JIMAT DAN JAMPI JAMPI
Bila kita memperhatikan kondisi kaum muslimin yang mereka sholat, bershodaqoh, berpuasa dan bahkan menunaikan ibadah haji, maka seringkali kita dapati di antara mereka mendatangi “Kyai” untuk mendapatkan benda-benda yang dikenal dengan jimat, agar jabatannya langgeng, bisnisnya berhasil, atau tubuhnya tidak mempan bila dikenai benda tajam. Bahkan mayoritas umat ini menganggap bila seorang “Kyai” atau “santri” memiliki “kelebihan” ini maka kedudukan agamanya mulia di sisi mereka. Bagaimana sebenarnya Islam menilai fenomena tersebut ? Apakah ia diperbolehkan dalam Islam ?
Rosulullah sebagai Nabi dan pembawa agama yang penuh rahmat, sungguh telah menjelaskan tentang hukum jimat, baik dengan ucapan ataupun dengan perbuatan. Dengan ucapan, sebagaimana sabda beliau :
إِ نََّ الرُّقَََََََََى وَالتََّمَائِمَ وَ التِّوَلََََةََ شِِْركٌ
”Sesungguhnya jampi-jampi, jimat-jimat dan tiwalah adalah syirik”. (H.R. Abu Dawud dan selainnya. Dishohihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shohihul Jami’ no. 1632 dan Ash Shohihah no. 331 dan dihasankan oleh Asy Syaikh Muqbil dalam Al Jami’ush Shohih 4/499).
Dengan perbuatan, sebagaimana riwayat ‘Uqbah bin Amir Al Juhani radliallohu ‘anhu, ia menceritakan bahwa beliau ditemui sekelompok sahabat. Kemudian beliau membai’at sembilan orang dan tidak membai’at satu orang. Mereka bertanya: “Wahai Rosulullah, kenapa engkau membai’at sembilan orang dan tidak membai’at satu orang ini?”. Beliau menjawab: “Sesungguhnya dia membawa jimat.” Lantas beliau mengulurkan tangannya dan melepas jimat tersebut lalu membaiatnya”. (H.R. Ahmad. Dishohihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Ash Shohihah no. 492 dan dihasankan oleh Asy Syaikh Muqbil dalam Al Jami’ush Shohih 6/294).
Para pembaca yang mulia, dua hadits tersebut menerangkan tentang hukum haramnya memakai jimat, tiwalah (sejenis jimat yang dibuat dan dipakai untuk menjaga rasa cinta antara suami istri) dan jampi-jampi yang mengandung lafadz-lafadz kesyirikan. Masuk juga dalam larangan di atas segala sesuatu (jimat) yang dipakai, atau digantungkan sebagai sarana, atau segala sesuatu dengan sendirinya diyakini dapat mendatangkan manfaat atau mencegah mudharat.
Dalam beberapa riwayat shohihah yang lain diterangkan tentang beberapa perkara yang perlu kita pahami:
1. Tidaklah dibedakan apakah jimat-jimat tersebut digantungkan pada anggota tubuh manusia, hewan, mobil, rumah, toko dan lain-lain. Hal ini Berdasarkan penuturan Abu Basyir Al Anshori radliallahu ‘anhu di dalam shohih Al Bukhori dan Muslim: “Maka Rosulullah mengutus seseorang (dalam riwayat lain: Zaid bin Haritsah) untuk tidak meninggalkan satu tali kekang pun pada leher unta (yang diyakini dapat menolak bala’) melainkan harus dibuang”. Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahulloh mengomentari riwayat tersebut: “Tidak mesti (larangan menggantungkan jimat) hanya berlaku kalau digantungkan pada leher hewan tunggangan. Kalau pun seandainya diikatkan pada tangan atau kakinya, maka hukumnya sama saja (dilarang). Sisi larangannya terletak pada jimat tersebut, bukan pada sisi tempatnya. Sisi tempat tidaklah berpengaruh (pada hukum keharamannya).” (Al Qaulul Mufid ‘Ala Kitab At Tauhid jilid 1, hal,176-177)
2. Tidak pula dibedakan apakah yang digantungkan itu terbuat dari tulang, tanduk, tali, rambut, dan lain-lain. Hal ini berlandaskan riwayat Ahmad dan At Tirmidzi dengan sanad yang hasan:
تَعَلَّقَ شَيْئا وُكِلَ إِلَيْه مَنْ
“Barangsiapa menggantungkan sesuatu (sebagai jimat) maka dicondongkan tawakalnya kepada benda itu.”
Dalam Bahasa Arab lafadz “شَيْئا.” yang berbentuk nakirah apabila di dalam konteks kalimat syarat maka berfungsi umum yaitu segala sesuatu yang digantungkan sebagai jimat.
