10 adab islami di sore dan pagi hari
Oleh Abdul Halim Perawang Takhasus
Berikut beberapa adab dan amalan yang disyariatkan pada waktu pagi dan sore, yang menjadikan seorang hamba selalu dalam ketenangan dan terhindar dari kesulitan jika menjalaninya InsyaAllah.
Adab pertama: Beramal saleh
Hendaknya seorang hamba merasa bahwa usia yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala berikan kepadanya adalah peluang untuk menambah amal kebajikan.
Hal ini sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bangun tidur, beliau memuji Allah ‘Azza wa Jall karena telah mengembalikan ruh, memberikan kesehatan badan, dan memperkenankan beliau untuk berdzikir kepada-Nya (HR. At-Tirmidzi no.3401, dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ أَحَدٌ أَفْضَلَ عِنْدَ اللهِ مِنْ مُؤْمِنٍ يُعَمَّرُ فِي الْإِسْلَامِ، لِتَسْبِيْحِهِ، وَتَكْبِيْرِهِ، وَتَهْلِيْلِهِ
“Tidak ada yang lebih utama di sisi Allah daripada seorang mukmin y8ang dipanjangkan usianya di atas agama Islam. Agar dia dapat bertasbih, bertakbir, dan bertahlil kepada Allah.” (HR. Ahmad dalam al-Musnad no.1401, dishahihkan asy-Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah no.654).
Setiap matahari terbit Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan: “Segala puji bagi Allah Ta’ala yang telah menganugerahkan hari ini kepada kami, memaafkan kesalahan, dan tidak mengadzab kami dengan neraka.” (HR. Ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir no.8901 dan Ibnu as-Sunni dalam ‘Amal al-Yaum wa al-Lailah no.148).
Adab kedua: Istigfar dan tobat
Senantiasa beristigfar dan bertobat setiap kali berbuat dosa. Dengan cara meninggalkannya, menyesal telah melakukannya, serta memiliki tekad yang kuat untuk tidak mengulanginya. Dan jika dosa tersebut terkait hak sesama, maka hak-hak tersebut dikembalikan kepada pemiliknya.
Al-Imam Hatim al-Asham rahimahullah (W. 237 H) pernah ditanya: “Perkara apa yang paling anda sukai?”, “Aku menyukai jika seharian dalam keadaan sehat.” jawabnya. Orang itu bertanya lagi: “Bukankah setiap hari anda selalu sehat?”, beliau menjawab: “Kesehatan yang aku maksud adalah seharian penuh aku tidak melakukan maksiat kepada Allah.” (Lihat Hilyah al-Auliya’ (8/83) dan Syu’ab al-Iman no.6858 karya al-Imam al-Baihaqi).
Adab ketiga: Akhirat prioritas utama
Mendahulukan akhirat dalam segala urusan dan tidak terlalu mengindahkan dunia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَتْ هَمُّهُ الْآخِرَةَ، جَمَعَ اللهُ لَهُ شَمْلَهُ وَجَعَلَ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا رَاغِمَةً، وَمَنْ كَانَتْ هَمُّهُ الدُّنْيَا فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللهُ لَهُ
“Barangsiapa yang tujuan utamanya akhirat, akan Allah teguhkan urusannya, Allah tanamkan rasa cukup di hatinya, dan dunia akan takluk mengejarnya. Namun barangsiapa yang tujuan utamanya dunia, akan Allah cerai-beraikan urusannya, Allah jadikan kemiskinan di pelupuk matanya, dan dunia tidak akan menghampirinya kecuali tidak lebih dari yang telah Allah tetapkan untuknya.” (HR. Ibnu Hibban dan dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no.6516).
Hal tersebut hanya bisa terjadi jika seorang hamba mengisi seluruh waktunya serta memfokuskan hatinya untuk melakukan perkara yang Allah Ta’ala ridhai dengan mengerjakan amalan saleh.
Adab keempat: Tidak menzalimi orang
Bertekad untuk tidak menyakiti orang lain baik dengan ucapan maupun perbuatan, serta membersihkan hati dari perasaan dengki kepada siapapun.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan:
“Suatu ketika saat kami sedang duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata: ‘Sebentar lagi dari jalan ini akan muncul seorang penghuni surga.’ Tak lama, muncul seorang sahabat dari kabilah Anshar, janggutnya basah karena bekas wudu, sambil menenteng sepasang sandal dengan tangan kirinya, dia mengucapkan salam dan berlalu.
Esok harinya, Nabi ‘alaihishshalatu wassalam mengatakan hal yang sama, kemudian sahabat Anshar tadi muncul lagi dengan keadaan yang sama seperti sebelumnya.
Kejadian tersebut terlulang kembali esok harinya. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beranjak pergi, Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu mengikuti sahabat Anshar tadi dan mengatakan:
‘Telah terjadi pertikaian antara diriku dan ayahku. Aku bersumpah untuk tidak menemuinya selama tiga hari. Berkenankah engkau mengizinkan diriku menginap di tempatmu selama itu?’, ‘Ya, silahkan.’ jawabnya.”
