Ambisi terhadap dunia merusak segalanya

 

Oleh Fathurrahman Palembang 4B Takhasus

 

 

Sore itu, aku sedang menyapu halaman depan mushola. Nampak di bugrak (gazebo) milik Pak Kadus Dusun Betuming terdapat empat warga yang sedang berbincang serius dengan beliau. Empat warga tersebut adalah seorang ayah yang telah tua dengan tiga putranya. Sesekali aku mencuri-curi dengar pembicaraan mereka karena rasa penasaran, namun upaya ini tak berguna karena aku tak memahami bahasa mereka.

 

Baru selesai aku menyapu dan belum sempat meletakkan sapu pada tempatnya, tiba-tiba aku menyaksikan perbincangan  mereka semakin serius, masing-masing berbicara dengan mengangkat suara (baca: emosi).

 

Ada apa dengan mereka?

 

Lalu aku menengok Pak Kadus, beliau hanya mampu duduk dan sesekali melerai mereka, namun seolah tak ada hasilnya. Justru perseteruan di antara mereka semakin dahsyat. Caci maki dan cemooh tak henti-hentinya mereka lontarkan kepada lawan bicaranya.

 

Tak lama kemudian, dua orang di antara mereka (si bungsu dan kakanya) berdiri tegak saling menantang. Putra bungsu tak mau kalah dengan kakaknya. Mereka saling dorong berusaha menjatuhkan. Pak Kadus terlihat kuwalahan melerai perkelahian mereka. Aku semakin cemas melihat perkelahian ini.

 

Usaha Meredam Suasana

 

Pak Kadus pun menatapku serius seolah mengisyaratkan agar aku segera datang untuk turut membantu meleraikan. Sontak sapu di tangan aku lemparkan. Aku bergegas menuju brugak tersebut. Sementara Pak Kadus mengumumkan peristiwa yang terjadi kepada warga, agar mereka datang untuk turut meredam suasana.

 

Aku berhasil menangkap putra bungsu dan menariknya menjauh dari sang kakak. Namun kakaknya justru menghantam wajah si bungsu dengan tongkat, sampai tongkat itu terlempar. Tak mau kalah, si adik berusaha membalas, tongkat itu berusaha ia ambil untuk menghantam kakaknya. Namun ia berhasil dirobohkan oleh seorang warga. Dan dengan cepat aku berhasil merebut tongkat tersebut dari tangannya dan segera kubuang agar tidak bisa dijadikan senjata.

 

Dunia membutakan mata hati

 

Suasana semakin keruh ketika istri sang kakak ikut memprovokasi dan memanasi suaminya. Si adik pun berhasil lari, ia berusaha mengambil linggis untuk menghantam kakanya. Alhamdulillah upaya itu berhasil digagalkan oleh warga.

 

Yang membuatku terkejut adalah saat salah seorang putra rela memukul ayahnya sampai terjatuh, dan sang ayah tak mampu melawan. Peristiwa ini tak kunjung usai dan terus berkecamuk hingga menjelang maghrib. Setelah berusaha dibubarkan oleh warga bersama santri PKL, alhamdulillah perkelahian tersebut akhirnya redam.

 

Wahai saudaraku, kisah di atas adalah tentang perkelahian keluarga dalam memperebutkan harta. Betapa kejamnya harta dunia, rela menjadikan seorang benci terhadap ayah, saudara, dan orang-orang terdekatnya. Harta dunia membuat mereka saling meregangkan nyawa. Sungguh tidak meleset perkataan Allah:

 

إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ

 

“Sesungguhnya harta dan anak-anak kalian adalah sebagai ujian.” (QS. At-Tagahabun: 15)

 

Faedah dari kisah di atas

 

Kisah ini mengingatkan kita akan pentingnya ilmu. Hanya dengan ilmu seorang dapat mengerti arti kehidupan di dunia. Dengannya ia akan mengerti bahwa dunia adalah tempat mencari bekal menuju alam yang kekal dan tak terbatas masa. Wallahu ‘alam

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.