Ujian Sebagai Sebuah Ketetapan
Oleh Hasan Tamam Takhasus
Saat Allah menciptakan para hamba-Nya, untuk beribadah hanya kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, Allah membuat sebuah tanda yang dengannya diketahui mana hamba-Nya yang jujur, dengan hamba-Nya yang berdusta. Di antara tanda yang dapat membedakan adalah kesabaran seorang mukmin saat ditimpa musibah dalam perjalanannya kepada Allah Ta’ala. Ketika ia bersabar, dia meraih predikat lulus dan selamat, serta derajatnya semakin tinggi.
Namun saat dia mengeluh, tidak sabar, dan putus asa, maka imannya akan melemah. Seperti inilah keadaan orang yang tidak kokoh sampai dia menyimpang bersama orang-orang yang menyempal dan binasa bersama orang-orang yang binasa. -Kita memohon keselamatan dunia-akhirat kepada Allah-.
Allah Ta’ala berfirman:
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ
“Apakah kalian mengira akan masuk ke dalam jannah, padahal kalian belum ditimpa musibah seperti orang-orang sebelum kalian, mereka ditimpa ketakutan, kesulitan, dan kegoncangan yang hebat, sampai-sampai Rasul dan orang-orang yang bersamanya berkata, ‘Kapan pertolongan Allah datang?’ Ketahuilah, pertolongan Allah sangatlah dekat.” (QS. Al-Baqarah: 214)
Imam Ibnu Katsir berkata tatkala menafsirkan ayat di atas,
“Firman Allah, ‘Apakah engaku mengira akan masuk ke dalam jannah’, sebelum kalian diuji, sebagaimana yang Allah perbuat atas orang-orang sebelum kalian dari umat terdahulu.
Oleh karena itu Dia berkata, ‘Padahal engkau belum ditimpa musibah seperti orang-orang sebelum kalian, mereka ditimpa ketakutan, kesulitan’, yaitu berbagai wabah, penyakit, dan musibah.
Perkataan Allah, ‘kegoncangan yang hebat’, berupa rasa takut yang sangat, kegalauan yang tinggi dan diuji dengan perkara yang sulit.” (Tafsir Ibnu Katsir 1/252)
Jembatan Menuju Surga
Kesabaran atas berbagai musibah adalah jalan yang mengantarkan kepada surga dan kebahagiaan. Allah Ta’ala berfirman:
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ
“Apakah kalian mengira akan masuk ke dalam surga padahal Allah belum mengetahui mana orang yang bersungguh-sungguh di antara kalian dan orang-orang yang bersabar.” (QS. Ali-Imran: 142)
Berbagai ujian merupakan ketetapan dari Allah sejak dahulu kala, yang mana tidak ada hamba-hamba Allah Ta’ala yang terlepas dari imtihan. Sebagaimana yang Allah Ta’ala kabarkan di dalam al-Qur’an:
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تُتْرَكُوا وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَلَمْ يَتَّخِذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَا رَسُولِهِ وَلَا الْمُؤْمِنِينَ وَلِيجَةً وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Apakah kalian mengira akan masuk ke dalam surga padahal Allah belum mengetahui mana orang yang bersungguh-sungguh di antara kalian dan yang tidak mengambil teman setia melainkan Allah, Rasul-Nya dan kaum mukmin. Sungguh Allah sangat mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. AT-Taubah: 16)
Bahkan secara tampak maupun tidak, mereka selalu melakukan nasehat kepada Allah dan rasul-Nya. Dan cukuplah batin mewakili lahirnya. Maka orang yang beriman adalah orang-orang yang kokoh di atas keimanan mereka, kokoh di atas sunnah Nabi mereka dan kokoh saat menyisiri jalannya para salafush-shalih, baik secara lahir maupun batin.
