Bahagia sebenarnya

 

Oleh Ilham Pacitan Takhassus

Siapakah yang tak ingin bahagia? Tentu kita semua pasti mendambakannya. Namun kenyataannya, meski semua orang ingin bahagia, ada diantara mereka yang berhasil meraihnya, namun kebanyakannya gagal.

Atau terkadang dia merasa telah mendapatkan kebahgiaan itu, tapi setelah berjalannya waktu ia tersadar, bahwa bukan bahagia seperti ini yang dia dambakan. Ada juga yang telah berhasil mendapatkannya, namun ternyata, kebahagiaan itu raib ditelan masa.

Lalu bagaimana pandangan syari’at tentang “kebahagiaan”? Dan apakah kebahagiaan itu menurut syari’at Islam?Silahkan ikuti ulasan berikut ini.

 

Berambisi bahagia, bolehkah?

Ambisi untuk memperoleh kebahagiaan dalam hidup bukanlah hal yang tercela, dan tidak disalahkan ketika seorang menempuh sebab-sebabnya, karena hal tersebut merupakan sesuatu yang bermanfaat.

Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu menyampaikan sebuah hadits dari Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam, dimana beliau bersabda:

“احرص على ماينفعك واستعن بالله ولاتعجز”

“Berambisilah untuk memperoleh apa yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah”. (HR.Muslim dalam shahihnya no. 2664)

Dari hadits di atas diketahiu bahwa ambisi untuk meraih kebaikan tidaklah tercela, bahkan diperintahkan atau dianjurkan, dan bahagia merupakan kebaikan, selama cara yang ditempuh untuk meraihnya itu baik juga.

Namun yang tercela adalah berambisi meraih kebahagiaan yang menggunakan cara-cara yang berseberangan dengan syari’at. Sekuat apapun usaha dia dalam meraih kebahagiaan yang seperti ini, ia tak akan menuai hasilnya, karena itu bukanlah kebahagiaan yang sebenarnya, meski sejimpit “bahagia” dapat dia cicipi.

Dan dari sisi inilah kebanyakan manusia terjatuh dalam kekeliruan.

 

Salah paham Bani Adam

Banyak manusia yang mencari kebahagiaan, namun tak mengetahui jalan harus yang ia tempuh. Sehingga mereka hanya berdiri dalam kebimbangan dan kebingungan, atau malah berjalan serampangan menuju “kebahagiaan semu” hinggga datanglah suatu hari dimana mereka meratapi “kebahagiaan semu” itu.

Dalam hal ini Allah Ta’ala menceritakan keadaan mereka dalam ayatNya,

قَالُوا رَبَّنَا غَلَبَتْ عَلَيْنَا شِقْوَتُنَا وَكُنَّا قَوْمًا ضَالِّينَ

”Mereka berkata: wahai Rabb kami, kami telah dikuasai oleh kesengsaraan kami dan kami adalah orang-orang yang sesat” (QS. Al-Mukminun: 106)

Ada pula diantara manusia itu yang menganggap bahwa kebahagiaan itu terletak pada materi, sehingga mereka berlomba-lomba mengumpulkannya. Ada juga yang mencari kebahagiaan dalam jabatan, sehingga merasa rakus untuk meraihnya. Ada pula yang memandang bahwa kebahagiaan adalah dengan memuaskan syawat (nafsu) perut dan kemaluan, sehingga apa saja yang diinginkan oleh perut dan kemaluannya selalu dia turuti.

Semua yang disebutkan ini, tidak lain hanyalah kesenangan hidup di dunia saja, dan akan segera berlalu dan sirna.

Lalu, apa sebenarnya bahagia itu? Untuk mengetahuinya mari kita kenali tanda-tandanya.

 

Tanda bahagia

Jika anda ingin mengetahui tanda-tanda kebahagiaan yang benar, maka renungilah ucapan Abu Abdillah Muhammad bin Abu Bakr, tentang kunci kebahagiaan berikut:

إذا أُعطيَ شكرَ، وإذا اُبْتُليَ صبر، وإذا أذنب استغفر.

”Jika Allah beri dia kenikmatan, maka dia akan bersyukur, jika diberi ujian, dia akan bersabar, namun jika dia berbuat dosa, dia akan meminta ampunan”.

Tiga perkara ini (syukur, sabar dan istighfar) merupakan tanda dan kunci kebahagiaan dan kesuksesan hamba di dunia maupun di akhirat. Seseorang tidak akan bisa terlepas darinya selama-lamanya, keadaannya akan senantiasa berbolak-balik antara tiga hal ini.

Pada kesempatan yang lain Abu Abdillah Muhammad bin Abu Bakr berkata:

”Diantar tanda kebahagiaan dan keberuntungan seorang hamba adalah, ketika semakin bertambah ilmu yang ia miliki, akan semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih sayangnya.

Ketika pertambahan umur yang ia miliki, membuat dia semakin meninggalkan dunia.

Dan ketika hartanya semakin bertambah, semakin membuat dia dermawan.

Semakin bertambah kedudukannya semakin membuatnya lebih dekat dengan orang-orang, dan membuatnya lebih rendah hati, serta bersemangat memenuhi kebutuhan mereka dan rendah hati terhadap orang lain.

Sementara itu diantara tanda kesengsaraan dan celakanya seorang hamba adalah, ketika semakin ilmunya bertambah, semakin membuatnya sombong  diri. Semakin dia rajinberamal, semakin membuatnya congkak, merendahkan manusia dan berbaik sangka kepada dirinya sendiri.

Semakin bertambah umurnya semakin besar ambisi dia untuk menguasai dunia.

Semakin banyak harta yang dia miliki, semakin membuatnya kikir dan enggan memberi. Semakin bertambah kemuliaannya semakin bertambah pula kesombongannya.

Ini merupakan ujian dan cobaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Dia timpakan atas hambanya, maka ada orang yang berbahagia dengannya dan ada pula yang sengsara karenanya.”

 

Kesimpulan

Orang yang benar-benar bahagia adalah yang bersyukur ketika mendapat tambahan nikmat dan bersabar saat nikmat itu hilang. Dia menggunakan nikmat tersebut dalam perkara yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ridhai, sebagai bentuk rasa syukur. Dan enggan menggunakan nikmat itu dalam kemaksiatan kepada Sang Pemberi nikmat.

Dia adalah orang yang suka kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala setiap kali berbuat dosa, dan bertobat dari seluruh dosa yang ia lakukan. Serta enggan menceburkan diri dalam maksiat walaupun di dalamnya ada kenikmatan dan kelezatan sesaat.

Karena itu, jika pembaca mendambakan kebahagiaan sejati, jadikanlah kehidupan anda berkutat antara rasa syukur, sabar dan taubat. Niscaya anda akan mendapatkan kebahagiaan yang hakiki dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam..

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.