Adab saat berbeda pendapat
Oleh Fadhil Zubair at-Tamimi Probolinggo
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa`di rahimahullah setelah menjelaskan dan menafsirkan ayat 1-6 dari surat al-Muthaffifin, kemudian beliau memberikan sebuah faedah sekaligus nasehat yang berharga. Hendaklah kita memerhatikan dan mengamalkan faedah tersebut. Beliau mengatakan,
فإنه كما أن المتناظرين قد جرت العادة أن كل واحد منهما يحرص على ماله من الحجج، فيجب عليه أيضًا أن يبين ما لخصمه من الحجج [التي لا يعلمها] ، وأن ينظر في أدلة خصمه كما ينظر في أدلته هو، وفي هذا الموضع يعرف إنصاف الإنسان من تعصبه واعتسافه، وتواضعه من كبره، وعقله من سفهه، نسأل الله التوفيق لكل خير
“Sering terjadi antara kedua belah pihak yang berdiskusi, salah satu dari keduanya berambisi untuk menyampaikan hujah yang dimiliki. Maka wajib pula baginya menyampaikan hujah yang dimiliki oleh lawan diskusinya, dimana ia tidak mengetahui kebenaran hujah tersebut. Hendaklah ia memperhatikan dalil-dalil yang dimiliki oleh lawan diskusinya, sebagaimana ia memerhatikan dalil dan hujjah yang ia miliki. Dalam hal ini, seorang dapat diketahui keadilan dan keseportifannya dari sikap fanatik dan kelalimannya. Sikap ketawadhuan yang ia miliki dari sikap sombongnya, pemahamannya yang baik dari kedunguannya. Kita memohon kepada Allah Ta`ala taufik dalam segala kebaikan.” (Tafsir as-Sa’dy)
Faedah yang bisa dipetik
Oleh karenanya, hendaklah kita selalu bersikap sebagaimana yang diajarkan oleh baginda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Di antaranya adalah sifat tawadhu`, adil, dan sportif dalam segala hal.Termasuk dalam perkara-perkara yang membutuhkan padanya pendapat dari banyak pihak, karena yang demikian itu akan melahirkan kebaikan yang banyak, baik kebaikan di dunia maupun akhirat. Wallahu a`lam