang, kami sudah dinanti oleh ami Abu Ammar untuk melanjutkan kembali safari menuju provinsi Sumatera barat. Safari kali ini adalah safari refreshing dan penyemangat, agar sepulangnya kami dari sana, dapat menyemangatkan kembali kegiatan KBM kami di ma’had.
Pemandangan indah yang pertama kali kami saksikan adalah pemandangan kelok sembilan, pada kelokan jalan raya yang paling atas, kami bisa menyaksikan indahnya lika-liku jalan di bawah sana yang mengitari kaki bukit. Untuk selanjutnya, kota pertama yang kami kunjungi adalah kota Bukit Tinggi. Kami menginap di sebuah Hotel yang bernama “Hotel Sari”.
Esok harinya, kami berjalan jalan menuju tengah kota yang hanya berjarak kurang lebih seratus meter, sangat dekat sekali. Setelah kami sampai di tengah kota, aku mencoba menengok ke sebelah kanan jalan raya, ternyata di sana ada rumah besar yang bernama “Kantor Bung Hatta”, manakala kota Bukit tinggi adalah kota kelahiran bapak Moehammad Hatta. Dan di sebelah kiri jalan adalah wisata jam gadang[1] nan indah sekali.
Setelah di rasa cukup menikmati suasana jam gadang, kami segera balik ke Hotel untuk bersiap siap menuju wisata “Ngarai Sianok”. Masya Allah… pemandangan alam di provinsi Sumatera Barat memang betul-betul inda. Semua ini mengingatkan kita akan kebesaran Allah yang menciptakan itu semua.
Setelah usai menikmati keindahan “Ngarai Sianok”, kami bersama sama menuju wisata berikutnya yang bernama: “Puncak Lawang”. Wisata ini memang berada di puncak bukit, sangat tinggi sekali. Keindahan alam selanjutnya kami nikmati di wisata ini.
Di pinggiran puncak bukit, aku mencoba melihat ke arah bawah, ternyata kami seolah olah sedang menaiki pesawat terbang di angkasa. Terlihat di bawah sana Danau Maninjau yang sangat luas sekali, berikut awan-awan yang turut menghiasi alam di bawah kaki-kaki kami.
Pada kali ini, kami benar-benar diajak merenungi keindahan dan kebesaran ciptaan Allah. Allah menciptakan itu semua tidaklah sia-sia, melainkan ada hikmah yang besar di balik itu semua.
Seusai menikmati suasana Puncak Lawang, kami turun dari bukit menyusuri lika-liku jalan yang sangat tajam menuju kota Padang yang pada akhirnya kami menyelesaikan acara safari di Pantai “Carocok Painan”, kota Padang. Di Pantai tersebut kami sempat bermain “Banana Boat” menggunakan tali tampar dan di tarik dari depan menggunakan speed boat mengelilingi Pulau Singkuak. Di pertengahan kami menikmati “ Banana Boat”, tiba tiba pemilik speed boat langsung mempercepat laju dan seketika langsung ngepot.. “Wheeng…!!!” seketika itu kami langsung jatuh terpelanting jauh di tengah laut. alhamdulillah, sejak awal, kami semua telah menggunakan alat pelampung sehingga tidak ada yang tenggelam digigit ikan hiu. Setelah itu, kami dinaikkan kembali di atas “Banana boat” dan dibawa menuju tepi Pantai. Huuuh.. seruuu sekali..!!
Seusai menikmati Pantai “Carocok Painan”, saatnya kami untuk pulang kembali ke ma’had tercinta di Perawang. Alhamdulillah, kini kami telah terhibur dengan dua safari selama liburan semester ganjil. Sudah saatnya kami untuk menunjukkan rasa syukur kepada Allah dengan meningkatkan kembali amalan ketaatan yang sebelumnya mungkin masih banyak kekurangan.
Begitu pula, kami berterima kasih kepada segenap ikhwah yang memberikan sumbangsihnya dari segi tenaga dan harta untuk menghibur kami. Semoga Allah memberi ganjaran yang lebih baik kepada mereka. Semoga Allah memberi keistiqamahan kepada mereka di atas manhaj ini, aamiin…
Saat ini kami berada di awal semester genap. Masih ada sisa waktu lima bulan untuk memperdalam ilmu serta pengalaman kami dalam mengajar dan mendidik santri.
Di Pondok tersebut, kami mendapat banyak arahan dari Ustadz Salim, Ustadz Zakariyya Padang, dan ustadz ustadz yang lain. Ustadz Salim dan Ustadz Zakariyya Padang juga alumni Ma’had Minhajul Atsar Jember. Contoh bimbingan tersebut adalah terkait dengan menidurkan anak-anak di siang hari. Kami banyak mengambil faedah dari Ustadz Bukair. Beliau juga dari Jember. Begitu pula, cara mengingatkan anak-anak di saat jam masuk pelajaran maupun di saat mengajar santri. Dan masih banyak lagi metode-metode dalam mendidik anak yang mereka ajarkan kepada kami berdasarkan pengalaman mereka.
