Nasehat Persaudaraan (Bagian-2)

 

Oleh Syaikh Muh. Nashiruddin al-Albani rahimahullah

 

Untuk itu, di sini saya akan membacakan sesuatu yang bisa membantu dari memoriku yang lemah ini beberapa dalil berupa ayat-ayat yang mulia yang bisa memberikan faedah kepada kita dalam tema kita kali ini yang harapannya insyaAllah mengantarkan kita untuk bisa bergandeng tangan dan membentuk satu barisan, tidak saling memutus hubungan di antara kita satu sama lain, namun justru saling menopang saudaranya dengan wejangan dan nasehat.

Kita semua telah mengetahui firman Allah ‘Azza wa Jalla:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

 “Sesungguhnya kaum mukminin itu bersaudara, maka damaikanlah kedua saudara kalian yang tengah bertikai dan bertakwalah kalian kepada Allah mudah-mudahan kalian mendapatkan rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 10)

 

Takwa dalam ayat ini adalah satu kata yang sifatnya umum, mencakup juga upaya untuk menjauhi hal-hal yang menyelisihi Allah ‘Azza wa Jalla ataupun Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Termasuk di dalamnya adalah mengikuti semua yang Allah dan nabi-Nya perintahkan berupa hidayah dan cahaya. Di antaranya adalah yang Allah katakan sebelum perintah takwa dalam ayat ini yaitu: “Maka damaikanlah kedua saudara kalian yang tengah bertikai.” Maka hendanya kita mengupayakan terbentuknya perdamaian di antara saudara-saudara kita.

Jika terjadi sebuah perpecahan, maka itu artinya ada sesuatu yang melahirkan perpecahan tersebut. Perpecahan di sini tidak melulu diartikan perbedaan akidah saja, bahkan termasuk juga menyelisihi hukum syariat yang dibawa oleh agama Islam yang mulia ini. Maka ayat ini, “Sesungguhnya kaum mukminin itu bersaudara, maka damaikanlah kedua saudara kalian yang tengah bertikai dan bertakwalah kalian kepada Allah, mudah-mudahan kalian mendapatkan rahmat.”

Menjelaskan bahwa kasih sayang yang kita semua harapkan dari Allah Tabaraka wa Ta`ala hanya bisa diraih dengan bertakwa kepada-Nya dan termasuk bagian dari takwa adalah mendamaikan orang-orang yang tengah berselisih.

 

Dalam al-Qur`an juga terdapat ayat yang berbunyi,

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

“Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai berai dan ingatlah kalian akan nikmat Allah untuk kalian ketika kalian saling bermusuhan kemudian Allah satukan hati-hati kalian hingga jadilah kalian dikarenakan nikmat-Nya itu saling bersaudara. Kalian di waktu itu telah berada di tepi jurang neraka, maka Aku selamatkan kalian darinya. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya untuk kalian, agar kalian mendapatkan hidayah.” (QS. Ali Imran: 103)

Tidak diragukan jika ayat ini ditujukan untuk para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung. Di sini Allah menujukan pembicaraan kepada mereka dalam firman-Nya, “Dan kalian di waktu itu telah berada di tepi jurang neraka, maka Aku selamatkan kalian darinya.” Dengan apa Allah menyelamatkan mereka ini? tidak diragukan lagi bahwa Allah menyelamatkan mereka dengan mengutus Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah mereka dengan membawa al-Qur’an serta penjelasan dari beliau.

 

Lihatlah, apakah yang telah kita perbuat terkait ayat ini? Alhamdulillah, kita telah berbuat sesuatu terkait firman Allah ‘Azza wa Jalla dalam ayat yang mulia ini yang tidak bisa dipandang sebelah mata, terkhusus kalimat yang terdapat di pertengahan ayat ini, “Dan ingatlah kalian akan nikmat Allah untuk kalian ketika kalian saling bermusuhan, kemudian Allah satukan hati-hati kalian hingga jadilah kalian dikarenakan nikmat-Nya itu saling bersaudara, dan kalian di waktu itu telah berada di tepi jurang neraka maka Aku selamatkan kalian darinya.”

Apakah yang bisa menyatukan hati-hati kita yang berada di sini dan yang berada jauh di sana? Yaitu mengimani bahwa kita harus merujuk kepada al-Qur’an dan sunnah dan selalu berhukum dengan keduanya setiap kali muncul dan mencuat yang melahirkan perselisihan dan perpecahan.

