Begini Suasana 10 Malam Terakhir Ramadan di Pesantren Minhajul Atsar, Mengharukan!
Oleh Tim Jurnalistik Santri
Kamis, 29 April 2022 M bertepatan dengan 27 Ramadhan 1443 H adalah hari yang ditunggu-tunggu para pendamba lailatul qadar. Memang tidak ada dalil yang secara pasti menetapkan bahwa malam yang lebih baik dari seribu bulan itu jatuh di malam 27. Namun sebagian dalil membawa penjelasan yang mengarah ke sana, ditambah beberapa pendapat ulama salaf yang menguatkannya.
Setiap malam sejak masuknya sepuluh hari terakhir Ramadhan, masjid Ali bin Abi Thalib selalu ‘begadang’ hingga pagi. Para ikhwan mu’takifun (peserta iktikaf) dan santri yang masih tinggal di ma’had terus bersemangat menghidupkan malam menempati setiap sisi ruang masjid. Meski tidak penuh sesak sepeti biasanya karena jumlah keseluruhan jamaah masjid tak lebih dari 50-an, tetap saja suasana di masjid terasa ‘ramai’ dan hidup.
Musabaqah fil Khairat (Berlomba dalam Kebaikan)
Tadi malam (malam ke 27 bulan Ramadan) suasana masjid lebih ramai dari biasanya. Beberapa ikhwan yang bukan jamaah salat tarawih di sana turut hadir menghidupkan malam itu. Anak-anak yang tinggal di kavelingan yang jarang terlihat di malam-malam sebelumnya, kini ikut bergabung pula. Semakin ramai yang hadir, semakin memotivasi untuk terus membaca al-Quran dan menghidupkan malam tanpa henti.
Langit menjadi saksi atas semangat mereka dalam menghidupkan malam itu, juga malam-malam sebelumnya. Salah satu santri yang tinggal di kavelingan (kini duduk di bangku kelas 3 Tahfizh), mengaku dapat bertahan sampai pukul 02.30 pagi tanpa diselingi istirahat untuk tidur atau rebahan.
Baca Juga: Ramadan di Ma’had, Lebih Seru!
Mulai dari bakda isya sampai menjelang sahur, ia mengisi waktunya itu untuk membaca al-Quran. Walaupun berhasil membaca sepuluh juz semalam itu, ia tetap merasa kalah dengan kakak kelas sekaligus tetangganya yang mendapat lebih dari itu.
Persaingan seperti itu kerap terjadi antara mereka, terlebih dalam hal hafalan al-Quran. Santri tadi berhasil menuntaskan hafalannya di kelas dua Tahfizh pada umur lima belasan. Adapun kakak kelasnya sekaligus tetangganya itu telah menghafal seluruh isi al-Quran di bangku kelas enam MTP, saat belum genap empat belas tahun.
Di bulan Ramadhan ini, mereka juga bersaing. Santri tadi mengaku kalah karena baru berhasil mengkhatamkan al-Quran sebanyak tiga kali hingga hari ini. Sedangkan temannya, lebih dari itu.
Motivasi dari Para Tetua
Asatidzah dan orang-orang tua yang tetap bertahan meski kantuk dan pegal menggelayuti tubuh, juga menjadi motivasi tersendiri. Terlebih seorang paruh baya yang turut bergabung malam ini di sudut sana. Dari penampilannya, beliau mungkin yang paling tua di antara seluruh jamaah. Bacaan al-Qurannya terbata-bata, tapi beliau terus bertahan dan kuat hingga menjelang subuh. Semoga usaha dan semangat beliau dibalas oleh Allah dengan balasan yang berlipat.
Nutrisi Agar Kuat
Di bagian belakang masjid, dua meja besar tampak berjejer. Di atasnya tersedia beberapa macam minuman instan, mulai dari jahe merah, hingga kopi hitam. Lengkap dengan termos besar berisi air mendidih di sampingnya. Tak kurang, ada pula potongan-potongan buah semangka siap santap, buah jeruk, dan kelengkeng. Kurma, buah yang identik dengan Ramadan juga selalu setia menemani.
Semuanya hidangan itu disiapkan untuk menemani mereka yang menghidupkan malam itu. Sebagai pengusir kantuk, selingan saat istirahat, dan tambahan nutrisi agar kuat hingga subuh.
Seluruh jamaah masjid malam itu juga mendapat satu cup mie instan. Sebagai penghangat di malam hari saat udara dingin mulai menusuk membuat tulang menggigil dan perut meronta kelaparan.
Artikel Kami: Amalan yang Paling Utama Bagi Wanita Ketika Ramadan