Berkurban Atas Nama Orang Yang Telah Meninggal
Disunnahkan kurban itu dari orang yang hidup bukan dari orang yang mati. Oleh karena itulah itu, Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak pernah berkurban atas nama seorang pun yang telah mati, tidak atas nama istrinya, Khadijah yang paling beliau cintai, tidak pula atas nama Hamzah, paman yang paling beliau cintai, atau atas nama putra-putri beliau yang telah wafat semasa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, padahal mereka adalah bagian dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya berkurban atas nama beliau sendiri dan keluarganya.
Barangsiapa yang berkurban dengan memasukkan orang yang meninggal itu pada keumuman atas nama keluarga maka hal itu masih bisa ditolerir, karena berkurban atas nama si mayit di sini bersifat mengikut saja bukan berdiri sendiri. Tidaklah disyariatkan berkurban atas nama orang yang telah mati secara tersendiri, karena tidak teriwayatkan secara shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Asy-Syarhul Mumti’, 3/423-424)
Namun ada dua keadaan di mana berkurban atas nama si mayit diperbolehkan, yaitu:
1. Karena nadzar. Sang mayit pernah bernadzar untuk menyembelih hewan kurban sebelum wafatnya namun belum terlaksana sampai dia meninggal. Maka ahli warisnya menunaikan nadzarnya, karena termasuk nadzar ketaatan.
2. Karena wasiat. Sang mayit pernah berwasiat sebelum wafatnya, maka wasiat tersebut ditunaikan dengan syarat tidak melebihi dari 1/3 harta warisnya. (Lihat Syarah Bulughul Maram 6/87-88)