 

Sebagaimana yang Allah katakan dalam ayat yang telah kalian ketahui dengan baik,

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Jika kalian berselisih dalam suatu perkara, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian beriman kepada Allah dan hari kiamat. Hal itu akan lebih baik dan lebih bagus akibatnya.” (QS. An-Nisa: 59)

Ini merupakan nikmat dari Allah untuk kita dan Dia terus memberikan nikmat-Nya kepada kita dengan mengarahkan pembicaraan kepada kita secara keumuman lafadz nash, yaitu ketika Allah mengarahkan pembicaraan kepada para sahabat secara khusus dalam firman-Nya: “Dan ingatlah kalian akan nikmat Allah untuk kalian ketika kalian saling bermusuhan, kemudian Allah satukan hati-hati kalian hingga jadilah kalian dikarenakan nikmat-Nya itu saling bersaudara. Dan kalian di waktu itu telah berada di tepi jurang neraka, maka Aku selamatkan kalian darinya.”

Kita saat ini sebagaimana kebanyakan kaum muslimin hidup. Mereka itu kaum muslimin, namun banyak dari mereka jika tidak bisa dibilang mayoritasnya, pantas untuk masuk dalam ucapan Allah.

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ

“Tidaklah kebanyakan dari mereka itu beriman kepada Allah melainkan mereka itu juga berbuat syirik kepada-Nya.” (QS. Yusuf: 106)

 

Adapun kita, alhamdulillah Allah telah mengentaskan kita dari kesyirikan bahkan dari segala macam kesyirikan. Ini merupakan nikmat terbesar yang kita dapatkan, namun kita juga harus manjaga kesempurnaan nikmat Allah untuk kita ini dengan cara terus bersatu dan tidak berselisih sebagaimana perintah dalam permulaan ayat ini, “Berpegang teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai berai.”

Di antara hal yang bisa menguatkan atau di antara sebab untuk menjaga persatuan barisan dan kesatuan kita, meskipun di sana muncul hal-hal yang mengundang perselisihan adalah sebagaimana yang telah saya katakan sebelumnya yaitu saling menasehati dalam agama Allah. Namun nasehat ini juga harus selaras dengan yang Allah perintahkan dalam ayat di bawah ini,

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

 “Berdakwahlah kepada jalan Rabbmu dengan penuh hikmah dan wejangan yang baik dan debatlah mereka dengan cara yang paling bermartabat. Sesungguhnya Rabb mu dialah yang lebih tahu tentang siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih tahu siapa yang memperoleh hidayah-Nya.” (QS. An-Nahl: 125)

“Berdakwahlah kepaada jalan Rabbmu dengan penuh hikmah dan wejangan yang baik.” Kita selalu dan terus menerus membaca ayat ini dalam al-Qur`an, namun sayangnya kita justru sering keluar dari koridor ayat ini dan kita tidak menerapkannya dan juga tidak mengajak teman-teman duduk kita maupun saudara-saudara semanhaj salafi kepadanya, terlebih jika mengajak orang lain selain mereka.

 

Kita jarang sekali menempuh jalan dan metode yang Allah Tabaraka wa Ta`ala perintahkan ini, “Berdakwahlah kepada jalan Rabbmu dengan penuh hikmah dan wejangan yang baik dan debatlah mereka dengan cara yang paling bermartabat.”

Cara berdebat yang paling bermartabat adalah sebagaimana yang telah kami katakan tadi, yaitu adanya sikap lapang dada dari kedua belah pihak. Sikap lapang dada ini menuntut adanya dua hal dari kita, yaitu:

 

Yang pertama: masing-masing dari kita harus sadar bahwa wahyu itu tidaklah turun kepada kita dan yang ia miliki hanyalah hasil olah pikirnya, sehingga tidak menutup kemungkinan jika dia salah dan orang yang diajak berdebat itulah yang benar. Setiap individu jika berdiskusi, hendaknya menyadari kepastian ini, kita ini bukan orang-orang yang maksum meskipun kita adalah murid maupun guru.

Banyak realita yang selaras dengan yang dikatakan oleh para ulama, “Terkadang didapati dari yang lebih rendah sesuatu yang tidak didapati pada yang lebih utama.” Bisa jadi gurunya yang salah, sedangkan muridnya yang benar. Bisa jadi juga si murid salah, sedangkan yang benar adalah orang yang masih belum bisa baca tulis dan belum punya ilmu.

Kesadaran terhadap realita ini bisa menjadikan seorang itu lebih bersikap tenang dan lemah lembut kepada lawan diskusinya. Ini merupakan adab yang diambil dari al-Qur`anul Karim yaitu ketika Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan dalam kitab-Nya bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu sering mengajak bicara kaumnya yang masih musyrik.

 

Bandingkanlah antara kaum musyrikin dengan kesesatan yang mereka perbuat dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabat beliau dengan hidayah yang mereka miliki. Meski demikian Allah ‘Azza wa Jalla tetap mengajari mereka untuk menetapi adab yang luhur ini yang kita istilahkan dengan ‘sikap lapang dada dari kedua belah pihak/sikap toleransi.’

