Pengalaman memberikan pelajaran

Oleh Umair Jember Takmili
Hari itu adalah hari ke-11 dari bulan Ramadan 1442 H. Di pagi yang cerah ditemani kicuan burung riang di alam sejuk nan indah. Alhamdulillah, hingga detik ini Allah Ta’ala masih mencurahkan berbagai nikmat dan karunia-Nya kepada hamba yang sangat lemah ini.
Rasanya ingin jemari ini menari bersama pena, menggoreskan tinta kenangan masa-masa perjalanan karantina di pondok Darul Ilmi kota Lumajang. Aku adalah santri yang berasal dari Jember, yang ingin menceritakan sekelumit tentang perjalananku saat karantina di pondok Darul ‘Ilmi daerah Bongkorang Genteng Sari Rt 06/12 Pulo Tempeh, Lumajang.
Baru satu minggu di rumah
Kurang lebih setelah satu minggu aku di rumah, aku berkeinginan kembali lagi ke pondok. Akhirnya aku mencoba menanyakan kepada pihak pondok tentang karantina yang kosong. Tepatnya pada hari Sabtu pagi, pihak pondok menghubungiku untuk memberitahukan bahwa, “Apabila antum sudah siap balik ke pondok, antum bisa ikut gabung dengan para santri yang mau ke pondok Lumajang.” Setelah itu aku tanyakan lagi kepada pihak pondok tesebut, “Afwan Ustadz, tempat karantina di Jember apa ada yang kosong?”
Kemudian setelah beberapa menit, pihak pondok menjawab pertanyaanku, “Kalau di Jember, karantinanya sedang ramai. Jika antum sudah siap balik ke pondok, antum karantina di pondok Lumajang saja. Sedangkan tempat karantina di pondok Jember, insyaAllah sepi ketika tanggal 23 Ramadhan. Kalau antum ingin hari rayanya tidak di karantina, antum bisa ikut rombongan santri baru yang mau berangkat ke Lumajang hari ini pukul 10.00 WIB.”
Akhirnya aku pun berangkat dari rumah bersama sepupu, karena ayahku sudah berangkat kerja pada pukul 07.00 WIB, sehingga beliau tidak bisa mengantarku untuk balik ke pondok. Namun ayahku sudah tahu kalau aku mau berangkat ke pondok, beliau juga menyampaikan sedikit nasihat untukku. Kemudian pada pukul 09.00 WIB aku berpamitan ke ibu, adik-adik, dan juga mbah yang kebetulan di rumah.
Keberangkatan menuju Pondok
Aku bersama rombongan santri Jember berangkat ke Pondok Lumajang, setibanya kami di pondok, kami langsung disambut oleh salah seorang ustadz atau pengurus di Pondok tersebut. Setelah itu kami ditentukan tempat karantina oleh beliau dan kami pun beristirahat sejenak. Setelah itu, kami melakukan salat dzuhur, lalu istirahat siang.
Ketika sampai di pondok Lumajang, awalnya saya belum tahu di mana tempat karantinanya, karena pada saat itu tidak ada tulisan nama saya di pengumuman. Kemudian saya bertanya kepada ustadz yang mengurus tempat karantina, “Afwan ustadz, ana menjalani orientasi di mana?” Setelah itu, beliau menunjukkan tempat di ruang pertama.
“Ana kira antum cuma ikut ngantarkan saja, ternyata antum juga mau , tafadhal antum masuk di asrama ini.” Lalu aku pun masuk ke tempat tersebut. Ternyata sudah ada dua teman yang sudah sampai terlebih dahulu.
Suasana selama orientasi
Akupun berbincang dengannya sejenak, baru setelah itu, kami melakukan shalat zuhur sendiri-sendiri. Ketika aku sudah berada di tempat karantina, ada dua ustadz yang sedang mendata nama-nama anak yang sedang di karantina terutama di ruang pertama. Salah satu dari dua ustadz tersebut belum sempat menanyakan nama ana, ternyata beliau sudah tahu terlebih dahulu nama serta asalku. Maka saya pun heran, “Ustadz siapa itu ya? Ko sudah tahu nama dan kotaku?” Batinku.
Di pagi harinya setelah shalat shubuh, seluruh santri yang sedang karantina diminta untuk berkumpul di depan asrama guna mendengarkan pengarahan untuk santri karantina bersama salah satu ustadz pengurus pondok tersebut.
Tak lama kemudian, saya pun ingat ustadz tersebut. Ternyata beliau adalah yang mengajari saya pelajaran hadits di kelas serta menjadi musyrif di sana. Aku pun tahu nama beliau, sebelum itu aku tidak mengenal beliau karena beliau mengenakan masker.
Kedatangan para ustadz dari Jember
Setelah beberapa hari di karantina, datanglah para ustadz dari Jember untuk rapat di pondok Lumajang. Maka kami pun kumpul di lapangan pondok untuk mendengarkan sedikit nasihat dari salah satu ustadz serta tim dokter. Mereka berpesan agar senantiasa bersabar dalam menjalani karantina, karena ini merupakan anjuran dari pemerintah. Mereka pun berpesan agar selalu menjaga kebersihan dan kesehatan, yaitu dengan menerapkan PHBS (Pola Hidup Bersih dan Sehat).
Kita pun diingatkan untuk selalu menggunakan masker jika keluar dari asrama serta mengenakan sarung dan kopiah sebagai atribut santri. Demikianlah awal-awal menjalani masa orientasi. Namun kami terus berusaha untuk menggunakannya.
Kemudahan di masa karantina
Sebelumnya saya mengira bahwa selama orientasi tidak boleh keluar sama sekali selama 14 hari. Ternyata ada juga waktu untuk keluar dan bermain. Namun tetap menjaga protokol kesehatan dengan mengenakan masker dan menjaga jarak dengan para santri yang telah steril.
Selama orientasi pun aku mendapat beberapa teman baru yang sebelumnya belum aku kenal. Dengan berjalannya waktu aku mulai mengenal mereka satu persatu. Selama kami berada di karantina, kami diingatkan dengan PHBS oleh para dokter, sebagaimana yang telah kuceritakan di atas. Alhamdulillah kami berusaha menerapkan itu semua, mulai dari bersih-bersih ruangan, menyapunya dan membersihkan kolam gurameh yang berada di depan asrama.
Ujian itu membuat kami tegar
Demikianlah kondisi kami ketika menjalani masa orientasi. Kita hanya butuh untuk sabar sejenak dan berdoa kepada Allah Ta’ala.
Selama itu, makan malam serta makan sahur kita, semuanya diantar oleh santri lama. Ya, mereka bertugas mengantarkan makanan untuk kami. Dengan hawa yang masih dingin, mereka rela bangun untuk membagi nasi tersebut agar kami bisa makan sahur.
Penutup
Hingga sekarang, tak terasa ternyata kami sudah berada di akhir. Suka dan duka kami lewati bersama selama dua minggu. Kami hanya bisa membalas dengan doa, jazakumullahu khairan kepada semua pihak yang sudah membimbing dan menjaga kami. Semoga dicatat di sisi Allah Ta’ala sebagai amal kebaikan ketika di dunia dan juga sebab dimasukannya kita semua ke dalam surga-Nya. Amin