Bersikap adil dalam berkata

Makan

 

Oleh Syaikhul Islam Ibnu Tamiyah rahimahullah

 

“وَمَعْلُومٌ أَنَّا إِذَا تَكَلَّمْنَا فِيمَنْ هُوَ دُونَ الصَّحَابَةِ، مِثْلَ الْمُلُوكِ الْمُخْتَلِفِينَ عَلَى الْمُلْكِ، وَالْعُلَمَاءِ وَالْمَشَايِخِ الْمُخْتَلِفِينَ فِي الْعِلْمِ وَالدِّينِ، وَجَبَ أَنْ يَكُونَ الْكَلَامُ بِعِلْمٍ وَعَدْلٍ لَا بِجَهْلٍ وَظُلْمٍ ; فَإِنَّ الْعَدْلَ وَاجِبٌ لِكُلِّ أَحَدٍ عَلَى كُلِّ أَحَدٍ فِي كُلِّ حَالٍ. وَالظُّلْمُ مُحَرَّمٌ مُطْلَقًا، لَا يُبَاحُ قَطُّ بِحَالٍ.

قَالَ تَعَالَى: {وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى}[سُورَةُ الْمَائِدَةِ: 8] وَهَذِهِ الْآيَةُ نَزَلَتْ بِسَبَبِ بُغْضِهِمْ لِلْكَفَّارِ، وَهُوَ بُغْضٌ مَأْمُورٌ بِهِ. فَإِذَا كَانَ الْبُغْضُ الَّذِي أَمَرَ اللَّهُ بِهِ قَدْ نُهِيَ صَاحِبُهُ أَنْ يَظْلِمَ مَنْ أَبْغَضَهُ ، فَكَيْفَ فِي بُغْضِ مُسْلِمٍ بِتَأْوِيلٍ وَشُبْهَةٍ أَوْ بِهَوَى نَفْسٍ؟ فَهُوَ أَحَقُّ أَنْ لَا يَظْلِمَ، بَلْ يَعْدِلَ عَلَيْهِ.”

 

Telah diketahui bersama apabila kita membicarakan seseorang selain sahabat Nabi -radhiyallahu ‘anhum- semisal para raja yang berbeda-beda kerajaannya, para ulama dan masyaikh yang berbeda-beda dalam keilmuan dan (pengetahuannya) terhadap agama, maka perkataan tersebut wajib dibangun di atas ilmu dan keadilan, bukan di atas kejahilan (ketidaktahuan) dan kezaliman. Karena sungguh keadilan itu wajib bagi dan atas setiap individu dalam semua keadaan, serta kezaliman itu haram secara mutlak, tidak dibenarkan dalam keadaan apapun. Allah Ta’ala mengatakan,

“Jangan sampai kebencian kalian kepada suatu kaum menyeret kalian untuk berbuat tidak adil, berbuat adillah! (Karena) perbuatan adil itu lebih dekat dengan ketakwaan.” (QS. al-Maidah: 8)

Ayat ini turun disebabkan kebencian para sahabat terhadap orang-orang kafir, sedangkan kebencian tersebut merupakan kebencian yang diperintahkan. Apabila kebencian yang Allah Ta’ala perintahkan saja pelakunya dilarang dari berbuat zalim terhadap orang yang ia benci, maka bagaimana jika yang dibenci adalah seorang muslim dengan kebencian yang disertai dengan takwil (penyelewengan) dan syubhat (kerancuan) atau hawa nafsu ? Maka ia lebih berhak untuk tidak berbuat zalim, bahkan ia harus berlaku adil terhadapnya.

Dinukil dari kitab “Minhajus Sunnah an-Nabawiyyah” karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (5/126-127).

 

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.