Bergembiralah wahai Ahlus Sunnah!
Oleh Hasan Tamam Takhasus
Allah Ta’ala menciptakan para hamba-Nya untuk beribadah hanya kepada-Nya. Allah menunudukkan kepada mereka semua apa yang ada di langit serta di bumi agar mereka benar-benar mengikhlaskan semua peribadahan hanya untuk Allah semata. Dialah yang Menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian siapkah yang paling baik amalannya.
Kepastian yang tak terelakkan
Sudah menjadi kemestian, setiap hamba yang melakukan perjalanan hidupnya untuk Allah Ta’ala, pasti akan dikitari berbagai syubhat maupun syahwat. Hendaknya orang muslim yang benar-benar beriman kepada Allah agar menghadapi rintangan itu dengan kesabaran, sehingga ia akan selamat di saat kobaran syahwat melanda dan juga menghadapi dengan keyakinan yang lurus yang ia miliki agar bisa kokoh di saat syubhat sedang meluap.
Inilah yang akan menjadikannya termasuk orang-orang yang beruntung lagi kokoh. Allah Ta’ala berkata di dalam al-Qur’an yang mulia:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Sungguh Kami telah menjadikan mereka sebagai pemimpin yang memberi petunjuk sesuai apa yang Kami perintahkan di saat mereka bersabar dan mereka itu yakin terhadap ayat-ayat yang Kami turunkan.” (QS. As-Sajdah: 24)
Syahwat dan syubhat, 2 ujian yang dahsyat
Adapun fitnah syubhat, telah datang penyebutannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dari sekali. Sebagaimana yang beliau kabarkan bahwa umatnya kelak akan terpecah menjadi 73 golongan dan semua kelompok itu akan masuk ke dalam Neraka kecuali satu, yaitu kelompok yang prinsipnya persis dengan Nabi dan para sahabatnya.
Sedangkan fitnah syahwat, disebutkan dalam hadits Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
إِذَا فُتِحَتْ عَلَيْكُمْ فَارِسُ وَالرُّومُ، أَيُّ قَوْمٍ أَنْتُمْ؟» قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ: نَقُولُ كَمَا أَمَرَنَا اللهُ، قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ، تَتَنَافَسُونَ، ثُمَّ تَتَحَاسَدُونَ، ثُمَّ تَتَدَابَرُونَ، ثُمَّ تَتَبَاغَضُونَ، أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ، ثُمَّ تَنْطَلِقُونَ فِي مَسَاكِينِ الْمُهَاجِرِينَ، فَتَجْعَلُونَ بَعْضَهُمْ عَلَى رِقَابِ بَعْضٍ»
“Apabila perbendaharaan bangsa Romawi dan Persia dibukakan untuk kalian, apa yang kalian perbuat? Abdurrahman bin ‘Auf menjawab, ’Kami akan bertindak sebagiamana yang Allah perintahkan.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Atau jangan-jangan kalian akan berlomba-lomba untuk mendapatkannya, kalian saling hasad lalu saling bermusuhan dan seterusnya. Kemudian kalian pergi ke rumah kaum muhajirin yang miskin, dan menjadikan sebagian mereka pemimpin atas sebagian yang lain.” (HR. Muslim no. 2962)
Al-Miswar bin Makhromah bercerita bahwa Amr bin Auf al-Anshori -beliau adalah sekutu Bani Amir bin Lua’y dan salah satu sahabat yang ikut perang Badr- berkata: Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Abu Ubaidah bin al-Jarrah sebagai utusan ke kota Bahrain untuk mengambil Jizyah. Sebelumnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan perjanjian damai dengan penduduk Bahrain dan mengangkat al-Ala’ bin al-Hadhrami sebagai pemimpin mereka.