Berkata Imam ibnu Katsir rahimahullahu Ta’ala:
“Kesimpulannya, ketika Allah Tabaraka wa Ta’ala mensyariatkan hamba-Nya untuk berjihad, di situ Allah menjelaskan hikmah yang terkandung di dalamnya. Yaitu untuk mengetes para hamba-Nya; Siapa yang menaati-Nya dan siapa yang memaksiati-Nya. Dan Allah Ta’ala Maha Mengetahui apa yang sudah terjadi dan yang akan terjadi.
Perkara yang belum terjadi kalau menjadi kenyataan, ‘bagaimana bisa Allah mengetahuinya?’
Jawabannya, Allah Ta’ala mengetahui semua perkara sebelum terjadinya. Dan apa yang terjadi itu sesuai keinginan Allah. Tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak ada Rabb selain-Nya dan tidak ada sesuatu yang terjadi selama Dia tidak menakdirkan hal tersebut.” (Tafsir Ibnu Katsir 2/341)
Allah Ta’ala berfirman:
الم (1) أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ (2) وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Alif laam miim. Apakah manusia mengira mereka akan dibiarkan begitu saja mengatakan, ‘Kami beriman’ tanpa ada ujian? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah mengetahui mana orang-orang yang jujur dan mana orang yang berdusta.” (QS. Al-Ankabut: 1-3)
Pertanyaan dalam ayat ini berbentuk pengingkaran, yang artinya Allah Ta’ala benar-benar akan menguji orang mukmin sesuai kadar keimanan mereka. sebuah ujian akan terasa ringan jika seorang mukmin mengetahui kalau perkara ini menyeluruh dan merata mengenai semua manusia. Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat di atas.
Nabi Juga Merasakan Ujian
Bahkan seorang nabi pun tidak selamat dari yang namanya ujian dan cobaan, begitu juga para wali Allah dan orang-orang yang bertakwa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
«إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ بَلَاءً الْأَنْبِيَاءَ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ»
“Sesungguhnya orang yang paling berat ujiannya adalah para nabi, kemudian orang yang berjuang setelah mereka, dan yang setelahnya serta yang setelahnya.” (HR. Ahmad)
Maka dengan ujian akan terlihat mana orang mukmin sejati dengan orang munafik yang kerdil, mana orang yang benar-benar mengikuti Sunnah dengan yang bid’ah dan mana orang yang kokoh dengan orang yang mudah goyang. Hal ini selaras dengan apa yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala katakan dalam al-Qur’an:
مَا كَانَ اللَّهُ لِيَذَرَ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى مَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ حَتَّى يَمِيزَ الْخَبِيثَ مِنَ الطَّيِّبِ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ
“Sungguh Allah tidak akan membiarkan kalian berada pada perkara yang kalian sedang berada di dalamnya (pengakuan beriman kepada Allah) sampai Allah memisahkan antara orang yang jelek dengan orang yang baik, dan Allah tidak akan memperlihatkan kepada kalian perkara yang gaib.” (QS. Ali-Imran: 179)
Berkata Imam Ibnu Katsir rahimahullahu Ta’ala: “Makna ayat di atas adalah, Allah Subhanahu Wa Ta’ala membuat suatu ujian, yang mana dengan ujian itu akan tampak wali-Nya dan mencerai-beraikan musuhnya serta akan diketahui orang-orang mukmin yang jujur dengan munafik yang fajir.” (Tafsir Ibnu Katsir 1/433)
Pahit di Awal, Manis di Akhir
Memang kalau seorang hamba ketika sedang merangkul dan mendakwahkan agama Allah Ta’ala serta mengangkat bendera sunnah, dan membantah ahlul bid’ah maka akan bertambah berat ujiannya, tapi hal ini menyuburkan kebaikannya di dunia dan akan disebut-sebut oleh manusia serta akan mengangkat derajatnya di akhirat.
Bahkan seorang hamba saat dia istiqamah di jalan Allah Ta’ala, dan memegang bendera Sunnah dalam rangka membantah ahlul bid’ah serta pengekor hawa nafsu, niscaya akan bertambah berat ujian yang akan ia terima. Maka hal ini akan menambah kebaikannya di dunia dan akan mengangkat derajatnya di akhirat kelak.
Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullahu Ta’ala menuturkan: “Seandainya tidak ada ujian dan cobaan, niscaya keutamaan sabar, berlapang dada, tawakkal, jihad, suka memberi maaf, keberanian, ketenangan, dan menjaga kehormatan diri tidak akan tampak. Sungguh Allah Ta’ala suka untuk memuliakan para wali-Nya dengan pelengkap di atas dan menampakkan kepada mereka berbagai ujian tadi. Hal ini bertujuan agar mereka disanjung oleh para malaikat-Nya dan mendapatkan kemuliaan yang tertinggi, kelezatan abadi, dan kesenangan yang lainnya. Walaupun terasa pahit diawalnya, dan tidak semanis pada akhirnya.” (Syifa’ul ‘Alil hal. 244)
Kabar Gangguan Kepada Rasul
Disebutkan dalam kisah, saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baru menerima wahyu, pamannya yang bernama Waraqah bin Naufal berkata kepada beliau:
“Duhai kiranya aku masih kuat, duhai kiranya aku berumur panjang saat kaummu mengusirmu…”
Rasulullah bertanya: “Apakah mereka akan mengusirku?”
Dia berkata: “Ya, tidaklah datang seorang pun yang membawa ajaran seperti yang kau bawa melainkan ia akan dimusuhi dan diperangi. Kalau seandainya aku berada di sisimu ketika mereka mengusirmu, niscaya aku akan membelamu dengan sekuat tenaga.
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Orang-orang yang mengimani para Rasul dan membenarkan semua apa yang mereka kabarkan, dan orang-orang yang kokoh untuk merealisasikan apa yang diajarkan –aku tidak memaksudkan mereka yang hanya mengaku di lisan saja, serta memiliki keyakinan yang menyimpang- maka orang yang sesat tidak memiliki cara untuk melawan mereka melainkan dengan tuduhan dusta, pengelabuan data, kebohongan dan memberikan gelar yang jelek.
Dan pantas saja mereka melakukan yang demikian ini karena perilaku mereka memang jelek, padahal apa yang mereka lontarkan tadi tidak pantas ditujukan melainkan kepada diri mereka sendiri.
Berbagai gangguan yang mereka gencarkan kepada orang-orang yang mengikuti anutan orang yang mereka ikuti dari para imam mereka yang telah diuji di jalan Allah Ta’ala. Dan perkataan Waraqah bin Naufal, ‘Tidaklah datang seorang pun yang membawa ajaran seperti yang kau bawa melainkan ia akan dimusuhi dan diperangi’. Dari sini tampaklah bahwa setiap orang yang mendakwahkan apa yang didakwahkan oleh Rasul maka dia tergolong pengikut Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, dia pasti akan merasakan perihnya gangguan dari pengikut syaithan. Allahul Musta’an.” (Ash-Showa’iq al-Mursalah 4/1392)
Maka setiap orang yang menyebarkan agama ini sesuai yang diajarkan oleh para salafush-shalih wajib untuk menyadari ia akan diuji, dan harus melatih jiwanya dalam kesabaran dan kekokohan. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh pendeta kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau masih kecil, “Wahai anak muda. Hari ini kamu lebih baik dariku. Sungguh aku telah mengetahui perkaramu dan kamu nanti akan diuji.” (HR. Muslim 3005)
Semakin Dekat Semakin Keras
Bahkan semakin dekat hubungan seorang hamba dengan Rabbnya, maka semakin bertambah dosis ujian yang ia dapatkan. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits dari sahabat Mush’ab bin Sa’ad dari ayahnya,
Dahulu aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, manusia yang bagaimanakah yang paling berat ujiannya?’
