Nasehat Persaudaraan (Bagian 3-terakhir)
Oleh Syaikh Muh. Nashiruddin al-Albani rahimahullah
Wahai hadirin sekalian, bertakwalah kepada Allah dalam perkara yang menyangkut diri kalian sendiri, jikalau ada di sana seorang yang memiliki sebuah pengetahuan dan ilmu, kemudian dia ingin untuk menyampaikanya kepada umat maka biarkan dia berbicara atau bahkan bantulah dia dalam hal itu. Jangan kalian menilai diri kalian sendiri dengan sok tinggi dan sombong terhadap orang tadi hanya karena menurut pandanganmu orang tadi level keilmuannya ada di bawahmu.
Kadang malah terbalik, awalnya yang muncul adalah perselisihan dan pertentangan, kemudian muncul hal-hal yang telah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam larang dalam hadits yang shahih ini, “Janganlah kalian saling memutus hubungan, jangan saling membelakangi, jangan saling membenci, dan jangan saling hasad. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara, tidak boleh bagi seorang muslim untuk memboikot saudaranya lebih dari tiga hari.” Setelah tiga hari, maka pemboikotan ini harus dihentikan dan diselesaikan.
Sebenarnya hadits ini merupakan bentuk kasih sayang Allah ‘Azza wa Jalla kepada hamba-hamba-Nya. Karena Allah tidak melarang pemboikotan secara total, kadang Dia membolehkannya untuk beberapa orang yang sedang sakit hati dengan harapan kemarahan, kebencian, dan hasadnya bisa sembuh dalam jangka waktu tiga hari itu. Dengan tiga hari ini, mungkin seorang insan bisa menundukkan emosinya.
Ia diperbolehkan untuk melakukannya, namun jika dia melampaui jangka waktu yang telah ditentukan, maka dia telah melakukan perkara yang haram, sebagaimana dalam hadits shahih yang akan kami sebutkan, bahwasanya jika dia melampaui boikot tiga hari sebagaimana yang diizinkan dalam syariat, maka dia berhak untuk masuk neraka.
Dalam hadits yang lain setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثٍ، يَلْتَقِيَانِ: فَيَصُدُّ هَذَا وَيَصُدُّ هَذَا، وَخَيْرُهُمَا الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلاَمِ
“Tidak halal bagi seorang muslim untuk memboikot saudaranya lebih dari tiga hari, ketika keduanya bertemu mereka akan saling memalingkan wajahnya dan yang terbaik di antara mereka adalah yang mau mengawali mengucapkan salam.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Yakni jika seorang muslim yang memboikot saudaranya tadi merasa berat dengan tiga hari yang dibolehkan, namun disisi lain dia juga tidak melupakan ancaman berat yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beritakan terkait hal ini yaitu tidak boleh meneruskan boikot setelah tiga hari. Jika berat bagi mereka untuk melepaskan diri dari ancaman berat tadi, maka dengan langkah membangun sikap saling mencintai antara dua orang yang sedang saling memboikot itu dalam jangka waktu tiga hari saja.
Cukup bagi keduanya untuk bersegera mengucapkan salam kepada saudaranya itu, karena salam itu akan mengantarkan kepada perbincangan. Sedangkan perbincangan itu akan mengantarkan kepada sikap saling mencintai dan saling mengunjungi dan yang semisalnya. Sebagaimana orang yang mengatakan bahwa sebelum hujan turun pasti ada gerimis, kemudian berangsur-angsur deras, maka tidak ada yang lebih ringan dari pada bersegera mengucapkan salam kepada saudaranya yang telah diboikot tiga hari itu, dengannya bebas sudah keduanya dari ancaman berat boikot melebihi tiga hari.
Dengarkanlah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini yang mana di dalamnya terdapat ancaman berat terhadap orang yang memboikot tanpa hak.
تُفْتَحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْإِثْنَيْنِ، وَيَوْمَ الْخَمِيسِ، فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لَا يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا،
“Pintu-pintu surga akan dibuka pada hari senin dan kamis, maka dosa setiap hamba akan diampuni jika mereka tidak berbuat syirik kepada Allah sedikitpun.” (HR. Muslim no. 2565)
Dari hadits ini kita mendapatkan kabar yang menggembirakan, karena kita selalu mengajak umat untuk bertauhid. Kitalah yang mengibarkan panji dakwah tauhid dan memberantas kesyirikan kepada Allah dengan berbagai macamnya, maka saya harap kita semua bisa masuk surga dengan segera tanpa hitung amal tanpa adzab.
