Rihlah Nanggelan dalam Kenangan _bagian 6_

 

Oleh Tim Reportase Santri

 

Siang ini, air laut sudah surut, tidak seperti tadi pagi. Suara debur ombaknya terdengar merdu dari tenda. Mengeloni kami yang sedang tidur pulas karena kecapean. Walaupun di luar sana matahari bersinar terik, tapi kami yang di dalam tenda tetap bisa bermimpi dengan nyaman. Dedaunan rimbun di atas sana, juga terpal tipis yang menjadi atap tenda, cukup menaungi kami dari sengatan matahari.

Serasa baru beberapa saat kami terlelap, tiba-tiba sudah ada yang membangunkan. “Yo bangun, bangun. Sudah jam tiga.” Berat sekali pelupuk mata ini membuka. Badan juga enggan untuk bangkit. Seluruh persendian terasa pegal. Baru sekarang terasa lemasnya, setelah aktivitas melelahkan sejak kemarin hingga pagi tadi.

 

Tapi ya gimana lagi. Sesuai kesepakatan, pukul tiga siang kami akan persiapan untuk kembali ke ma’had. Sebenarnya kami masih ingin tinggal di sini sampai besok. Tapi upaya negosiasi yang kami lakukan dengan para pembimbing gagal. Karena, mobil yang akan menjemput sudah terlanjur terikat perjanjian, untuk menjemput sore ini. Padahal dari sisi kesiapan logistik dan stamina, kami masih bisa bertahan sampai besok.

 

Persiapan Pulang

Kami segera membongkar tenda, melepas tali temali, mengumpulkan peralatan dan bawaan, membakar sampah, dan bersiap untuk berangkat pulang. Barang-barang besar kembali dipasangkan bambu dan tali, agar yang mengangkatnya bisa dua orang. Sebagian terpal masuk ke dalam karung, dan peralatan olahraga masuk ke dalam kantong sampah besar.

Cara Kami Mengangkat Barang-Barang Besar dan Berat

Sampai akhirnya semua proses selesai. Kami juga telah mengisi botol-botol kami di mata air, untuk persediaan minum selama perjalanan pulang. Tas-tas telah kami naikkan ke punggung. Barang pribadi tentu telah berkurang, karena yang berupa makanan telah kami habiskan. Hanya saja, bagi yang belum sempat menjemur pakaian basahnya, itu menambah beban tersendiri di tasnya.

Sebelum pulang, panitia membacakan absen. Lengkap, langsung berangkat. Masing-masing kelompok telah mendapat tugas untuk membawa barang-barang umum.

 

Senja di Kampung Nanggelan

Terus kami berjalan menyusuri pantai. Menyisakan jejak kaki di pasir, yang terkadang jejak itu terhapus oleh ombak yang datang. Sesampainya di bukit, kami lekas mendaki. Posisi matahari berada di balik sana, tertutup bukit. Sehingga di sini, suasananya sudah agak gelap. Hewan-hewan malam sudah mulai bangun. Hening, hanya suara derap langkah yang terdengar. Terkadang, beberapa burung menyahut, melepas kepergian kami ke ma’had.

Perjalanan Pulang Menyisiri Pantai

Di kaki bukit, kami sudah dapat melihat matahari. Rona teja terlihat di ufuk sebelah sana. Sebentar lagi mentari akan terbenam. Kami masih harus berjalan terus melewati hutan jati dan perkampungan penduduk, untuk sampai di tempat mobil kami terparkir.

 

Penduduk di sini mereka menempati rumah dinas dari PTPN. Yang kebanyakannya hanya berdindingkan tepas dan beratapkan genting tanah liat. Walaupun demikian, sepertinya hampir setiap rumah memiliki sepeda motor, dan jangan lupakan televisi. Ya, mungkin hanya itu saja hiburan mereka di tempat terpencil seperti ini, Allahul Musta’an.

Sesekali kami harus menyapa penduduk yang sedang duduk di teras rumahnya. Beberapanya sudah lanjut usia namun sepertinya masih kuat pergi berkebun. Terlihat dari tubuhnya yang masih bugar.

Terkadang pula kami harus menjaga jarak menghindari warga yang melintas di jalan kami. Sebagai upaya menghindari penularan virus Covid-19.

Suasana Bukit Ketika Perjalanan Pulang

Transfusi Solar

Waktu sudah mendekati magrib ketika kami sampai di parkiran mobil. Kami segera istirahat sejenak, mengisi tenaga dan membasahi kerongkongan dengan air putih. Sementara para sopir sibuk menyiapkan mobil mereka. Mesin-mesin dipanasi, sejenak kemudian semua mobil berkumpul di titik pemberangkatan.