Beliau menjawab, ‘Para nabi kemudian yang semisal dengan mereka perjuangannya. Setiap hamba diuji sesuai kadar agamanya. Apabila agamanya kokoh, maka ujiannya akan semakin kuat pula. Namun kalau agamanya rapuh, dia diuji sesuai kadar agamanya. Berbagai ujian akan terus menimpanya sampai akhirnya dia berjalan di atas muka bumi dalam keadaan tidak memiliki kesalahan sedikitpun.” (HR. Tirmidzi dan disahihkan oleh Imam al-Albani)
Al-Imam al-Albani berkata saat memberi keterangan hadits di atas: “Dalam hadits ini terdapat keterangan yang kuat. Yaitu seorang mukmin saat memiliki keimanan yang kokoh, maka akan bertambah pula ujian dan cobaan yang menimpanya. Demikian pula kebalikannya.
Dalam hadits ini terdapat bantahan atas orang yang dungu lagi memiliki akal yang pendek ketika mereka meyakini ‘setiap mukmin apabila ditimpa sebuah musibah, seperti dipenjara, diikat, atau dipecut dengan cambukan dan yang semisal, merupakan alamat bahwa orang ini tidak diridai oleh Allah Ta’ala’.
Ini adalah pendapat yang salah. Lihatlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, makhluk yang paling mulia, merupakan orang yang paling berat cobaannya, bahkan paling berat dibandingkan para nabi sebelumnya. Maka -seringnya- cobaan merupakan tanda baiknya seseorang, bukan menunjukkan kejelekannya. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits:
إِنَّ عِظَمَ الجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ البَلاَءِ، وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ.
“Sesungguhnya besarnya pahala bersama beratnya ujian, dan Allah apabila mencintai sebuah kaum, Dia akan menguji mereka. Barang siapa yang rida, maka dia akan mendapatkan keridaan Allah dan barang siapa yang tidak terima (marah) maka dia akan mendapatkan kemurkaan Allah.” (HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Asy-Syaikh Sulaiman bin ‘Abdillah rahimahullahu Ta’ala berkata tatkala menyebutkan hadits ini:
“Sangat jelas disebutkan dalam hadits ini, sebuah musibah akan menimpa orang yang dicintai oleh Allah Ta’ala. Oleh karena itu, ketika para Nabi menjadi orang yang paling dicintai, merekalah yang paling keras ujiannya, mereka ditimpa sebuah cobaan yang tidak pernah menimpa siapa pun sebelumnya agar mereka mendapatkan pahala yang sangat banyak dan keridaan yang terbesar serta agar orang setelah mereka meneladani mereka.
Cukuplah ini menjadi indikasi bahwa mereka adalah manusia biasa yang bisa saja terkena musibah dan berbagai cobaan, sehingga tidak pantas untuk dibadahi.” (Taisir ‘Azizil Hamid hal. 440)
Mutiara Salaf
Para salaf telah mewariskan berbagai mutiara hikmah bahwa seorang hamba pasti akan diuji saat ia berada di jalan Allah Ta’ala, dan mereka menjelaskan hikmah di balik ujian dan kedudukan mereka di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di antaranya adalah:
Umar bin ‘Abdil Aziz rahimahullah: “Aku tidak tertarik kepada seseorang yang tidak ditimpa musibah karena agamanya.”
Imam Masruq: “Orang-orang yang dahulunya diuji, nanti pada hari kiamat saat melihat pahala dari ujian tadi, mereka rindu kulit mereka dipotong dengan gunting.”
Imam Ibrahim rahimahullah: “Sesungguhnya orang yang terus diuji dengan musibah, pada akhirnya ia akan berjalan di tengah-tengah manusia dalam keadaan tidak memiliki dosa.”
Imam Abdullah bin Zaid dan Ka’ab rahimahumallah: “Tidak ada hamba yang dimuliakan di sisi Allah sampai tingkatan ujiannya bertambah berat.” (Al-Mihan 284)
Penutup
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu menguatkan kita pada semua keadaan dan kondisi di atas al-Haq. Dan menjauhkan diri kita dari penyimpangan dan kesesatan, amiin.
Sumber: Kitab Sulwanus-Salafiy ‘Inda Kaydil Kholafi hal. 15-21. Karya asy-Syaikh Khalid bin Dhahawi hafizhahullahu Ta’ala.