Perbandingan orang yang berakal dan orang yang bodoh
Oleh Abul Husain Faruq Gresik 4B Takhasus
Sungguh akal merupakan karunia yang hanya Allah Ta’ala berikan kepada manusia. Dengan akal seseorang dapat memilah antara kebaikan dan keburukan, dengannya juga seseorang dapat menjalani kehidupan dunia ini dengan tentram, mengetehaui kebenaran dan kebatilan, juga dapat melihat dampak negatif dan positif dari apa yang akan ia perbuat, dan dengan akal seseorang dapat terlepas dari belenggu kemaksiatan dan dosa, serta dapat terlepas dari jerat-jerat syaithan.
Al-Imam al-Hasan al-bashri rahimahullah pernah mengatakan, ”Tidak akan sempurna agama seseorang hingga sempurna akalnya. Allah ta’ala tiada menitipkan akal kepada seseorang melainkan agar suatu saat nanti bisa digunakan untuk menyelamatkan dirinya.”
‘Atha’ bin abi Rabah rahimahullah pernah ditanya, apa pemberian paling utama dari yang Allah Ta’ala berikan kepada manusia? Beliau menjawab, “ Akal yang berasal dari Allah Subhaanahu Wa Ta’ala.”
Yusuf bin Asbath rahimahullah pernah mengatakan, “Akal adalah pelita bagi sesuatu yang samar, pengendali bagi tubuh, dan perhiasan bagi setiap orang. Hidup tidak akan baik tanpanya, dan segala sesuatu tidak akan berjalan kecuali bertumpu kepadanya.”
Namun perlu diketahui bersama bahwa akal disini ialah akal yang tunduk kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, bukan akal yang dielu-elukan dan didewa-dewakan oleh kelompok rasionalisme (orang yang mendahulukan akal daripada al-Qur’an dan as-Sunnah), maka ini merupakan akal yang tercela.
Sungguh hanya orang berakal yang dipuji dan disanjung diberbagai tempat di dalam al-Qur’an. Diantaranya:
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala memerintahkan kepada orang yang berakal untuk bertakwa kepada-Nya. Allah Ta’ala mengatakan,
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الألْبَابِ
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa, dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang berakal.” (al-Baqarah: 197)
Hanya orang yang berakal yang dapat melihat tanda-tanda kebesaran Allah Ta’ala serta mentadabburinya. Sebagaimana yang Allah Ta’ala katakan dalam ayat-Nya,
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأولِي الألْبَابِ() الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal {190} (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka jagalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran: 190-191).
Dalam ayat ini Allah Ta’ala menyebutkan ciri-ciri orang yang berakal, yaitu orang yang selalu mengingat dan merenungi penciptaan-Nya, serta orang yang bersegera dalam beribadah dan berdo’a.
Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala menyebutkan bahwa hanya orang berakal yang dapat mengambil pelajaran. Allah Ta’ala mengatakan,
أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الألْبَابِ
“Apakah sama orang yang mengetahui bahwasannya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu adalah kebenaran dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.” (QS. ar-Ra’d: 19).
Di dalam ayat ini Allah Ta’ala menyebutkan bahwa orang berakal saja yang bisa mengambil ‘ibrah (pelajaran) dari al-Qur’an dan musibah yang menimpa dirinya maupun ummat manusia. Oleh karena itu mari kita menjadi orang yang berakal, yaitu orang yang akalnya selalu bertumpu kepada al-Qur’an dan as-Sunnah.
Al-Imam Ibnu Hibban al-Busti menulis sebuah kitab yang sangat monumental yang membahas tentang kiat-kiat menjadi orang yang berakal, yang bejudul Raudhatul ‘uqala’ wa Nuzhatul Fudhala’. Kitab ini sangat dibutuhkan bagi setiap remaja muslim untuk dibaca dan diamalkan.