Kita adalah orang-orang yang bertauhid dan tidak berbuat kesyirikan kepada Allah, namun tidak hanya itu. Dengarkanlah hadits ini dan cermatilah, kemudian berusahalah untuk mempraktekkannya dalam setiap langkah kehidupan kalian:
تُفْتَحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْإِثْنَيْنِ، وَيَوْمَ الْخَمِيسِ، فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لَا يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا، إِلَّا رَجُلًا كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ، فَيُقَالُ: أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا، أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا، أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا
“Pintu-pintu surga akan dibuka pada hari senin dan kamis, maka dosa setiap hamba akan diampuni jika mereka tidak berbuat syirik kepada Allah sedikitpun. Kecuali seorang yang memiliki permusuhan dengan saudaranya. Maka dikatakan: ‘Biarkanlah keduanya sampai berdamai. Biarkanlah keduanya sampai berdamai. Biarkanlah keduanya sampai berdamai.” (HR. Muslim no. 2565)
Yakni tunggulah keduanya dan jangan diberi ampunan hingga keduanya berdamai dan kembali menjalin persaudaraan dan kembali bercengkerama tatap muka seperti biasanya.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada hadits yang lain:
ثلاثة لا ترفع صلاتهم فوق رؤوسهم شيئأ. رجل أم قوما وهم له كارهون. وإمرأة باتت وزوجها عيها ساخط وأخوانمتصارمان. وأخوان متصارمان
“Tiga orang yang mana shalat mereka tidak akan terangkat dari kepala-kepala mereka sedikitpun: seorang yang mengimami suatu kaum dalam keadaan mereka tidak menyukainya, seorang wanita yang melewati malamnya dalam keadaan suaminya marah kepadanya dan juga dua orang yang berseteru.”
Yaitu dua orang yang saling memutus hubungan dan ‘membelakangi’. Demikianlah yang namanya saling memutus hubungan, saling memboikot, dan saling menjauhi tanpa adanya pembolehan dari syariat atau hanya karena perbedaan cara pandang, memiliki dampak buruk. Di antaranya adalah shalat mereka tidak akan terangkat kepada Allah dan tidak akan diterima oleh-Nya sebagaimana yang Allah katakan,
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
“Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shaleh dinaikkan-Nya.” (QS. Fathir: 10)
Maka shalatnya kedua orang yang sedang berseteru ini tidak akan terangkat kepada Allah dan tidak akan diterima oleh-Nya.
Kabanyakan pemicu terjadinya saling memutus hubungan dan perseteruan adalah apa yang terlintas di benak seorang insan berupa prasangka-prasangka dan terkaan-terkaan kepada saudaranya semuslim, maka hadits yang terakhir ini memperingatkan dan melarang kita untuk berprasanagka buruk kepada saudara kita. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الحَدِيثِ، وَلاَ تَحَسَّسُوا، وَلاَ تَجَسَّسُوا، وَلاَ تَحَاسَدُوا، وَلاَ تَدَابَرُوا، وَلاَ تَبَاغَضُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا
“Hati-hatilah kalian dari prasangka, karena prasangka itu adalah perkataan yang paling dusta. Jangan mengorek-orek berita, jangan mencari-cari kesalahan, jangan saling hasad, jangan saling membenci dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Al-Bukhari no. 6064)
Pada permulaan hadits, beliau melarang kita untuk berprasangka buruk kepada saudara kita semuslim kemudian menyebutkan alasan dilarangnya hal itu. Tak lain karena prasangka itu adalah perkataan terburuk, ini seperti engkau mengatakan tentang saudaramu ‘Fulan demikian dan demikian’. Padahal kamu tidak memiliki bukti dari Allah terkait apa yang kamu katakan itu, ini yang pertama. Kemudian tarulah kamu memiliki bukti dalam hal ini, lalu apakah bisa dibenarkan jika kamu berprasangka buruk kepadanya?
