Rihlah Nanggelan dalam Kenangan _bagian 1_

 

Oleh Tim Reportase Santri

 

Walaupun kisah ini sudah berlalu, ia akan teringat selalu, dan semoga dapat diambil darinya faedah dan ilmu. Walaupun cerita ini sudah tertinggal di belakang, ia tetap saja akan terkenang, sebagai pengalaman yang berharga memang.

 

Rapat Panitia Rihlah                            

Ahad, 23 Mei 2021 M, bertepatan dengan 11 Syawwal 1442 H.

Langit cerah sedikit berawan, udara siang turut memanas, siap memanggang apa pun yang berani tak berteduh dari panasnya. Kipas-kipas masjid Ali bin Abi Thalib berderu, berputar seakan tak dihiraukan, sejenak saja kipas itu tiba-tiba berhenti, semua kepala akan mendongak ke arahnya.

Di bagian belakang masjid itu, telah berkumpul beberapa santri, membentuk majlis rapat dalam keadaan masih dengan pakaian salat mereka. Baru saja salat rawatib zuhur mereka kerjakan.

Sesaat setelah menunggu kehadiran seluruh peserta, mulailah berbicara salah seorang dari mereka, yang rupanya dia adalah pemimpin acara perkumpulan ini. Rapat itu dimulai, wajah-wajah peserta tampak antusias dan penuh semangat. Pembahasannya berkutat seputar kegiatan yang tak lama lagi akan mereka lakukan. Dan inilah pertemuan pertamanya.

 

Asal-Usul Kegiatan Rihlah

“Mungkin antum semua telah mendengar kabar bahwasannya akan diadakan rihlah ke sebuah pantai.” Setelah memberikan prolog yang singkat namun padat, pemimpin rapat mulai menyampaikan tujuan.

 “Awal kali kenapa kok bisa ada rihlah ke pantai adalah, ketika itu beberapa panitia Liburan Sariyah sedang melakukan evaluasi pasca kegiatan bersama salah seorang ustadz..

Di akhir evaluasi, sang ustadz hendak menutup pertemuan, “Berarti semua kegiatan Liburan Sariyah sudah selesai ya?”

“Iya ustadz.” Panitia mengangguk.

“Berarti nggak ada kegiatan lagi setelah ini?”

“Iya ustadz, kecuali mungkin seminggu lagi akan ada nobar dokumenter liburan.”

“Berarti selesai ya?” Sang ustadz terus mengejar dengan pertanyaan senada, seolah ia menginginkan jawaban lain, sambil bergantian memandangi mata-mata panitia.

“Iya ustadz.” Panitia yang tidak paham maksud sang ustadz hanya menjawab sesuai dengan konteks pertanyaan.

“Lha terus rihlahnya gimana, nggak jadi rihlah ta?”

 

Rihlah yang Terwujud

Ternyata itu yang dari tadi diin ginkan oleh sang ustadz, rupanya beliau ingin memberikan kejutan dengan bahasa yang lain.

Walaupun sejak awal kegiatan Sariyah panitia telah dijanjikan rihlah, namun perbincangan dengan ustadz kali itu tetap menjadi kejutan. Karena biasanya, seperti ketika liburan semester ganjil kemarin, rencana kegiatan rihlah selalu saja gagal.

Namun untuk rihlah kali ini, setelah mendapat kepastian dari sang ustadz, panitia optimis akan dapat mewujudkannya.

 

Siapa yang tidak mau untuk rihlah, refreshing, dan tamasya. apalagi santri rata-ratanya belum sempat ‘melihat luar’ selama dua tahun pandemi ini. Tentu ini adalah kabar gembira!

Pemimpin rapat melanjutkan bicaranya, “Ustadz menyarankan untuk segera membuat panitia rihlah. Karena keberangkatan akan dilakukan pada hari Rabu besok.”

Dan inilah sebab berkumpulnya para santri di masjid bagian belakang ini. Para pejuang yang siap berkorban, demi kelancaran berjalannya acara ini. Merekalah panitia kegiatan yang rela dengan capek dan ribetnya untuk mengurus kegiatan rihlah ini, demi kebahagiaan dan kemaslahatan bersama.

Di saat yang lainnya sibuk dengan peralatan masing-masing, barang bawaan masing-masing, mereka malah sibuk memikirkan dan berbuat untuk keperluan acara ini. Capek, itu pasti, tapi biarlah, asalkan semuanya berjalan lancar. Pahlawan!

 

 “Yang namanya rihlah, berarti butuh adanya ta’awun dan tafahum.” Pembicara sekaligus pemimpin rapat itu melanjutkan.

“Di sana harus ada yang rela berkorban mengurus ini dan itu. Di sana pula harus ada yang berjuang dalam suatu hal supaya rihlah dapat berjalan dengan lancar.

Apalagi kita membawa cukup banyak orang. Yaitu kelas 3 dan kelas 4 takhasus.” Suara pemimpin rapat mungkin terdengar sedikit medok, karena ia berasal dari Banjarnegara, bahasa Indonesianya sedikit tercampur dengan logat ngapak.