Singkat cerita, datanglah Abu Ubaidah bin al-Jarrah ke kota Madinah sambil membawa harta dari negeri Bahrain. Berita ini terdengar oleh orang-orang Anshar sehingga menyebabkan mereka terlambat untuk menunaikan shalat shubuh bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelesaikan shalat shubuhnya, beliau langsung menengok mereka sambil tersenyum. Kemudian berkata: “Aku menebak, kalian telah mendengar berita bahwa Abu Ubaidah bin al-Jarrah datang dari Bahrain dengan membawa sesuatu.”
Mereka mengatakan: “Iya, wahai Rasulullah.”
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan: “Bergembiralah dan silahkan kalian mengharapkan apa yang kalian sukai. Demi Allah! Bukanlah soal kemiskinan yang aku khawatirkan atas kalian! Tapi yang aku takutkan adalah dibukakannya pintu dunia atas kalian sebagaimana yang terjadi pada umat terdahulu. Kemudian kalian berlomba-lomba untuk meraihnya sebagaimana mereka dahulu juga berlomba-lomba untuk mendapatkannya dan menghancurkan kalian sebagaimana menghancurkan mereka.” (HR. Al-Bukhori no. 3158 dan Muslim no. 2691)
Sendirian di tengah keramaian
Ketika zaman semakin menua dan semakin jauh dari masa kenabian, berbagai fitnah semakin bermunculan dan ujian hidup di mana-mana. Akhirnya orang yang berusaha berpegang teguh dengan agamanya menjadi asing walaupun ia hidup di tengah-tengah manusia yang banyak. Ya, dia hidup sendirian dalam keasingan agama dan sunnah.
Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:
يَتَقَارَبُ الزَّمَانُ، وَيَنْقُصُ الْعِلْمُ ، وَيُلْقَى الشُّحُّ، وَيَكْثُرُ الهَرْجُ» قَالُوا: وَمَا الهَرْجُ؟ قَالَ: «القَتْلُ القَتْلُ»
“Zaman semakin berdekatan, ilmu agama semakin berkurang, kekikiran semakin merebak, fitnah-fitnah terus bermunculan dan al-Haroj semakin banyak. Para sahabat bertanya, ‘Apa itu al-Haroj wahai Rasulullah? Beliau berkata: ‘Pembunuhan’.” (HR. Al-Bukhori no. 7061 dan Muslim no. 157)
Dari Zubair bin ‘Adi, ia bercerita: “Kami mendatangi Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan mengadukan terkait kekejaman al-Hajjaj bin Yusuf as-Saqofi, maka beliau berkata:
اصْبِرُوا، فَإِنَّهُ لاَ يَأْتِي عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلَّا الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ، حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ» سَمِعْتُهُ مِنْ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Bersabarlah kalian, sungguh tidaklah datang suatu zaman kecuali yang setelahnya lebih jelek kondisinya daripada sebelumnya sampai kalian bertemu Rabb kalian.” Inilah yang aku dengar dari Nabi kalian. (HR. Al-Bukhori no. 7068)
Tips sederhana dari Nabi tercinta
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa semakin jarang seorang hamba sibuk dengan fitnah dan terus berusaha menghindar darinya, niscaya ia akan selamat dari fitnah tersebut. Sebagaimana dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
سَتَكُونُ فِتَنٌ، القَاعِدُ فِيهَا خَيْرٌ مِنَ القَائِمِ، وَالقَائِمُ فِيهَا خَيْرٌ مِنَ المَاشِي، وَالمَاشِي فِيهَا خَيْرٌ مِنَ السَّاعِي، مَنْ تَشَرَّفَ لَهَا تَسْتَشْرِفْهُ، فَمَنْ وَجَدَ مِنْهَا مَلْجَأً، أَوْ مَعَاذًا، فَلْيَعُذْ بِهِ
“Akan bermunculan fitnah-fitnah, orang yang duduk ketika itu lebih baik daripada yang berdiri, yang berdiri lebih baik dari yang berjalan, yang berjalan lebih baik daripada yang berjalan cepat. Barangsiapa yang mencoba mengorek-ngorek tentangnya maka ia akan jatuh ke dalamnya. Maka apabila dia mendapatkan tempat untuk berlindung maka hendaknya ia segera berlindung di tempat itu.” (HR. Al-Bukhori no. 7081 dan Muslim no. 2886)
Sifat untuk orang yang istiqamah
