Tim Maktabah mulai berbenah

pendaftaran santri

 

Oleh Muhammad Sijnul Mubarak 2A Takhasus

 

Diantara program Tim Maktabah adalah menyajikan beberapa fatwa para ulama agar bisa dibaca oleh kaum muslimin. Semoga dengan program ini bisa memberikan manfaat secara lebih luas. Fatwa yang bisa ditampilkan pada edisi kali ini adalah,

 

Siapakah yang paling berhak menjadi imam salat jenazah? Apakah imam masjid atau wali dari jenazah?

Dijawab oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah:

“Jika jenazah tesebut disalati di dalam masjid, maka orang yang paling berhak adalah imam masjid. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,

لا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ في سُلطانه

“Tidak boleh bagi seseorang mengimami orang lain di wilayah kekuasaan orang tersebut.” (HR. Muslim)

Namun apabila jenazah tersebut disalat di selain masjid, maka orang yang paling berhak untuk menjadi imam adalah yang diberi wasiat oleh si mayit tersebut. Apabila tidak ada wasiat dari si mayyit, maka orang yang paling dekat dengan si mayyitlah yang paling berhak untuk mengimaminya.”

[Dinukil dari kitab 70 Sual fi Ahkamil Janaiz, hlm. 9]

 

Bolehkah seorang buang air kecil berdiri, dalam keadaan dia mengetahui bahwa air seninya tidak mengenai badan atau pakaiannya sedikitpun?

Dijawab oleh asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah:

“Tidak mengapa bagi seseorang untuk buang air kecil dengan berdiri. Terlebih jika dirinya membutuhkan untuk melakukan hal demikian. Dengan syarat apabila tempatnya tertutup, tidak terlihat auratnya oleh seorangpun saat ia sedang buang hajat, dan percikan air seninya tidak mengenai dirinya sedikit pun.

Sebagaimana telah datang sebuah dari sahabat Hudzaifah bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pernah melewati sebuah tempat sampah suatu kaum, kemudian beliau buang air kecil disitu dalam keadaan berdiri.

Disepakati atas kesahihannya. Akan tetapi yang lebih utama adalah buang air kecil dengan posisi jongkok. Karena hal tersebut yang paling sering Nabi shallallahu’alaihi wa sallam lakukan dan lebih menutup auratnya, serta sangat kecil kemungkinan untuk terkena cipratan dari air seninya sendiri.”
[Dinukil dari kitab Majmu’ Fatawa Ibnu Baz (6/342)]

 

 

Apa hukum mengubur rambut dan kuku yang telah dipotong?

Dijawab oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah:

“Para ulama menyebutkan bahwa mengubur rambut dan kuku (yang telah dipotong) adalah perbuatan yang sangat bagus dan mulia. Sungguh telah datang sebuah atsar dari sebagian sahabat mengenai permasalahan ini.

Adapun jika membuangnya di tanah lapang atau melemparkannya di tempat yang mengakibatkan dosa, maka hal itu terlarang.”
[Dinukil dari kitab Majmu’ Fatawa wa Rasail al-Utsaimin (11/132)]

 

Apakah setiap orang akan melewati jembatan shiratal mustaqim?

Sebuah pertanyaan diajukan kepada al-Lajnah ad-Daimah (lembaga fatwa Arab Saudi).

(Wahai syaikh) Apa makna dari firman Allah Ta’ala:

وَإِنْ مِنْكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا كَانَ عَلَى رَبِّكَ حَتْمًا مَقْضِيًّا () ثم ننجي الذين اتقوا

“Dan tidak ada seorang pun dari kalian kecuali akan mendatangi (Jahannam). Hal itu merupakan ketetapan pasti dari Rabbmu. (71) Kemudian kami selamatkan orang-orang yang bertakwa.” (QS. Maryam: 71-72)

Jawaban:

“Allah Ta’ala sedang menjelaskan kepada para hamba-Nya bahwa tidak ada seorangpun dari manusia -yang baik maupun buruk-, kecuali akan melintasi jembatan yang dibentangkan di atas Jahannam.

Allah Ta’ala telah mengetahui perjalanan ini, menetapkan, dan mengharuskannya, sebagai bentuk keadilan, hikmah, dan keutaman serta rahmat dari-Nya. Ini adalah ketetapan dari-Nya yang pasti akan terjadi. Tidak mungkin bagi seseorang untuk berpaling dan lari darinya.

Kemudian Allah Ta’ala menyelamatkan orang-orang yang bertakwa ketika di dunia dari azab neraka. Yaitu orang-orang yang melakukan segala yang Allah Ta’ala perintahkan dari ketaatan, serta menjauhi segala yang Allah Ta’ala larang dari perbuatan maksiat dan kejelekan.

Serta Allah Ta’ala akan meninggalkan orang-orang zalim di Jahannam dalam keadaan terusir dan bertekuk lutut. Sebagai bentuk balasan dari pengingkaran dan perolokan-olokan mereka terhadap ayat-ayat Allah Ta’ala.”
[Dinukil dari kitab Fatawa al-Lajnah ad-Daimah (4/259), pertanyaan pertama dari fatwa No. 3164)

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.