“Maka, kami memilih antum sekalian untuk menjadi bagian dari panitia. InsyaAllah kelas 1 dan 2 juga ada rihlah ke depannya, sebagian merekalah yang nanti akan menjadi panitianya sebagaimana kita..”  Begitulah kata ketua asal Banjar itu.

 

Nanggelan Selayang Pandang

Nanggelan adalah nama sebuah desa di kota Jember bagian selatan. Hutan dan perkebunan masih kerap kita temui disana. Lingkungannya masih alami, indah, dan tak banyak dijamah oleh manusia. Jadi jangan heran kalau monyet-monyet liar masih banyak di sana.

Populasi penduduk juga tidak terlalu padat, sehingga flora dan fauna yang jarang kita lihat, akan sering kita dapati di Nanggelan; hidup bebas tanpa gangguan di alamnya.

Salah Satu Sudut Hutan Nanggelan

Banyak yang tidak mengira, kalau bumi Nanggelan menyimpan sejuta keindahan yang tak pernah ada di tempat-tempat lainnya. Hutan hijaunya, perbukitan yang gagah nan indah, serta pantainya yang bersaljukan pasir putih, ditambah gulungan-gulungan ombaknya, membuat ternganga setiap mata yang menikmati keindahannya. Maha Besar Allah, yang menciptakan dan memperindah ini semua.

Objek wisata yang akan kami kunjungi adalah pantai. Pantai itu terletak di antara tiga bukit yang lumayan tinggi nan terjal. Bukit-bukit itu terletak di timur pantai, utara dan baratnya. Sedangkan laut dan ombak bersisian dengan pantai di arah selatan. Pasirnya putih, walaupun tidak seputih yang kalian bayangkan. Mungkin sebutan pasir kuning lebih tepat daripada pasir putih.

 

Perjuangan Meraih Kesenangan

Untuk sampai di pantai, kami harus berjalan terlebih dahulu kurang lebih lima kilometer, menyusuri pemukiman, mendaki bukit terjal, dan membelah hutan. Karenanyalah tidak semua kendaraan bisa mengantarkan kita sampai ke bibir pantai.

Perjalanan kami akan semakin berat oleh peralatan-peralatan yang banyak, mulai dari terpal-terpal untuk membuat tenda, sampai bahan-bahan logistik yang jumlahnya tidak sedikit. Maklum, di sana kita tidak bisa makan kecuali apa yang kita bawa dari rumah.

Salah Satu Sudut Jalan Menuju Pantai

Bukit yang kami daki lumayan curam. Padahal tas di punggung saja sudah memperberat berdiri, ditambah barang-barang yang kami tenteng untuk keperluan bersama, membuat punggung semakin membungkuk. Kaki-kaki kami sebagiannya hanya beralaskan sandal jepit, yang tidak didesain untuk pendakian.

Tas-tas ransel kami juga seadanya, bukan seperti yang dipakai para pendaki gunung prefesional itu. Di sepanjang jalan, akar-akar pohon melintangi jalan, juga batu-batu besar. Berat susah dan capek, itulah yang kami rasakan selama perjalanan ini.

Namun semua kesulitan itu terbayarkan ketika pertama kali telinga kami mendengar deburan ombak yang menabrak karang. Setelah bukit berhasil kami lewati, bunyi keras deburan ombak mulai terdengar, membuat langkah yang tertatih, menjadi semangat kembali, tenaga yang hampir habis, pulih kembali. Memang, untuk sesuatu yang menyenangkan, terkadang perlu usaha keras untuk menggapainya.

 

Perjalanan belum usai, kami masih harus menelusuri pinggiran pantai sampai ke ujungnya untuk mendapatkan tempat yang dekat dengan mata air. Karena mata air inilah yang akan mencukupi kebutuhan air minum dan mandi selama di sana. Dan kami tidak sedikitpun membawa perbekalan air minum dari ma’had.

 

Pelajaran dalam Setiap Perjalanan

Dalam setiap perjalanan pasti ada sebuah pelajaran berharga darinya. Setiap perjalanan yang dilakukan bersama, pasti menyimpan sejuta makna persahabatan dan perkawanan sejati. Di mana ukhuwah dan persaudaraan akan terasah dan teruji padanya.

Siapa yang hanya mementingkan keperluan pribadinya saja, dan siapa yang peka dengan kondisi sekitarnya akan tampak. Karenanya, jika kamu ingin mengetahui karakter asli temanmu, maka ajaklah dia bersafar. Kamu akan tahu bagaimana dia yang sebenarnya.

 

Dalam rihlah kali ini, kami melibatkan seluruh anggota rihlah dalam kepengurusan. Ada yang bertugas membawa terpal-terpal, panci, wajan, kompor, bahkan ada juga yang bertugas membawa gas.

Sebagian yang lain bertugas untuk mendirikan tenda, mencari kayu bakar, membuat kamar ganti darurat, dan lain sebagainya. Semua dari kami mendapat tugas masing-masing, dan walhamdulillah, tugas-tugas ini terjalankan dengan baik dan penuh tanggung jawab.

 

Apakah kisah ini hanya sampai sini saja? Tentunya tidak. Tunggu kelanjutan kisah perjalanan dan petualangan kami selanjutnya, di artikel berikutnya. Wallahu a’lam.

 

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.