Para pembaca yang dirahmati Allah ?, manakala seseorang menggantungkan atau membawa jimat, maka tidaklah terlepas niatnya dari dua keadaan:
1. Bila dia menggantungkan jimat disertai keyakinan bahwa jimat itu dapat mendatangkan manfaat dan menjauhkan dari malapetaka dengan sendirinya selain Allah ?, maka ini adalah syirik besar yang bisa mengeluarkan seseorang dari Islam. Tidak bermanfaat sedikitpun dari amalannya, dan apabila meninggal dunia dan belum bertaubat maka dia menjadi penghuni neraka kekal, di dalamnya. Wal ‘Iyadzubillah.
2. Jika dia melakukan hal ini dengan keyakinan bahwa benda itu sebagai sarana atau sebab yang bisa mendatangkan manfaat dan menjauhkan bahaya, dengan tetap meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya Dzat Yang Maha Mampu mendatangkan manfaat dan menjauhkan mudharat, maka dia terjatuh pada syirik kecil yang merupakan salah satu dosa terbesar. Wallahulmusta’an.
Perhatikanlah wahai saudaraku para pembaca! semoga Allah I menyelamatkan kita semua dari segala jenis kesyirikan. Kalau demikian keadaannya maka tidak ada jalan lain melainkan kita harus meninggalkan benda-benda itu yang sama sekali tidak bisa mendatangkan manfaat ketika Allah I menjauhkannya dari seseorang, dan tidak bisa menjauhkan mudharat ketika Allah I menimpakannya pada seseorang. Allah I berfirman:
َوإِنْ يَّمْسَسْكَ اللهُ بِضُرٍّ فَلاَ كَاشِفَ لَه إِلاَّ هُوَ وَإِنْ يُّرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلاَ رَآدَّ لِفَضْلِه يُصِيْبُ بِه مَنْ يَّشَآءُ مِنْ عِبَادِه وَهُوَ اْلغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Yunus : 107)
Hanya Allah-lah tempat memohon pertolongan. Hanya Allah-lah yang memiliki kekuasaan mutlak. Dialah yang Maha Kuasa lagi Maha Perkasa.
Namun timbul di benak kita, bagaimana kalau benda-benda yang digantungkan itu berupa tulisan ayat-ayat Al Qur’an atau do’a-do’a yang shohih dari Nabi ?
Para Ulama berbeda pendapat tentang masalah ini:
1. Di antara mereka ada yang membolehkannya berdasarkan keumuman firman Allah I :
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَّ رَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ
“Dan Kami telah turunkan dari Al Qur’an tersebut sebagai penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Q.S. Al Isra’ : 82)
Dan firman-Nya :
كِتَابٌ أَنْزَلْنهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ … “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu yang penuh dengan berkah …” (Q.S. Shaad : 29).
2. Sebagian mereka tetap melarangnya berdasarkan keumuman hukum syirik dan larangan dalam hadits-hadits yang telah lalu.
Pendapat yang kuat adalah pendapat kedua, karena beberapa alasan yang cukup kuat:
1. Tidak adanya contoh dari Rosulullah untuk menggantungkan ayat-ayat Allah I untuk menolak bala’. Padahal pada saat itu bala’ tersebut sudah ada dan banyak penulis wahyu yang mampu menulis ayat-ayat Allah pada benda-benda tersebut.
2. Menutup jalan yang mengantarkan seseorang untuk kemudian menggantungkan benda-benda sebagai jimat yang tidak tertulis lagi ayat-ayat Allah I, yang ini lebih keras keharamannya.
3. Bahwa ayat-ayat Al Qur’an sebagai obat bagi orang yang sakit dan sebagai barokah, yaitu dengan cara dibaca dan diamalkan, bukan dengan cara menggantungkan sebagai jimat. Alasan ketiga ini membantah cara pendalilan pendapat yang pertama.
Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, para murid Ibnu Mas’ud dari kalangan para tabi’in, Asy Syaikh bin Baaz, Asy Syaikh ‘Utsaimin dan fatawa Al Lajnah Ad Da’imah.
Maka tampaklah dari penjelasan di atas, betapa besarnya kejelekan syirik ini. Menjadikan benda-benda mati yang tidak mampu memberi manfaat atau mencegah mudhorot walaupun kepada dirinya sendiri. Lalu bagaimana mungkin bisa memberikan manfaat dan menjauhkan mudharat dari selain dirinya?! Kita berlindung kepada Allah I dari fitnah dan musibah syirik yang bisa mencelakakan diri kita dan masyarakat ini. Wallahulmusta’an.
