Cara meraih kebaikan dan surga

Oleh Takmili 1A
Tafsir surat Ali Imran ayat: 92-93
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ () كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلًّا لِبَنِي إِسْرَائِيلَ إِلَّا مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيلُ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ قُلْ فَأْتُوا بِالتَّوْرَاةِ فَاتْلُوهَا إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Kamu tidak akan memperoleh kebaikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh, Allah maha mengetahui. (92) Semua makanan dahulu halal bagi Bani Israil, kecuali makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’qub) atas dirinya sebelum Taurat diturunkan. Katakanlah: ‘(Jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan sebelum turun Taurat), maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah jika kamu orang-orang yang benar.’”
Tujuan diturunkannya al-Qur’an
Pembaca yang semoga dirahmati Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sesungguhnya di antara kesempurnaan hikmah sang pencipta adalah dengan menurunkan al-Qur’an yang terkandung di dalamnya makna-makna yang luar biasa. Sebagaimana firman-Nya:
كتاب أنزلناه إليك مبارك ليدبروا آياته وليتذكر أولو الألباب
“Kitab (al-Qur’an) yang kami turunkan kepadamu penuh barakah agar mereka menghayati ayat-ayatnya, dan agar orang-orang yang berakal sehat dapat mengambil pelajaran.” (QS. Shaad : 29)
Kandungan tersebut tidak akan bisa tampak dengan jelas, kecuali dengan bimbingan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan juga para pewaris beliau yang kokoh dalam keilmuan.
Di antara mereka adalah asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di –rahimahullah-. Beliau membuat karya monumental dalam bidang tafsir yang berjudul “Taisirul Karimir Rahman”.
Hasungan berinfak
Dalam kesempatan kali ini, kita akan membahahas ayat 92-93 dari surat Ali Imran. Dimulai dari firman Allah Ta’ala:
((لن تنال البر حتى تنفقوا مما تحبون وما تنفقوا من شئ فإن الله به عليم))
“Kamu tidak akan memperoleh kebaikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh, Allah maha mengetahui.”
Al-Imam Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menjelaskan tentang ayatnya tersebut:
“Ini adalah hats (hasungan) dari Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya untuk berinfak di jalan-jalan kebaikan.
Al-Hats dalam ayat tersebut bermakna al-Hadh (hasungan). Sebagaimana firman-Nya:
ولا يحض على طعام المسكين
”Dan tidak menghasung untuk memberikan makan orang miskin.” (QS. Al-Ma’un: 3)
Makna al-Birr di dalam ayat
Allah Ta’ala menyebutkan:
لن تنال البر
Al-Birr dalam ayat ini memiliki tiga makna:
- Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari shahabat Nawwas bin Sam’an. Bahwasanya dia bertanya kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– tentang “al-birr” dan “al-Itsm”, maka nabi menjawab,
(( البر حسن الخلق ))
“Al-Birr adalah akhlaq yang baik”
- Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, dan Mujahid bin Jabr –radhiyallahu Ta’ala ‘anhum-. Mereka berkata:
(( البر هو الجنة ))
“Al-Birr adalah al-jannah (surga)”
- Al-Imam as-Sa’di –rahimahullah– menggabungkan antara makna-makna di atas menjadi: “Setiap kebaikan dari berbagai macam ketaatan yang bisa mengantarkan pelakunya ke surga.”
Berinfak dengan harta yang dicintai
Sedangkan potongan ayat:
(( مما تحبون ))
“Dari harta yang kalian cintai”
Yakni, harta-harta yang mereka cintai dan memiliki nilai tinggi di sisi mereka. Dan dalam kategori tersebut mencakup 3 hal:
- Kecintaan sang pemilik terhadap harta tersebut.
- Kebutuhannya akan apa yang dia infakkan.
- Kondisi tubuhnya yang sehat.
Jika mereka menginfakkan harta-harta yang mereka cintai tersebut, maka menunjukkan dan mengindikasikan akan jujurnya keimanan, baiknya hati, serta kuatnya ketakwaan mereka.
Dan perlu diketahui, kebaikan itu sendiri dapat bertambah dan berkurang sebagaimana keimanan. Sebagai gambaran: Pada bulan Ramadhan Zaid menginfakkan uang sebanyak Rp100.000,- dalam keadaan tidak memiliki uang kecuali itu. Kemudian dia menginfakkan Rp100.000,- pada bulan Dzul Hijjah dalam keadaan memiliki uang Rp1 juta. Maka infaknya di bulan Ramadhan lebih utama daripada infaknya di bulan Dzul Hijjah.