Tidak boleh bagimu untuk mengumpatnya, bahkan seharusnya kamu bersegera untuk menasehatinya –sebagaimana yang telah saya katakan pada permulaan nasehat ini- dan juga membimbing serta mengarahkannya kepada hal yang kamu pandang paling cocok dengan syariat. Seringnya yang memicu terjadinya buruk sangka kepada saudara semusllim adalah adalah karena dia melakukan hal-hal yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebutkan beriringan dengan larangan su`udzan ini yaitu “Jangan mengorek-orek berita, jangan mencari-cari kesalahan.”
Tajassus adalah mencari-cari kesalahan seorang musslim dari mulai kedipan matanya, isyarat hingga celaan kepadanya. Adapun tahassus maka sebagian ulama ada yang mengatakan maknanya sama dengan tajassus, namun sebenarnya keduanya memiliki makna yang berbeda. Karena pada beberapa kondisi, kita tidak bisa mengunakan kata tajassus ketika yang kita maukan adalah tahassus.
Di dalam al-Qur`an terdapat ucapan Nabi Ya`qub `alaihis salam kepada anak-anaknya:
اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ
“Pergilah dan carilah berita tentang Yusuf.” (QS. Yusuf: 87)
Dari sini bisa diketahui bahwa makna tahassus adalah mencari-cari berita tentang seorang dan berusaha mendengarkannya, maka tahassus dalam konteks kalimat ini memiliki makna yang lebih khusus dari pada tajassus.
Tahassus bisa berarti bagus dan bisa juga berarti buruk, adapun tajassus pasti berarti buruk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini melarang keduanya, beliau melarang untuk mencari-cari berita tentang seorang dan juga melarang mentajassus dia karena segala perbuatan itu sesuai dengan tujuannya. Oleh karena itu, jika tujuan dari tahassus itu adalah kebaikan, maka tidak mengapa.
Adapun tajassus tidak ada baiknya sama sekali, sehingga dari sini bisa diketahui bahwa seorang muslim tidak boleh men-tahassus saudaranya dan berusaha mengetahui berita tentang saudaranya, jika tujuannya adalah mencari-cari kesalahan dan aibnya serta melakukan sesuatu yang tidak dia ridhai. “Jangan mengorek-orek berita, jangan mencari-cari kesalahan.”
Mengapa seorang insan itu bisa hasad kepada saudaranya? Maaf-maaf saja, ini merupaka sifat yang hampir menjadi fitrah manusia, saya katakan hampir karena saya tidak yakin jika Allah memfitrahkan hasad untuk seorang kepada orang lain. Oleh karena itu, saya katakan hampir karena memang hampir setiap orang terkalahkan oleh sifat hasadnya.
Penyakit hasad adalah penyakit yang sangat kronis, penyakit ini banyak dijumpai di tengah orang-orang kaya baik kaya harta materi maupun kaya ilmu, orang yang kaya secara harta dihasadi oleh orang yang berharta juga dan orang yang kaya ilmu akan dihasadi oleh orang yang juga memilki ilmu. Kemudian penyakit ini menjadi pemicu timbulnya kebencian di antara orang-orang yang hasad itu.
Maka dari itu, Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demi menanamkan sebuah adab untuk umatnya “Jangan mengorek-orek berita, jangan mencari-cari kesalahan, jangan saling hasad, jangan saling membenci dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara sebagaimana yang telah Allah perintahkan kepada kalian.”
Yang beliau maksud adalah perkataan Allah Ta`ala:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Berpegang teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah dan jangan kalian bercerai-berai.” (QS. Ali Imran: 103)
Demikianlah nasehat dan wejangan ini saya sampaikan, kami memohon kepada Allah Tabaraka wa Ta`ala agar memberikan kepada kita kemanfaatan darinya dan agar mengaruniakan kepada kita persaudaraan yang bersih yang saya yakin bahwa kita sangat butuh untuk merealisasikan yang demikian ini secara bersama-sama.
Kita meminta kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar membantu kita dalam ketaatan kepada-Nya dan juga semua yang Ia perintahkan. Maha Suci Engkau ya Allah dan segala pujian untuk-Mu. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau. Aku meminta ampunan dan bertaubat hanya kepada-Mu.
Sumber: Silsilah al-Huda wa an-Nur terbit 4 (1/23).