Anas radhiyallahu ‘anhu melanjutkan: “Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu menuturkan bahwa selama beliau disana, sekalipun dirinya tidak pernah melihat si sahabat Anshar melakukan tahajjud (shalat malam). Hanya saja, jika bangun dari tempat tidur dan kembali lagi, dia berdzikir dan bertakbir, demikian hingga shubuh tiba.
Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan: ‘Selama tiga hari, aku tidak pernah mendengar dari sahabat Anshar tersebut melainkan tutur kata yang baik. Dan agaknya aku menganggap amalannya tidak terlalu besar. Akhirnya aku mengaku kepadanya:
‘Hai hamba Allah, sebenarnya tidak terjadi apa-apa antara diriku dan ayahku. Hanya saja, aku pernah mendengar Rasulullah mengucapkan: ‘Sebentar lagi dari jalan ini akan muncul seorang penghuni surga.’ Dan yang muncul adalah dirimu, kejadian itu berulang sampai tiga kali. Aku pun ingin tahu amalan apa yang engkau perbuat hingga demikian, agar aku bisa menirunya.
Akan tetapi sejauh yang aku lihat, engkau tidak banyak melakukan amal ibadah. Lalu apa yang menyebabkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan demikian tentang dirimu?’
Sahabat Anshar menjawab: ‘Memang tidak ada yang istimewa pada diriku, seperti yang engkau lihat. Hanya saja, sama sekali aku tidak pernah mendengki dan dendam kepada seorang muslim atas nikmat yang Allah berikan kepadanya.’
Abdullah bin ‘Amr mengatakan: ‘Justru perbuatanmu itu adalah sesuatu yang di luar kemampuan kami.’.” (HR. Ahmad dalam al-Musnad no.12697, asy-Syaikh al-Albani mengatakan dalam Muqaddimah adh-Dha’ifah (1/26): “Sanadnya shahih sesuai syarat al-Bukhari dan Muslim.”).
Adab kelima: Menjaga lisan
Senantiasa menjaga lisan dari ucapan yang kotor. Rasulullah ‘alaihishshalatu wassalam bersabda:
إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ الأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسَانَ فَتَقُولُ: اتَّقِ اللَّهَ فِينَا فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ، فَإِنْ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا وَإِنْ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا
“Jika seorang anak Adam memasuki waktu pagi, setiap anggota badannnya akan menegur lisan dan mengatakan: ‘Bertakwalah kamu kepada Allah, karena kami bergantung padamu, jika kamu bersikap baik kami pun akan baik. Namun jika kamu bengkok, kami juga ikut bengkok.’.” (HR. At-Tirmidzi no.2407, dihasankan asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi).
Dalam hadits lain:
أَكْثَرُ خَطَايَا ابْنِ آدَمَ فِي لِسَانِهِ
“Mayoritas dosa anak Adam diperbuat oleh lisannya.” (HR. At-Thabrani dan dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no.1201).
Adab keenam: Membaca zikir pagi dan petang
Tetap duduk di tempat shalatnya selepas shubuh untuk berdzikir kepada Allah Ta’ala hingga matahari terbit, kemudian mengerjakan shalat sunnah dua rakaat (shalat al-Isyraq).
Dari Anas bin Malik, Nabi ‘alaihishshalatu wassalam bersabda:
مَنْ صَلَّى الغَدَاةَ فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ
“Siapa yang mengerjakan shalat ghadah (shubuh) berjamaah, kemudian tetap duduk di tempatnya seraya berdzikir kepada Allah hingga matahari terbit, lalu mengerjakan shalat sebanyak dua rakaat, maka baginya pahala setara dengan haji dan umrah.” (HR. At-Tirmidzi no.586, dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi).
Demikian pula setelah shalat ashar, tetap duduk di tempatnya berdzikir kepada Allah. Karena kedua waktu tersebut adalah saat paling mulia.
Ketahuilah bahwa para salaf sangat membenci obrolan di masjid selepas shalat shubuh sampai matahari terbit.
Al-Imam Atha’ bin Abi Rabah rahimahullah (W. 115 H) mengatakan:
“Ibnu Mas’ud pernah mendatangi sekelompok orang yang berbincang-bincang selepas shalat shubuh, beliau lalu melarang mereka dan mengatakan: ‘Kalian datang ke masjid tidak lain hanya untuk shalat (berdoa dan berdzikir), kalau tidak shalat lebih baik kalian di rumah saja.” (Diriwayatkan ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir no.9438)
Al-Imam al-Auza’i rahimahullah (W. 157 H) berkata:
“Para salaf jika selesai dari shalat subuh, mereka duduk bersimpuh sambil berdzikir dengan tenang, seakan-akan di atas kepala mereka ada burung yang bertengger. Sampai-sampai jika sahabat karib mereka yang datang, mereka tidak menoleh kepadanya. Terus demikian hingga matahari meninggi.” (Lihat kitab Hadits Abil Fadhl az-Zuhri no.548)
Adab ketujuh: Menjamak ibadah-ibadah ini
Berusaha mengumpulkan amalan-amalan berikut dalam satu hari: puasa sunnah, menjenguk orang sakit, melayat jenazah, dan memberi makan orang miskin.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا اجْتَمَعَ هَذِهِ الْخِصَالُ فِي رَجُلٍ فِي يَوْمٍ، إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Tidaklah terkumpul amalan-amalan tersebut pada diri seseorang dalam sehari, melainkan niscaya ia akan masuk surga.” (HR. Al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad no.515 dan dihukumi shahih oleh asy-Syaikh al-Albani).