Apakah berinfak dengan harta yang tidak dicintai akan mendapatkan pahala?
Pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah Ta’ala, firman Allah ‘Azza wa Jalla yang berbunyi:
(( مما تحبون ))
“Dari harta yang kalian cintai”
Tidak terbatas pada harta terkhusus saja. Akan tetapi ayat tersebut mencakup seluruh harta yang diinfakkan, baik yang kita cintai maupun tidak, baik dalam bentuk uang maupun yang lainnya.
Mungkin pada ayat ini menimbulkan pertanyaan di benak kita, apakah harta yang kita cintai saja yang mendapat pahala? Tentu tidak,karena Allah Ta’ala berfirman pada lanjutan ayatnya:
(( وما تنفقوا من شئ فإن الله به عليم ))
“Dan apapun yang kamu infakkan, tentang hal itu, sungguh Allah Maha Mengetahui”
Kata ‘شئ’ (sesuatu) di atas bermakna umum, sehingga kita juga bisa menginfakkan harta yang tidak kita sukai. Akan tetapi berbeda dari sisi keutamaan dan pahalanya. Allah Ta’ala berfirman:
(( و آتى المال على حبه ))
“Dan dia menginfakkan dari harta yang disukainya” (QS. Al-baqarah: 177)
Sebagaimana juga kisah Abu Thalhah –radhiyallahu ‘anhu– yang menginfakkan kebun bairuha’ yang merupakan kebun kesukaannya, dalam rangka ikhlas karena Allah Ta’ala dan mengharap pahala di sisi-Nya.
Menetapkan sifat ilmu terhadap Allah Ta’ala
Pada firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
(( فإن الله به عليم ))
“Tentang hal itu, sungguh Allah Maha Mengetahui”
Terdapat penetapan sifat ‘al-Ilm’ (Ilmu) terhadap Allah ‘Azza wa Jalla. Allah Ta’ala mengetahui niat-niat kita dan mencatatnya di lembaran kebaikan sesuai dengan kadar keikhlasan, serta memberi pahala kepada kita.
Pengingkaran Yahudi terhadap syariat Allah Subhanahu Wa Ta’ala
Pembahasan berikutnya dari surat Ali Imran ayat 93 :
(( كل الطعام كان حلا لبني إسرائيل إلا ما حرم إسرائيل على نفسه ))
“Semua makanan itu halal bagi Bani Israil, kecuali makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’qub) atas dirinya.”
Pada ayat ini terkandung bantahan Allah Ta’ala terhadap keyakinan Yahudi yang batil. Yaitu mereka mengingkari adanya an-Nasikh wal-Mansukh (penghapusan hukum atau lafal ayat) dalam syariat.
Oleh karenanya mereka mengingkari dan tidak mau beriman kepada Nabi Isa dan Nabi kita Muhammad –shallahu ‘alaihima wa sallam-. Karena kedua Nabi ini datang dengan sesuatu yang menyelisihi (bagi mereka) sebagian hukum yang terkandung pada taurat, dengan adanya penghalalan dan pengharaman.
Siapakah yang dimaksud dengan Israil dan Bani Israil pada ayat di atas?
Israil adalah Nabi Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim –‘alaihimussalam-. Bani Israil adalah sebuah kaum yang terlahir dari keturunan Nabi Ya’qub –‘alaihissalam-, dan mereka terdiri dari 12 orang. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah Ta’ala dalam surat al-A’raf ayat 160:
(( وقطعناهم اثنتي عشرة أسباط الأمما ))
“Dan kami membagi mereka menjadi 12 suku.”
Dalam ayat lain juga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebutkan:
(( إذ قال يوسف لأبيه يا أبت إني رأيت أحد عشر كوكبا والشمس والقمر رأيتهم لي ساجدين ))
“Tatkala Yusuf menceritakan kepada ayahnya, ‘Wahai ayahku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpiku 11 bintang, matahari, dan bulan. Semuanya sujud kepadaku.’” (QS. Yusuf: 4)
Dijelaskan oleh ulama’ tafsir tentang ayat ini, bahwa 11 bintang itu adalah saudara-saudara Yusuf ‘alaihissalam, sedangkan matahari dan bulan adalah ayah dan Ibu beliau.
Penutup
Sekian, semoga bermanfaat bagi para penelaah, pembaca, dan penulisnya sendiri. Amin.
Referensi:
- Al-Qur’anul Karim
- Tafsir as-Sa’di
- Tafsir Ibnu Katsir