Allah mengatakan dalam al-Qur’anul Karim,

وَإِنَّا أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَى هُدًى أَوْ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ (24) قُلْ لَا تُسْأَلُونَ عَمَّا أَجْرَمْنَا وَلَا نُسْأَلُ عَمَّا تَعْمَلُونَ

“Sesunggguhnya kami ataupun kalian benar-benar dalam petunjuk atau mungkin dalam kesesatan yang nyata. Katakanlah: ‘Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang kami perbuat dan kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat.’” (QS. Saba: 24-25)

 

Ini merupakan puncak dari sikap saling berlapang dada ketika tengah berdiskusi, namun bukan berarti seorang muslim harus mengalah dalam perkara yang menyangkut akidahnya. Namun yang dimaksud, hendaknya sama-sama menyadari jika salah satu pihak ada yang salah dan pihak lainnya yang benar.

Lalu siapakah yang benar di sini? Tidak disebutkan, akan tetapi beliau setiap kali menyeru mereka untuk beriman dan mengatakan kepada mereka jika mereka mengingkari yang beliau bawa dari sisi Allah,

إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنْتُمْ لَهَا وَارِدُونَ

“Sesungguhnya kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah, adalah umpan Jahanam, kamu pasti masuk ke dalamnya.” (QS. Al-Anbiya: 98)

 

Yaitu di saat beliau tengah menjelaskan akidah beliau dengan fasih, di saat yang sama, mereka masih terus berada pada sikap menyelisihi beliau. Beliau juga mengatakan kepada mereka,

وَإِنَّا أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَى هُدًى أَوْ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

“Sesunggguhnya kami ataupun kalian benar-benar dalam petunjuk atau mungkin dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Saba: 24)

Ini adalah ucapan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ditujukan kepada kaum musyrikin, lalu bagaimanakah yang pantas ketika kita mengajak bicara orang dari kalangan kita sendiri? Tidak diragukan lagi jika dia suka, jika keduanya saling tawadhu dan saling berlapang dada dan tidak terbawa oleh emosi yang tak terkendali yang akan memunculkan sikap layaknya dia menyikapi seorang musuh.

 

Ini adalah ayat yang sangat penting yang wajib untuk selalu kita ingat, “Dan sesunggguhnya kami ataupun kalian benar-benar dalam petunjuk atau mungkin dalam kesesatan yang nyata. Katakanlah: ‘Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang kami perbuat dan kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat.’”

Di sana juga ada beberapa hadits shahih yang butuh untuk kita ingat-ingat dengan mengamalkannya dan bukan sekedar menghafal dan mempelajarinya. Di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَا تَقَاطَعُوا، وَلَا تَدَابَرُوا، وَلَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَحَاسَدُوا، وَكُونُوا إِخْوَانًا وَلاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ

“Janganlah kalian saling memutus hubungan, jangan saling membelakangi, jangan saling membenci, jangan saling hasad dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Tidak boleh bagi seorang muslim untuk memboikot saudaranya lebih dari tiga hari.”

“Tidak boleh bagi seorang muslim untuk memboikot saudaranya lebih dari tiga hari.”  Untuk apa dia memboikot saudaranya? Hanya karena kebencian dan hasad, bukan karena masalah syariat, bukan karena saudaranya itu bermaksiat kepada Allah dan rasul-Nya, namun yang paling parahnya adalah karena dia bermaksiat kepada Allah dan rasul-Nya karena kesalahpahamannya. Ini menurut saya, akan tetapi dia juga tidak terang-terangan dalam melakukan maksiatnya itu, dia juga tidak mengetahui jika yang ia lakukan ini adalah maksiat. Meski nyatanya dia itu tengah melakukan maksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla, tiba-tiba salah seorang dari kita langsung memutus hubungan dengannya.

 

Tidak diragukan lagi jika pemutusan hubungan di sini adalah hal yang disyariatkan, namun pemutusan hubungan hanya karena urusan beda olah pikir dan pemahaman, maka ini termasuk sikap membelakangi saudara yang terlarang. Sebagaimana disebutkan pada permulaan hadits, “Janganlah kalian saling memutus hubungan, jangan saling membelakangi, jangan saling membenci, jangan saling hasad……”

Perangai ini, yaitu saling hasad tersebar di tengah saudara-saudara kita salafiyyin. Terkadang pada sebagian daerah terjadi permusuhan, sebagai contohnya mereka mengatakan “Siapakah yang menyampaikan nasehat atau mengajar? Baker ataukah Umar? Tidak, aku lebih pantas….tidak si fulan lebih pantas…”

 

Lanjut Nasehat Bagian-3:

 

Nasehat Persaudaraan (Bagian 3-terakhir)

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.