Untaian Fatwa :
Asy Syaikh Sholih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan Hafidhohullah berkata : “Keberadaan bayi (yang digantungkan padanya benda-benda yang ditulisi do’a-do’a atau ayat-ayat Al Qur’an) mendapatkan ketenangan atau disembuhkan sakitnya ketika memakai benda-benda tersebut tidaklah menunjukkan bolehnya perbuatan itu. Karena ketenangan atau kesembuhan setelah menggantungkan benda-benda tersebut kadang-kadang karena bertepatan dengan takdir Allah. Namun mereka menduga-duga hal itu terjadi karena adanya benda-benda tadi. Kadang-kadang pula dalam rangka istidroj (tipu daya syaithan, -pent) dan ujian bagi mereka, sampai mereka terjatuh kepada yeng lebih jelek dari pada itu. Tercapainya tujuan manusia ketika melakukan perkara yang tidak disyariatkan tersebut, tidaklah menunjukkan bolehnya perkara tersebut. Maka manusia pun menyangka bahwa tujuan itu tercapai karena sebab benda tersebut sehingga terfitnahlah mereka.(Al Muntaqo min Fatawa Asy Syaikh Shoplih Al Fauzan jilid 1 hal, 167-168)
Demikianlah penjelasan kami tentang masalah jimat dan hukum menggunakannya. Semoga bermanfaat bagi kita semua.
Tanya – Jawab
Tanya :
Saya telah memahami bahwa jimat diharamkan dalam syariat Islam, lalu bagaimana dengan jampi-jampi ?
Jawab :
Saudaraku yang mulia, di samping perkara jimat yang telah kita pahami bersama, tidak kalah pentingnya seorang yang beriman dan bertauhid untuk mengetahui tentang hukum jampi-jampi (ruqyah) menurut timbangan Islam dengan dalil-dalinya. Sehingga dia benar-benar terbimbing dalam melakukan dan meninggalkan suatu amalan.
Dinul Islam yang diemban oleh Rasululloh tidaklah melarang suatu amalan kecuali agar agama pemeluknya (Islam) terjaga dari kerusakan. Tidak luput pula, perkara jampi-jampi yang berkaitan dengan tauhid seorang muslim.
Oleh karena itu Rosulullah di dalam riwayat yang telah lalu melarang jampi-jampi kalau ada unsur kesyirikan di dalamnya. Misalnya : Seseorang membaca jampi-jampi “Wahai Sayyidina Muhammad (dalam keadaan beliau telah wafat) sembuhkanlah dia dari sakitnya.” Atau “Dengan barokah nabi-Mu Ya Allah, berikan dia anak!” Dan seperti itu.
Adapun jampi-jampi atau dengan istilah lain “ruqyah” maka diperbolehkan selama tidak ada unsur kesyirikan di dalamnya. Dasar pembolehannya adalah ucapan nabi yang diriwayatkan oleh Al Imam Muslim di dalam Shahihnya :
لاَبَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ تَكُنْ شِرْكًا “Tidak mengapa menggunakan ruqyah selama tidak ada unsur kesyirikan.”
Riwayat-riwayat yang shahihah lainnya menunjukkan bolehnya perkara tersebut. Contoh ruqyah yang diperbolehkan adalah ruqyah dengan membaca Al Qur’an agar disembuhkan dari penyakit, ataupun lafazh-lafazh lain yang dibolehkan dalam syariat. Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berkata : “Demikianlah jampi-jampi, diharamkan bila tidak jelas (tidak dimengerti maknanya), adapun bila dimengerti maknanya, tidak terdapat padanya kesyirikan, dan tidak menyelisihi syariat Islam maka tidak mengapa. Karena Nabi pernah meruqyah (membacakan jampi-jampi) dan diruqyah (dibacakan pada beliau jampi-jampi), beliau bersabda :
لاَبَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ تَكُنْ شِرْكًا “Tidak mengapa menggunakan ruqyah selama tidak ada unsur kesyirikan.” (H.R. Muslim)(Majallatul Buhuts Al Islamiyyah edisi 4, hal. 162)
Namun para pembaca, penting bagi kita untuk menjaga keyakinan dalam membaca ruqyah yang diperbolehkan itu. Yaitu keyakinan bahwa ruqyah itu hanya sebagai perantara dan sebab yang menjauhkan seseorang dari mudharat dengan izin Allah Ta’ala. Ruqyah tersebut tidak mampu dengan sendirinya menjaga dari mudharat.
Al Imam As Suyuthi berkata : “Para ulama telah bersepakat atas bolehnya jampi-jampi di saat terpenuhi tiga syarat :
1. Dari firman Allah atau Nama-Nama dan Sifat-Sifat Nya.
2. Dengan berbahasa Arab dan dimengerti maknanya.
3. Dengan keyakinan bahwa jampi-jampi itu tidak berpengaruh dengan sendirinya, akan tetapi dengan takdir dari Allah Ta’ala.
(Fathul Majid, hal. 151)
Wallahu A’lam Bish Showab