Berbeda halnya dengan L-300 dan trooper. Ketika mobil lain telah menghidupkan mesinnya, justru trooper masih sibuk men-‘transfusi’kan setengah liter solarnya ke L-300.

Sebelum berangkat kemarin, sebenarnya L-300 telah diisi solar. Namun sopir yang membawanya ke pom bensin tidak mengira bahwa perjalanan ke Nanggelan akan sangat panjang. Dia mengisinya hanya senilai 50.000 rupiah. Kini solarnya hanya tersisa segaris seperti yang nampak di indikatornya. Trooper sendiri juga sedang problem di filter solar dan dinamo ampere-nya.

Matahari Senja dari Kaki Bukit Nanggelan

Selanjutnya kami berkumpul di sebuah tanah lapang untuk pengabsenan sebelum keberangkatan. Setelah semuanya siap, waktunya berangkat. Trooper yang sedang bermasalah akan diderek oleh L-300 yang solarnya tinggal segaris lebih sedikit. Sementara mobil-mobil lain akan mengikuti di belakang.

 

Takut Kehabisan BBM

Iring-iringan mobil peserta rihlah sudah bertolak pulang ketika langit mulai gelap. Jalanan bergelombang JLS harus mereka lewati di tengah perkebunan karet.

Dua mobil yang saling bergandengan memimpin di depan. Ini adalah pengalaman pertama bagi sopir L-300, ketika harus menderek mobil di belakangnya. Dari tadi ia selalu cemas. Selain karena sulitnya mengendalikan mobil di medan seperti ini, ia juga mencemaskan bahan bakar mobilnya.

 

Sebelumnya ia dapat memastikan bahan bahan bakarnya akan cukup untuk sampai ke ma’had. Tapi karena sekarang mobilnya harus menderek mobil trooper, ia jadi ragu. Karena, otomatis beban mobil akan semakin berat, sehingga memerlukan torsi dan pembakaran yang lebih besar.

Walaupun sopir satu ini terkenal bisa mengirit pengeluaran bahan bakar, ia tetap was-was kehabisan bahan bakar. Kecepatan mobil berusaha ia stabilkan. Karena itu, akhirnya jalanan bergelombang ia terobos. Sambil terus mengawasi indikator BBM di depannya.

“Akh, pinjam senternya.” Kata sang sopir kepada teman di sebelahnya. Di tengah kegelapan hutan seperti ini, ia butuh senter untuk bisa melihat indikator BBM yang lampunya telah mati.

Selesai melihat indikator, ia mengembalikan senternya. Namun beberapa menit kemudian, ia kembali meminjamnya, “Akh, pinjam senternya lagi akh.” Ia selalu was-was akan kehabisan BBM.

Nanggelan dalam Kenangan

Setiap melewati jalan cekungan yang menyebabkannya harus menambah gas, ia selalu melihat indikator BBM, “Akh, pinjam senternya lagi akh.” Padahal sepertinya jarum indikatornya tidak bergeser sedikit pun.

Begitu pula setiap melewati tanjakan, atau ketika terjadi kontraksi spontan pada tali penyambung dengan mobil di belakangnya. Ia selalu mengecek indikator BBM. Pokoknya, setiap menaikkan gas sedikit, ia merasa harus mengecek indikator BBM.

“Akh, kayaknya dua menit sekali antum ngecek indikatornya. Nih, sekalian antum bawa aja senternya.” Kata teman yang dipinjam senternya. Begini terus, sampai nanti akhirnya kami mendapatkan pom bensin dan mengisi BBM.

Dengan kecepatan yang stabil, harapannya ia bisa menekan pedal gas dalam porsi yang sama secara konstan. Sehingga pembakaran tetap stabil, dan tidak mengeluarkan banyak bahan bakar.

 

Kontraksi Spontan

Selain itu, dengan kecepatan yang stabil, ketegangan tali pengait dengan mobil di belakang juga bisa terjaga. Sehingga tidak terjadi kontraksi spontan ketika tali mengendur kemudian tiba-tiba tertarik kencang. Jika hal itu terjadi, maka rasanya akan seperti pengereman mendadak yang memberikan ketidak nyamanan pada penumpang.

Sebelumnya, ketika terjadi kontraksi spontan pada tali pengait, kami mengira bahwa itu karena mobil trooper menekan rem. Rasanya seperti mobil L-300 ini tertarik, atau tertahan dari belakang. Sopir L-300 berkali-kali geram, karena jika terjadi yang seperti itu, berarti dia harus menekan gas lebih dalam untuk mulai berjalan lagi. Yang berarti akan lebih banyak memakan konsumsi bahan bakar. “Ya Allah, sopir trooper… Jangan ngerem..!!” Katanya geram, sambil berbicara sendiri. Ia khawatir bahan bakar mobilnya semakin berkurang.