Adab kedelapan: Berhias dengan sifat qana’ah
Senantiasa bersifat qana’ah (merasa cukup dengan apa yang ada). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيْزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
“Siapa di antara kalian berada di pagi hari dalam keadaan aman di komunitasnya, sehat badannya, dan memiliki persediaan makanan yang cukup untuk hari itu, maka seakan-akan telah dibentangkan dunia ini untuk dirinya.” (HR. At-Tirmidzi no.2346 dan dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi).
Adab kesembilan: Berwasiat sedini mungkin
Mewasiatkan hartanya secara tertulis, maksimal sepertiga bagian. Jika hartanya melimpah ruah dan ahli warisnya kaya-kaya, dia mewasiatkan hartanya untuk para kerabat yang bukan ahli waris, atau mendermakannya di jalan kebaikan.
Jika dia memiliki hutang, atau menyimpan titipan orang, atau memiliki tanggungan yang akan terlantar jika dia meninggal, dia wajib menulis rincian hal tersebut. Agar kelak Allah Ta’ala tidak meminta pertanggung jawaban darinya.
Demikian pula dia mewasiatkan penjagaan anak-anaknya yang masih kecil kepada orang yang dapat dipercaya, hingga mereka mencapai usia baligh.
Adab kesepuluh: “Ini hari terakhirku.”
Merasa bahwa hari ini adalah hari terakhir di kehidupannya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
{وَأَنْ عَسَى أَنْ يَكُونَ قَدِ اقْتَرَبَ أَجَلُهُمْ} [الأعراف: 185]
“Dan bisa jadi ajal mereka telah dekat.” (QS. Al-A’raf: 185)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمَ اللَّذَّاتِ: اَلْمَوْتُ
“Perbanyaklah mengingat pemotong kelezatan, yaitu kematian.” (HR. Ibnu Hibban dari Abu Hurairah dan dihasankan asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no.1211).
Suatu hari malaikat Jibril ‘alaihissalam datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata:
يَا مُحَمَّدُ عِشْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مَيِّتٌ، وَأَحْبِبْ مَنْ شِئْتَ فَإِنَّكَ مُفَارِقُهُ، وَاعْمَلْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مُجْزِيٌّ بِهِ
“Hai Muhammad, hiduplah sesukamu karena kamu pasti akan mati. Cintailah siapapun yang kamu mau karena nanti kamu mesti meninggalkannya. Lakukanlah apa yang kamu kehendaki, kelak amalamu sungguh akan dibalas.” (HR. Ath-Thabrani dan selainnya, dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah no.831)
Nabi ‘alaihishshalatu wassalam pernah berkata kepada Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma:
كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ
“Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau sekedar lewat saja (tidak menetap).”
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mengatakan:
“Jika engkau berada di waktu sore, maka jangan menunggu besok pagi. Dan jika engkau berada di pagi hari, jangan menunggu waktu sore. Gunakanlah kesempatan sehatmu untuk menghadapi masa sakitmu, dan gunakan kehidupanmu untuk menghadapi kematianmu.” (HR. Al-Bukhari no.6416).
Sebagian orang saleh saat ditanya: “Bagaimana pagi anda?”, mereka menjawab:
“Pagi ini kami diliputi kenikmatan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang tidak terhitung, padahal banyak maksiat yang kami lakukan. Kami pun tidak tahu apakah harus mensyukuri kebaikan yang Allah Ta’ala karuniakan ini atau mensyukuri aib kami yang Allah ‘Azza wa Jall tutup.” (Lihat Syu’ab al-Iman no.4200 karya al-Baihaqi).
Al-Imam al-Muzani rahimahullah (W. 264 H) menceritakan:
“Aku menjenguk al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah (W. 204 H) di pagi hari sebelum beliau wafat. Aku bertanya: ‘Bagaimana kondisimu wahai Abu ‘Abdillah?’, beliau menjawab:
‘Aku akan beranjak dari dunia, meninggalkan saudara dan teman, menjumpai kematian, dan bertemu dengan Rabb-ku. Lalu aku tidak tahu apakah ruhku akan menuju surga sehingga aku ucapkan selamat kepadanya, atau menuju neraka sehingga aku berduka cita terhadapnya.’.” (Lihat Tartib al-Amali al-Khamisiyah no.2942 karya asy-Syajari).