Banyaknya fitnah yang bermunculan, Allah Tabaraka Wa Ta`ala mensifati orang yang taat, yang beriman dan yang bersabar di atas sunnah dengan orang-orang yang asing. Jika dibandingkan dengan orang-orang yang sesat, yang jumlah mereka sangat banyak bagaikan buih-buih yang ada di lautan. Allah Ta’ala berfirman:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلا يَخْرُصُونَ
“Jika kamu mengikuti kebanyakan manusia yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Tidaklah mereka mengikuti, melainkan persangkaan belaka dan hanya berdusta kepada.” (QS. Al-‘anam: 116)
Hadits yang menyebutkan tentang ciri orang-orang yang beriman dan mengikuti sunnah menjuluki mereka dengan orang-orang yang asing dan terpencil. Hal ini mendorong seorang hamba untuk bersabar di atas al-Haq dan Islam, serta bersabar di atas sunnah dan jalannya para salaf sampai ia mendapatkan pahala yang banyak dan derajat yang tinggi. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Islam dimulai dari keasingan dan akan kembali asing sebagaimana pada awalnya. Maka berbahagialah orang-ornag yang asing.”
Demikian juga dari Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata: “Islam dimulai dari keasingan dan nanti akan kembali asing sebagaimana pada awalnya. Maka berbahagialah orang-orang yang asing.” Para sahabat bertanya: ‘Siapa mereka wahai Rasulullah? Beliau berkata, ‘Mereka adalah orang-orang yang memperbaiki kondisi umat di saat manusia merusaknya.’ Dan dalam riwayat yang lain: ‘Siapakah orang-orang yang asing tersebut, wahai Rasulullah?’ Baliau berkata: ‘Orang yang sholeh yang sedikit jumlahnya di tengah-tengah mabnusia yang rusak dan yang bertolak belakang dengan mereka lebih banyak daripada yang menaati mereka.”
Inilah keadaan orang asing
Akan tetapi orang yang bersabar di atas keimanan dan sunnah walaupun mereka hidup di zaman yang asing dan rusak, hati mereka dalam keadaan tenang dan tidak panik. Baik dalam agama, hati, dan keimanan mereka. Karena mereka yakin bahwa dunia itu rendah, hina, dan kesengsaraan hidup itu apabila jauh dari mengingat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kesenangan yang terbesar adalah pendekatan diri kepada Allah Ta’ala dan selalu mengingat-Nya serta beribadah hanya kepada-Nya.
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka tenang dengan mengingat Allah. Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Imam Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata: “Orang yang beragama Islam itu asing di tengah-tengah manusia, dan orang yang beriman itu asing di tengah kaum muslimin. Orang yang berilmu di kalangan kaum mukminin itu asing. Ahlus sunnah yang mengetahui mana ahlul bid’ah dan pengekor hawa nafsu dan memerintahkan untuk terus bersabar terhadap gangguan orang-orang yang menyelisihi manhaj, mereka itulah yang berada pada puncak keterasingan.
Akan tetapi mereka semua itu adalah orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah. Sehingga, sejatinya mereka itu tidaklah asing, hanya saja mereka itu asing jika dibandingkan dengan mayoritas manusia sebagaimana yang dikatakan Allah dalam al-Qur’an:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلا يَخْرُصُونَ
“Kalau engkau mengikuti mayoritas manusia di muka bumi, maka itu akan menyesatkanmu dari jalan Allah yang lurus.” (QS. Al-An’am: 116)
Penutup
Semoga Allah Ta’ala selalu memberikan kepada kita taufik-Nya dalam meniti kebenaran yang kian asing dan memasukkan kita termasuk orang-orang yang kokoh di atas agama-Nya. Amin
Sumber: Kitab Sulwanus Salafy ‘inda Kaydil Kholafi karya Syaikh Kholid bin adz-Dzofiri.