 

Setelah beberapa kali terulang, sopir L-300 akhirnya memutuskan berhenti dan turun. Untuk menyampaikan pada sopir trooper di belakang agar tidak menekan rem. “Ana gak pernah ngerem kecuali ketika turunan.” Kata sopir trooper. Akhirnya sopir L-300 kembali ke mobil melanjutkan perjalanan. Barulah setelah itu kami tahu bahwa kontraksi itu terjadi karena perbedaan kecepatan seperti yang telah disebutkan di atas.

Setelah itu, akhirnya sopir L-300 lebih berusaha menjaga kecepatan agar tetap stabil. Bahkan tikungan pun ia terobos tanpa mengurangi kecepatan. “Poh..!! MasyaAllah mas.. Ngeri..!” Ujar salah satu penumpang L-300, ketika mobil menikung ke kiri dengan tajam dalam kecepatan tinggi. Jantungnya hampir copot. Alhamdulillah mobilnya tidak mengguling, dan trooper bisa mengikuti di belakang.

 

Perjalanan Menegangkan

Para penumpang di mobil lain dapat beristirahat dengan tenang setelah lelah dua hari rihlah. Tapi berbeda dengan kami yang di mobil L-300 dan trooper. Mata kami selalu siaga, jantung kami berdebar dan tegang ketika merasakan kondisi seperti ini.

“Ya Allah.. Mugo-mugo troopere ra nabrak..” Doa salah seorang santri yang menaiki L-300.

“Benar-benar mencekam.. Rasanya jantungnya seperti tertarik ke depan..” Tutur santri asal Banyuwangi saat mobil troopernya mendaki jalan menanjak dan terjadi kontaksi spontan pada tali.

“Itu santri asal Banyuwangi selalu berzikir dari tadi..” Kata sopir dengan tertawa.

“Astagfirullah.. Allahu akbar.. Astagfirullah.. Allahu akbar..” Bunyi zikir yang dipanjatkan oleh santri tersebut.

Nanggelan dalam Kenangan

Selama perjalanan, para penumpang trooper lebih tidak mendapatkan ketenangan. Mereka merasa takut dan khawatir jika mobil yang ditumpanginya sewaktu-waktu menabrak L-300. Hanya santri asal Umbul Sari yang tetap enjoy dan tenang.

Tanpa disuruh, ia rela menjadi pengganti lampu riting mobil tropper yang mesinnya mati. Setiap kali mobil hendak berbelok, ia melambai-lambaikan tangannya yang memegang senter berukuran kecil.

Perjalanan ini memang betul-betul menegangkan. Untuk berbelok saja, supir L-300 tidak bisa serta merta menikung. Ia harus memikirkan mobil di belakangnya. Kalau tidak, mereka akan menabrak. “Sekarang ini, ana membayangkan mobil ana seperti bis, panjang.” Kata sopir L-300, ia paham situasinya.

Lepas kendali

Di tengah perjalan dengan kecepatan tinggi, sopir L-300 harus mendahului sebuah truk yang sedang berhenti di depan sana. Di atas truk, beberapa pekerja nampak sedang membongkar muatan. Ketika jarak sudah dekat, sang sopir segera membelokkan mobilnya ke kanan. Mobil tetap melaju kencang, karena sopirnya selalu berkomitmen untuk menjaga kecepatan agar tetap stabil, ia tidak mengurangi laju mobil.

 

Baru beberapa saat berbelok ke kanan mendahului truk yang sedang berhenti itu, ternyata dari arah depan juga ada mobil yang menghadang. Sopir L-300 segera membanting setir ke kiri, kembali ke jalurnya. Tiba-tiba, “Jebbrettt..” Tidak dapat terelakkan lagi.

Para pekerja di atas truk terperanjat. Mata mereka melotot ke bawah melihat apa yang terjadi, mereka berhenti membawa barang yang hendak diturunkan dari truk. Mobil trooper di belakang memang berhasil melewati truk. Tapi karena mobil di depannya mendadak banting setir ke kiri setelah menyalip ke arah kanan, ia tidak bisa mengantisipasi.

Terjadi kontraksi spontan yang sangat keras pada tali pengait. Ikatannya tidak mampu menahan beban, dan akhirnya tali terlepas. Bumper depan mobil trooper peyok seperti hampir terlepas.

Iring-iringan mobil kami segera menepi. Di tempat yang aman, sebagian ustadz dan sopir turun dari mobil, menyambungkan kembali tali yang lepas. Posisi pengaitnya di pindah, L-300 dipindah ke sebelah kiri bumper belakang. Sementara di bumper depan trooper, pengaitnya di pindah ke sebelah kanannya. Setelah selesai, perjalanan kembali lanjut.

