Kaedah-Kaedah Penting dalam Menghadapi Fitnah (Bagian 2)

DARS USTADZ LUQMAN BA’ABDUH HAFIZHAHULLAH  11 SHAFAR 1438 H/10 NOVEMBER 2016 M (MAGHRIB-ISYA’) DI MASJID MA’HAD AS SALAFY

Sekali lagi kita ingatkan, penting bagi kita untuk berpegang dengan kaedah-kaedah islami dalam menghadapi fitnah.

Berikut kaedah-kaedah penting selanjutnya;

7. at-Tamassuk Bi Kitabillah Wa Sunnati Rasulihi Wa Raddul Amri Ila Ahlihi (Berpegang Teguh dengan Kitabillahi (al-Qur’an) dan as-Sunnah (al-Hadits) Serta Mengembalikan Segala Permasalahan kepada Ahlinya)

Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya), “Jika kalian berselisih dalam sesuatu perkara, maka hendaklah kalian mengembalikannya kepada (Kitab) Allah dan (Sunnah) Rasul-Nya. Jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian adalah lebih baik (bagi kalian), dan lebih elok pula kesudahannya.(an-Nisa’: 59)

Janganlah kalian mengembalikan urusan kalian kepada logika-logika manusia, juga tidak pada suatu sistem tertentu seperti demokrasi dan lain-lain, tapi kembalikanlah segala urusan kalian kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda (artinya), “Aku meninggalkan untuk kalian 2 hal, yang jika kalian berpegang teguh dengannya, kalian tidak akan sesat selama-lamanya. Yaitu kitabullah (al-Qur’an) dan sunnah Rasul-Nya (al-Hadits)”. (HR. Malik)

Seorang muslim bagaimanapun kondisinya dan kapanpun akan senantiasa mencari dalil-dalil al-Qur’an atau hadits dalam bersikap.

Contohnya permasalahan yang sedang hangat saat ini, yaitu penistaan terhadap al-Qur’an. Bagaimana seharusnya sikap seorang muslim atas hal tersebut? Apakah al-Qur’an dan as-Sunnah membimbing untuk melakukan demonstrasi?! Tentu jawabannya tidak, untuk itu kita tidak boleh melakukan demonstrasi karena hal tersebut adalah kebiasaan atau adat orang kafir,  jelaslah bahwa hal tersebut batil.

Juga hal yang penting di hari-hari fitnah ini, hendaknya kita mengambil (menjadikan dalil) ayat-ayat muhkamat dan meninggalkan ayat-ayat mutasyabihat.

Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya), “Dia lah yang menurunkan kepadamu (wahai Muhammad) Kitab Suci Al-Quran. Sebagian besar dari Al-Quran itu ialah ayat-ayat “Muhkamaat” (yang jelas maksudnya); ayat-ayat Muhkamaat itu ialah ibu (atau pokok) isi Al-Quran. Dan yang lain lagi ialah ayat-ayat “Mutasyaabihaat” (yang samar-samar, tidak terang maksudnya)

Begitu juga dalam berdalil dengan hadits, ambillah hadits-hadits yang muhkamat.

Contoh hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (artinya), “Barang siapa yang hendak menasehati pemerintah, maka janganlah menyampaikannya secara terang-terangan”. (HR. Ibnu Abi Ashim fi As Sunnah: 2/507)

Di sana ada hadits yang mutasyabih, yaitu sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam (artinya), “Seutama-utama jihad adalah kalimat haq di hadapan penguasa yang jahat” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam (عند سلطان) “dihadapan” bermakna menasehati penguasa haruslah secara langsung bertemu dengan beliau, bukan di hadapan masyarakat dengan berdemonstrasi.

Jika ada yang mengatakan, cara tersebut tidak efektif. Dalam hal ini, Nabi shallallahu alaihi wasallam membimbing lewat haditsnya (artinya), “Jika (nasehat itu) diterima maka itu yang diharapkan, jika tidak maka engkau telah menunaikan kewajibanmu” (HR. Ahmad, al-Baihaqi dan Ibnu Abi Ashim)

Kemudian, terkait penistaan terhadap al-Qur’an, maka kita sebagai umat islam pun marah dan tidak rela, namun untuk menyikapi hal tersebut tetap harus berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah.

Sebagaimana kisah Dzul Quwaishirah yang mengatakan kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam (artinya), “Bersikap adillah (dalam membagi) wahai Muhammad, sungguh engkau tidak bersikap adil”. Umar radhiyallahu anhu pun bangkit berdiri seraya mengatakan (artinya), “Biarkan aku memenggal kepalanya ya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Kholid bin Walid radhiyallahu anhu juga mengatakan hal yang sama. Akan tetapi Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang mereka berdua.

Lihatlah 2 sahabat yang mulia ini, meskipun begitu marah dan murka, tapi mereka tetap patuh dan bersikap dengan bimbingan Nabi shallallahu alaihi wasallam, tidak lantas terbawa emosi.

8. At-Tabayyun Wat Tatsabbut Wa Adamil Qabul Illa Minats Tsiqat (Menganalisis dan Mengkroscek Kebenaran Kabar serta Tidak Menerima Suatu Kabar Kecuali dari Orang yang Terpercaya)

Alah subhanahu wata’ala berfirman (artinya), “Wahai orang-orang yang beriman! Jika datang kepada kalian seorang fasik membawa suatu berita, maka selidikilah (untuk menentukan) kebenarannya, supaya kalian tidak menimpakan kepada suatu kaum dengan perkara yang tidak diingini, dengan sebab kejahilan kamu (mengenainya), sehingga menjadikan kamu menyesali apa yang kamu telah lakukan(al-Hujurat: 6).

Jangan segera percaya dengan kabar-kabar yang datang dari sumber yang tidak jelas, terlebih jika kabar tersebut datang dari orang-orang fasik. Sehingga sepatutnya bagi kita untuk tidak membuka pintu masuknya kabar-kabar yang tidak bisa dipertanggung jawabkan.

 

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.