Liburan yang Tertunda

oleh Abu Sa’id Sa’ad Pangkep 3 Tahfizh

Suatu ketika dari pergiliran waktu, seorang ustadz mengajar para santri. Pada saat itu beliau mengatakan, “InsyaAllah, liburan tanggal 2 Juni 2020.”

Senang rasanya ketika mendengarkan kabar itu, walau bulan Juni masih terlampau jauh sedangkan waktu itu bulan Pebruari, namun karena tanggalnya telah ditetapkan membuat senang di hati.

Hari-hari pun berjalan dengan cepatnya. Salah seorang santri telah mencanangkan kegiatan-kegiatan liburannya, terekam dalam benaknya,

فَإِنَّ كُلَّ مَا هُوَ آتٍ قَرِيبٌ، أَلَا إِنَّ بَعِيدًا مَا لَيْسَ آتِيًا

الكتاب: الاعتصام  1/93

المؤلف: إبراهيم بن موسى بن محمد اللخمي الغرناطي الشهير بالشاطبي (المتوفى: 790هـ)

“Sungguh setiap yang akan datang hakikatnya itu dekat, ketauhilah sungguh tidaklah setiap yang akan datang itu jauh.” (Kitab al-I’tisham 1/93 Bab: Tentang Hadis yang Menyebutkan Tercela Bid’ah dan Pelakunya karya: Imam Syathibi wafat.790H)

Namun manusia hanya bisa berencana, Rabbul Alamin yang telah mengatur semuanya. Terjadilah apa yang terjadi berupa munculnya sebuah wabah bernama Covid-19, awalnya terdengar ia hanya di negara China namun tidak disangka pemerintah Indonesia telah mengumumkan pada awal bulan Maret berupa masuknya Covid-19 di negeri Pertiwi.

Dalam rangka melindungi rakyatnya, pemerintah memberikan arahan-arahan dalam rangka menanggulangi persebaran Covid-19, di antara arahan tersebut agar pondok pesantren tidak meliburkan santrinya dan agar melakukan karantina mandiri.

Oleh karena sebab itu, asatidzah di ma’had menetapkan agar para santri tidak pulang dan melakukan karantina mandiri. Bagaimana kabar si santri itu? Rasa senang akan datangnya liburan berganti dengan keadaan lain, rencana-rencana telah dicanangkan berganti harapan dan doa kepada Rabbul Alamin agar segera mengangkat wabah ini.

Maret, April dan Mei telah berlalu….

Namun  penularan virus makin cepat. Juni bulan yang diharapkan turunnya angka penularan, namun ironinya virus makin ganas-ganasnya.

Akhirnya renungan akan suatu perkataan yang pernah terekam yakni ucapan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,

“مَا نزل بلاء إِلَّا بذنب، وَمَا رفع إِلا بتوبة”.

 الكتاب: أصول اعتقاد أهل السنة والجماعة للالكائي 32/9

“Tidaklah Allah Ta’ala menurunkan suatu musibah kecuali dengan sebab dosa dan tidaklah diangkat kecuali dengan tobat.”(Kitab Usul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah 32/9 karya: Imam al-Lalikai)

Mungkin Allah Ta’ala mengingatkan para hamba-Nya agar segera kembali kepada-Nya dan menyadarkan mereka dari kelalaian-kelalaian mereka. Namun hakikatnya ia berada di dalam kenikmatan yang mungkin di masa wabah itu banyak orang yang merindukannya yaitu “nikmatnya thalabul ilmi di Ma’had”, ia masih bisa menghirup udara segar thalabul ilmi di Ma’had, belajar tatap muka (bukan tatap layar).

Di mana ma’had-ma’had yang lainnya memulangkan para santrinya dan memindahkan pembelajarannya di rumah lewat via online. Belajar tatap muka tiada bandingannya lewat belajar tatap layar. Namun semuanya telah di catat dalam takdir, cukuplah hamba menjalaninya dengan syukur dan penuh harap.

Di ma’had pula para santri mendapatkan warisan-warisan ulama yang mungkin sebelumnya, belum terdengar. Serta masih banyak lagi nikmat yang didapatkan kalau memang mau merenung sejenak.

Hari-hari pun berlalu dengan cepat, hingga membawanya ke penghujung bulan Oktober, namun wabah belum mereda. Hanyalah doa yang terus terpanjatkan kepada Rabbul Alamin agar segera mengangkatnya.

Hari-hari di pondok dipenuhi dengan syukur atas nikmat thalabul ilmi yang masih berdekapan dengan santri serta elusan sabar akan menahan rindu yang bergejolak, rindu akan ayah ibunya.

Kadang kala santri harus menghadapi dinding kebosanan, tetapi dengan segera santri hancurkan dinding itu dengan terus bersabar di pondok. Sabar atas apa yang luput darinya berupa liburan tidak seberapa jika dibandingkan lenyapnya kesempatan thalabul ilmi dari dirinya. Ada satu nikmat lagi yang santri rasakan di ma’had yakni ukhuwwah, berteman dengan teman-teman seperjuangan, bermain bersama dan bisa belajar bersama-sama.

Sebagai penutup, hendaklah kita bercermin dengan perjuangan salaf dalam menuntut ilmu, jauhnya perjalanan bukan sebagai penghancur tekad, lamanya waktu thalabul ilmi bukan sebagai pemutus perjuangan thalabul ilmi, bertahun-tahun lamanya berjuang mengumpulkan warisan para nabi.

Hendaklah engkau jadikan sabar sebagai pakaian yang engkau kenakan saat bergelut dengan thalabul ilmi, karena jika engkau tanggalkan, pahitnya kebodohan akan terus engkau rasakan dalam perjalanan hidupmu. Pujangga Arab merangkainya dalam sebuah syi’ir,

“ما لم يذق مر تعلم ساعة تجرع ذل الجهل طول حياته.”     

“Barangsiapa yang tidak menegak pahitnya menuntut ilmu barang sesaat, ia akan merasakan hinanya kebodohan selama hidupnya.”

Perjalanan thalabul ilmi masih panjang, maka sabarlah!!!!

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ (69)

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS.Al-Ankabut:69)

Wallahu a’lam.

 

 

Mungkin Anda juga menyukai

2 Respon

  1. Ubu muhammad Cilacap berkata:

    Semangat belajar ya anak-anaku semoga kalian tetap.istiqomah dlm tholabul ilmi…ayah ibu juga bersabar walau kita tdk bertemu…semoga kita bisa bertemu dijannah Alloh Robbul ‘Izzah

    • Admin 2 berkata:

      amiin

      semoga kita diberi istiqamah

      dukungan dan doa orang tua sangat berpengaruh terhadap semangat dan keberhasilan belajar ananda, insyaallah.

      anak-anak adalah aset orang tua yang tiada berharga.

      semoga mereka menjadi anak-anak saleh, berbakti kepada kedua orang tua, berguna untuk agama, umat dan bangsa.

      amiin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.