 

“Pelan-pelaaaann..!” Teriak santri asal Jogja yang menaiki mobil trooper, ia mengeluarkan badannya sambil melambai-lambaikan tangan memberitahu sopir L-300.

“Mas.. disuruh pelan-pelan katanya..” Para penumpang  L-300 yang mendengar teriakan itu mencoba menyampaikannya ke sopir. Sejak saat itu, akhirnya sopir L-300 mulai mengurangi kecepatan.

“Pelannya sopir L-300 itu masih kencang juga..” Tutur sopir trooper.

 

Kemacetan di Mulut Gang Ma’had

Alhamdulillah, kini mobil telah sampai di mulut gang ma’had. Mobil L-300 hendak masuk langsung ke dalam gang tanpa mengurangi kecepatan, untuk mencaga ketegangan tali pengait dengan mobil di belakangnya. Apa daya, ketika mobil benar-benar hendak berbelok kiri masuk ke gang, tiba-tiba dari dalam gang ada seorang pengendara yang hendak keluar ke arah jalan besar.

Cciiitt… Hampir saja mobil mengerem mendadak. Mobil trooper di belakangnya juga berhenti, hanya saja pengereman mereka sedikit terlambat, tidak bersamaan dengan L-300. Hal itu menyebabkan tali pengaitnya mengendor, terjulur di aspal, dan akhirnya terinjak oleh ban trooper.

 

Setelah pengendara dari dalam gang keluar, mobil L-300 hendak memajukan mobilnya. Tapi tidak bisa, karena tali mobilnya tertahan di ban trooper. Kedua mobil pun terjebak di sana. Kemacetan terjadi, truk-truk di belakang keduanya tak bisa melintas, “Tooottt.. Ttoott.. Tiin..” Suara klakson bersahutan.

Melihat hal itu, salah seorang ustadz yang naik mobil Innova turun. Beliau memandu sopir trooper untuk sedikit memundurkan mobilnya, supaya tali bisa terbebas dan tidak terinjak oleh roda mobil. Truk-truk yang berada di belakangnya langsung membanting setir ke kanan, mereka mengambil jalur lawan arah mendahului mobil-mobil yang sedang berhenti.

 

Alhamdulillah, akhirnya tali bisa terbebas dari ban trooper. Mobil L-300 dapat kembali menarik trooper di belakangnya. Ia pun masuk ke gang dengan penuh kehati-hatian, mengambil haluan terjauh sampai hampir menabrak dinding, agar trooper dapat mengikutinya. Pada akhirnya, semua mobil beserta penumpangnya dapat kembali ke ma’had dengan selamat.

 

Kesan Perjalanan Pulang

“Mantap mas.. Kami kena asapnya L-300 terus..” Ujar salah satu penumpang trooper, kepada sopir L-300 ketika telah sampai.

“Iyo mas.. Mesakke seng numpak mobil Trooper yo, kenek asep terus. Uuiiireng meneh asepe…” Penumpang L-300 juga berkata kepada sopirnya.

“Ya.. Afwan, mau gimana lagi..” Tutur sopir asal Jogja itu prihatin.

Alhamdulillah ana nggak naik Troper.. Bisa mati nanti ana..” Ada lagi penumpang L-300 yang berkomentar.

 

Nanggelan dalam Kenangan

Akhir Kata

Demikianlah akhir dari kisah rihlah penuh warna ini. Betul-betul SAFANA, Safar Penuh Warna. Tentu, apa yang telah kami tuliskan dari awal hingga akhirnya hanyalah gambaran kecil, tentang rihlah kali ini. Tentu, di sana masih banyak lagi warna-warna lain darinya, yang tak mungkin semuanya dituangkan.

Banyak sekali pelajaran yang dapat kami ambil dari rihlah ini. Mulai dari pelajaran tentang ta’awun, mendahulukan orang yang membutuhkan, kerja keras, kesabaran, bersyukur, gotong royong, kerja tim, mengalah, menundukkan ego, dan pelajaran-pelajaran berharga lainnya. Di samping, rihlah ini juga jadi pembelajaran bagi panitia, tentang menjalankan sebuah kegiatan, mengaturnya agar dapat berjalan lancar, dan sebagainya.

Semoga rihlah ini dapat melejitkan kembali semangat kami, di kancah thalabul ilmi ini. Semoga kita semua masuk dalam hamba-hamba Allah yang pandai bersyukur, dan kuat bersabar, hingga akhirnya kita semua bertemu di surga nanti, amin.

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.