Namun yang perlu diketahui, di sana ada perbedaaan antara orang yang berakal dan orang yang bodoh. Sebagaimana yang disebutkan oleh al-Imam Ibnul Jauzi dalam kitabnya Dzammul Hawa, beliau menukil sebuah perkataan dari sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallhu ‘anhu. Beliau berkata,
لَوْ أَنَّ الْعَاقِلَ أَمْسَى وَأَصْبَحَ وَلَهُ ذُنُوبٌ بِعَدَدِ الرَّمْلِ كَانَ وَشِيكًا بِالنَّجَاةِ وَالسَّلامَةِ وَالتَّخَلُّصِ مِنْهَا وَلَوْ أَنَّ الْجَاهِلَ أَمْسَى وَأَصْبَحَ وَلَهُ مِنَ الْحَسَنَاتِ وَأَعْمَالِ الْبِرِّ عَدَدُ الرَّمْلِ لَكَانَ وَشِيكًا أَلَّا يَسْلَمَ لَهُ مِنْهَا مِثْقَالُ ذَرَّةٍ قِيلَ وَكَيْفَ ذَلِكَ قَالَ لأَنَّ الْعَاقِلَ إِذَا زَلَّ تَدَارَكَ ذَلِكَ بِالتَّوْبَةِ وَالْعَقْلِ الَّذِي قُسِمَ لَهُ وَالْجَاهِلَ إِنَّمَا هُوَ بِمَنْزِلِهِ الَّذِي يَبْنِي وَيَهْدِمُ فَيَأْتِيهِ مِنْ جَهْلِهِ مَا يُفْسِدُ صَالِحَ عَمَلِهِ
“Kalau seandainya orang berakal masuk di waktu pagi dan sore hari dalam keadaan memiliki dosa sebanyak butiran pasir yang ada, niscaya dia bisa selamat dan terlepas dari dosanya tersebut. Kalau seandainya orang bodoh masuk waktu pagi dan sore dalam keadaan memiliki amal kebaikan sebanyak butiran pasir yang ada, niscaya tidak mendapatkan manfaat darinya walaupun sedikit.” Maka dikatakan kepada beliau, “Bagaimana hal ini bisa terjadi?” Beliau menjawab, “Orang yang berakal apabila berbuat dosa niscaya akan memperbaikinya dengan taubat nasuha. Adapun orang bodoh permisalannya seperti orang yang membangun sebuah rumah kemudian dia menghancurkannya sekaligus, karena orang bodoh bisa saja dengan kebodohannya merusak amal shalihnya.” [Dzammul Hawa hal. 9]
Coba renungkan perbedaan di atas, sungguh sangat berbeda sekali. Coba kita bandingkan orang yang bermaksiat kepada Allah Subhaanhu Wa Ta’ala kemudian dia menyadari bahwa perbutan tersebut adalah dosa, lantas dia bertaubat kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dengan seseorang yang beribadah kepada Allah Ta’ala namun di atas kebodohan dan kebid’ahan. Sungguh sadarnya dia dari maksiat tersebut kemudian bertaubat dengan taubat nasuha menyebabkan dirinya mendapatkan ampunan dari Allah ‘Azza wa Jalla, adapun ibadah yang dilakukan oleh orang yang kedua maka ibadah tersebut tidak akan bermanfaat untuknya sama sekali.
Saudaraku, mari kita bersyukur kepada Allah Ta’ala karena telah mengaruniakan kepada kita akal yang dengannya kita dapat membedakan antara kebenaran dan kebatilan. Begitupula kita bersyukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla yang telah mengaruniakan kepada kita nikmat mengenal agama yang sesuai dengan al-Qur’an dan as Sunnah dengan pemahaman salaful ummah. Hanya sedikit orang saja yang mendapatkan kenikmatan seperti ini.
Semoga Allah Ta’ala mengaruniakan kepada kita akal yang sempurna, serta memberikan kepada kita kistiqamahan dan kekokohan di atas agama-Nya sampai kita bertemu dengan-Nya di surga kelak. Aamiin yaa Mujiibas sailiin.