Menembus Pekatnya Malam, Memupus Hidup Yang Buram
Gambar. Teras masjid Jami’ al-Khoir Muara Dua
Kehidupan dunia ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kehidupan akhirat. Seorang mukmin yang bijak pasti akan menjadikan dunia ini sebagai ladang untuk bercocok tanam. Menanam amal saleh untuk kemudian dipetik hasilnya di akhirat nanti.
Bila jiwa ini sudah termotivasi untuk meraih hidup bahagia di akhirat, pasti diri ini akan terdorong untuk mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya demi menggapai cita-citanya tersebut. Iman, takwa, dan amal saleh, itulah sebaik-baik bekal.
Bila hati ini sudah tertambat untuk memupus hidup yang buram di akhirat, maka seberat apapun rintangan dalam berjalan menuju ke sana, hal itu tidak jadi soal. Yang penting target tercapai, walaupun harus dengan mengorbankan jiwa dan raga ini. Letih, penat, berat. Demi meraih masa depan yang cerah di akhirat.
Itulah barangkali pelajaran yang bisa dipetik oleh saudara-saudara kita dalam program PKL yang mereka jalani. Hal ini tersirat dari apa yang telah mereka ungkapkan:
Sore itu selepas shalat maghrib, gelap mulai menyelimuti desa kami, Muara Dua. Anak-anak TPA masih juga belum beranjak pulang. Mereka menunggu pelajaran hafalan doa-doa malam itu. Di salah satu sudut masjid, terlihat seorang anak yang nampak gelisah. Matanya nanar melihat ke sana ke mari. Dengan malu-malu, dia bertanya kepada seorang teman kita,
“Ada baterai nggak ya?” Berkali-kali dia mencari benda itu. Baterai?? Ya.. Baterai yang dia maksud adalah senter.
“Nyong arep mulih ustadz, omahe nyong adoh. Nyong ora duwe senter.” (Saya mau pulang, ustadz. Rumah saya jauh. Saya tidak punya senter, ed)
Itulah sekelumit kisah malam itu. Dengan hati penasaran, sang ustadz mencoba menawarkan jasa.
“Mau ustadz antar pulang?”
Dengan wajah ceria dia menjawab, “Iya, ustadz.”
Reyhan nama anak itu, yang kemudian memanggil temannya,
“Danu, rika mulih ora? Ayo bareng nyong, diantar pak ustadz kiye.” (Danu, kamu mau pulang tidak? Ayo sama-sama saya, diantar pak ustadz ini, ed)
Danu, anak kelas 1 SD itu menjawab dengan gembira. Malam itu sang ustadz membonceng 2 santri TPA pulang. Ketika menyusuri jalan, barulah sang ustadz sadar bahwa anak-anak ini adalah anak-anak yang luar biasa.
Jalan yang mereka susuri bukanlah jalan aspal yang mulus atau jalan protokol yang terang benderang. Jalan desa yang mereka lewati penuh dengan lubang dan berbatu. Tidak jarang ketika air pasang, jalan itu bak kolam ikan yang tergenang air.
Tidak sampai di situ, jalan yang membentang di tengah rawa-rawa itu gelap gulita tanpa penerangan. Lengkap sudah. Reyhan, Danu, dan anak-anak lainnya yang sering meramaikan masjid adalah anak-anak yang tangguh. Mereka rela berjalan di tengah gelap gulita demi mencari secercah cahaya ilmu syar’i dari TPA yang mereka ikuti.
Di tepi jalan desa itu juga berdiri kokoh gereja bethel. Gereja kaum kuffar itu berdiri angkuh tidak lebih dari 500 meter dari masjid tempt Rehyan, Danu, dan teman-temannya belajar agama. Para misionaris tahu bahwa desa ini sejak dulu mengalami krisis air bersih. Air ada di mana-mana, bahkan rumah warga dikelilingi air, tapi semuanya kotor dan berwarna kecoklatan.
Karena itulah kaum misionaris membangun gereja lengkap dengan tandon air besar berkapasitas ribuan liter yang diletakkan persis di depan gereja. Tandon itu dilengkapi kran-kran air di bawahnya. Siapapun warga yang melintasi depan gereja bisa langsung mengambil airnya. Sungguh ide cerdas lagi licik dari para penyembah salib.
Tapi Allah memang Maha Perkasa. Dialah yang menguasai hati Reyhan, Danu, dan hati kita semua. Walaupun tiap hari mereka melewati depan gereja, tapi hati mereka tetap tertancap kokoh di masjid Allah subhanahu wata’ala.
Walaupun di depan gereja tersedia kran-kran air bersih yang cukup memikat mata, tapi subhanallah…, mereka lebih memilih berwudhu dengan air genangan di depan masjid yang mungkin lebih kotor daripada air untuk mencuci motor di rumah kita. Allahul Musta’an.
Semoga Allah ta’ala meridhai langkah mereka.