Perjuangan dalam mencari sebab kemuliaan

 

Oleh Fikri Probolinggo Takmili

 

Sore ini kumulai menggoreskan tinta di atas kertas berwarna putih bertepatan hari sabtu 12 Ramadhan 1442 H jam 16:00 WIB. Di tengah hangatnya nuansa tholabul ‘ilmi, secuil cerita yang pernah kualami ketika karantina di Mahad Darul Ilmi Lumajang.

Ana berasal dari Mahad al-I’tishom bis Sunnah Probolinggo, tak terasa sudah 4 tahun ana belajar di sana. Kemudian hatiku berkeinginan untuk mondok di salah satu pondok di luar daerah dengan tujuan mencari pengalaman dan wawasan ilmu agama, keinginan itu mengarah kepada Mahad Minhajul Atsar Jember.

 

Pendaftaran santri baru

Kemudian dengan yakin, ana daftar ke pondok tersebut. Pertama kali ana daftar pada tahun 2020, qaddarullah Allah Ta’ala mengujiku untuk bersabar dengan adanya penyakit Covid-19 yang sedang melanda seluruh penjuru dunia. Dengan adanya wabah tersebut, pihak Mahad Jember sementara waktu tidak menerima pendaftaran santri baru kala itu. Dengan harapan memutus rantai penyebaran wabah covid-19, mau tidak mau ana harus tetap belajar di Mahad al-I’tishom Probolinggo.

Setelah satu tahun lamanya, alhamdulillah pada tahun 2021 bulan Sya’ban, pihak Mahad Jember membuka kembali pendaftaran. Akupun memberitahu kepada orang tua, alhamdulillah orang tua mengizinkan serta mendukung untuk daftar di pondok Jember. Dengan senang hati, akupun menulis formulir pendaftaran. Tak lama hari lagi, pengumuman penerimaan santri baru akan diumumkan pada tanggal 5 Maret 2021.

 

Harapan yang kuimpikan

Ketika ana duduk di kursi dengan memegang HP, tujuan untuk mengetahui hasil pengumuman penerimaan santri. Tiba-tiba HP berbunyi menandakan ada sms, dengan semangatnya serta harapan yang tinggi ana langsung membukanya. Alhamdulillah ana diterima sebagai santri Jember, kemudian dari pihak pondok memintaku untuk datang tanggal 5 Ramadhan 1442 H ke Mahad Darul Ilmi Lumajang menjalani masa orientasi.

 

4 nasehat yang berharga

Sebelum datang ke Lumajang, bertepatan malam Sabtu, 4 Ramadhan 1442 H. Aku dipanggil oleh dua ustadz hafizhahumallah, mereka memberikan nasehat atau arahan serta bekal kepadaku ketika mau pindah pondok, nasehat itu mengerucu kepada 4 permasalahan:

  1. Ikhlas karena Allah, bukan karena selain-Nya. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

“Sesungguhnya amalan itu tergantung dari niatnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1)

  1. Semangat dalam belajar, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَعْجَزْ

“Bersemangatlah kepada apa yang bermanfaat bagimu, mintalah tolong kepada Allah, dan janganlah lemah.” (HR. Muslim no. 2664)

  1. Antum jaga akhlaknya, sebagaimana perkataan ulama salaf:

ليس العلم بكثرة الرواية إنما العلم بالخشية

“Ilmu itu bukan banyak menghafal riwayat, akan tetapi ilmu itu yang menghasilkan rasa takut.”

Yakni yang menghasilkan rasa takut kepada Allah Ta’ala, membuahkan amalan, dan berpengaruh kepada sifat, akhlak, dan tindak tanduknya.

  1. Antum harus berterima kasih serta bersyukur kepada asatidzah yang telah mengajari antum. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لا يشكر الله من لا يشكر الناس

“Tidak bersyukur kepada Allah, barang siapa yang tidak bersyukur kepada manusia.”

 

Kesan awal keberangkatan

Setelah ana dinasehati oleh ustadz, ana mengucapkan jazaakallahu khairan. Kemudian esok harinya, ana berangkat dan keluargapun ikut mengantar. Perjalanan sekitar 1,5 jam dari Probolinggo ke Lumajang. Sesampai di depan gang, kami kebingungan. Kemudian sopir kami bertanya ke warga, kata warga gang ini memang benar menuju pondok Darul Ilmi. Anapun kaget sambil menengok kanan kiri, “Loh, pondok Darul Ilmi kok plosok atau di tengah hutan. Mungkin agar tidak bisa kabur, kalau kabur nanti tak tau arah pulangnya.” sambil ketawa.

Ketika ana sampai gerbang Mahad Darul Ilmi, ana di sambut oleh salah satu ustadz Lumajang. Kemudian abi berbincang-bincang dengan ustadz dan tak sengaja, aku mendengar sebagian ucapan ustadz tersebut, kata beliau: “Di sini ular sudah biasa, soalnya pondok ini dikelilingi hutan. Bahkan tadinya mahad ini juga hutan.” Ketika itu, ana kaget mendengarnya. Kekhawatiran demi kekhawatiran yang kurasakan, akan tetapi kutepis semua kekhawatiran itu demi ilmu dan teringat potret ulama salaf terdahulu.

 

Perjuangan ulama salaf

Dahulu para ulama salaf ketika ingin mendapatkan 1 hadits sangat susah, mereka membutuhkan rihlah berjalan kaki berkilo-kilo meter. Bahkan ada seorang ulama ketika perjalanan menuntut ilmu kehabisan bekal, lapar dan haus selalu mereka rasakan. Ada pula yang minum air kencingnya sendiri, karena kehausan.

Ada juga yang ketika perjalanan menuntut ilmu, mengalami kencing darah karena berjalan di atas padang pasir yang panas tanpa alas kaki. Coba kita bandingkan dengan kita sendiri, sungguh dan sungguh amat jauh rintangan tholabul ilmi yang kita rasakan dengan ulama tadi, sedangkan fasilitas yang kita dapati sangat memadai.

 

Pamitan untuk melanjutkan perjalanan

Kemudian ustadz meminta ana masuk ruangan untuk istirahat. Ketika mau masuk ruangan, ana pamitan ke orang tua. Orang tua pun berkata: “Nanti di pondok, doain Abi dan Umi. Semoga sehat selalu. Di rumah, Abi dan Umi selalu doain kamu le. Semoga kamu mendapatkan ilmu yang bermanfaat, yang nantinya bisa bermanfaat kepada dirimu sendiri dan bermanfaat kepada abi dan umi. Bahkan bermanfaat kepada masyarakat.” Anapun menjawab: “Amin.”

Tak lupa aku akhiri tulisan ini dengan ucapan “jazakumullahu khairan” untuk kedua orang tua yang selalu mencurahkan pengorbanan kepadaku. Begitu juga untuk orang-orang yang berjasa bagi pendidikan dan kehidupanku, yaitu asatidzah yang senantiasa mengajari ilmu agama kepadaku.

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.