Waktu berlalu begitu cepat, tak terasa kini kami berada di penghujung saat saat kami di Ma’had Perawang, terselip di hatiku rasa rindu untuk kembali ke Ma’had asal melanjutkan rihlah thalabul ilmi di jenjang berikutnya. Namun di sisi lain, rasa haru dan sedih tatkala kami harus berpisah dengan anak anak MTP yang dahulu mungkin kami banyak berlaku keliru kepada mereka. Begitu pula, kepada para ikhwah yang sangat banyak jasa jasa mereka kepada kami.
Pagi itu, sebelum kami berangkat menuju Bandara, Ust. Salim memberikan nasehat dan penyemangat kepada kami selaku santri Ma’had Minhajul Atsar. Diantara yang beliau sampaikan adalah “Harapannya, setelah antum menjalani magang setahun di sini, antum lebih semangat lagi dalam thalabul ilmi, mencatat faedah-faedah yang di sampaikan asatidzah di sana, tak luput pula semangat berta’awun dengan pihak ma’had. Suatu saat nanti ketika antum mungkin sudah lulus dari jenjang akhir, tafadhol jika antum ingin ke sini lagi.”
Seketika sebagaian teman tak kuasa meneteskan air mata karena terharu mendengar nasehat Ustadz Salim. Hubungan yang sangat erat antara kami dengan para ikhwah dan anak anak telah terjalin selama satu tahun, saat ini kami harus melepaskannya dengan mata yang berkaca-kaca dan hati yang sedih. Namun, hal ini adalah sebuah keniscyaan, setiap pertemuaan pasti ada perpisahan.
Di saat itu, aku masih kuat menahan diri untuk tidak ikut meneteskan air mata. Aku bersama teman-teman mulai melangkah meninggalkan Masjid dan menuju mobil yang sudah siap mengantar kami ke Bandara Sultan Syarif Kasim.
Namun, di pelataran masjid banyak sekali ikhwah yang sudah siap berpamitan dengan kami. Mereka merasakan apa yang kami rasakan juga. Terharu karena akan berpisah dengan kami. Sebagian ikhwah ada yang lama sekali bersalaman dengan salah satu temanku, sembari mengusap-usap mata beliau dan mengucapkan pesan-pesan akhir kepadanya. Seolah olah beliau tak sanggup berpisah dengan kami.
Setelah selesai berpamitan kepada seluruh ikhwah, kami segera menaiki mobil. Karena sudah ditunggu sopir. Namun, ikhwah tadi masih membuntuti kami dan berdiri tegak di samping mobil dengan raut wajah yang menampakkan rasa haru. Sambil menunggu mobil berangkat, salah satu teman membuka kaca mobil dan ikhwan tersebut melambaikan tangannya sembari berkata, “Hati-hati di jalan ustadz… semoga kita bisa bertemu lagi….”
Tetapi, aku melihat sebagian muridku berlari menghampiri mobil. Abdullah namanya. Di saat itulah mataku mulai berkaca-kaca. Abdullah yang dahulu aku sering memarahinya. Karena rasib terus ketika setoran hafalan. Muraja’ah sambil menoleh ke sana kemari. Kini aku harus berpisah dengannya. Tak sungkan aku langsung membuka kaca mobil dan berpesan: “Abdullah… semangat muraja’ah yaa… yang konsentrasi ketika muraja’ah, jangan toleh toleh ketika sedang setoran…” kembali aku menutup kaca sembari mengusap linangan air mataku.
Mobil pun berangkat menuju Bandara. Singkat cerita, kini kami sudah sampai di Ma’had asal, bertepatan dengan malam tanggal 24 Ramadhan 1438 H.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada asatidzah Ma’had asal, kami dapat menjalankan magang di sebuah Pondok berdasarkan ketetapan Ma’had. Sebuah kesempatan mahal yang sempat kami nikmati.
Selanjutnya, ucapan syukur kepada segenap asatidzah, ikhwah, dan para santri Ma’had Perawang yang selama setahun terjalin hubungan yang sangat erat antara kami denagan antum, semoga menjadi ukhuwwah lillah wa fillah, aamiin…
Tak lupa kami selaku tim PKL lulusan tahfidz tahun ajaran 1437-1438 H / 2017 M, Ma’had Minhajul atsar Jember, memohon maaf yang sebesar besarnya kepada seluruh pihak yang bersangkutan dengan kami baik di Ma’had asal maupun di Ma’had Perawang.
Kami memohon kepada Allah agar memberi kita keistiqamahan di atas manhaj salafus shalih, terus berada di jalan thalabul ilmi, dan semoga Allah mengumpulkan kita kelak di Jannah-Nya yang penuh dengan kenikmatan dan terjauhkan dari adzab-Nya, aamiin…
[1] Gadang adalah Bahasa Minang Kabau yang berarti besar. Yakni jam besar.
SUBHANALLAH, BAROKALLAHUFIIKUM
wa fiikum baarakallah
Masyaallah bahagia dan sedih bacanya, semoga para thulab dan asatidzah tetap istiqomah diatas alhaq. Barakallahufiikum
amiin
Maasyaa Allah..
Baarakallahu fiyk..
wa fikum barakallah