Cara mudah membayar fidyah

 

Oleh Aufa Sunda Takhasus

 

Pembaca yang semoga Allah rahmati, pada pembahasan sebelumnya kita telah mengetahui bahwa salah satu pengganti puasa adalah fidyah. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini kita akan membahas tentang fidyah lebih rinci lagi.

 

Makna fidyah

Makna fidyah secara bahasa adalah sesuatu yang diberikan untuk menebus. Di antara penggunaan kata fidyah adalah fidyatul asir (tebusan untuk tawanan perang). Adapun yang diinginkan dalam pembahasan fikih adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan disebabkan melanggar larangan atau meninggalkan kewajiban.[1]

Meninggalkan puasa wajib karena udzur termasuk meninggalkan kewajiban sehingga perlu adanya tebusan, di antaranya dengan fidyah.

 

Macam-macam fidyah

Jika kita menelaah kitab-kitab fikih para ulama, kita akan mendapati fidyah bukan istilah untuk pengganti puasa saja. Bahkan pembahasan fidyah secara rinci dibahas pada permasalahan haji. Jadi ringkasnya fidyah terbagi dua:

  1. Fidyah untuk mengganti puasa.
  2. Fidyah untuk menebus pelanggaran dalam ibadah haji.

Namun pembahasan fidyah kita kali ini, khusus membahas fidyah penggati puasa.

 

Ukuran fidyah

Dalam hal ini ulama berbeda pendapat, ringkasnya kita ambil dua pendapat saja:

  1. Disebutkan pada pembahasan sebelumnya salah satu pendapat ulama madzhab Hanbali bahwa ukuran fidyah adalah setengah sha (±1,125 kg) dengan makanan pokok yang sesuai dengan negerinya seperti beras, kurma, atau gandum.

Pendapat ini adalah pendapat yang mensyaratkan at-Tamlik (hak milik) untuk bisa dimanfaatkan baik di masak atau dijual. Dalilnya dengan mengqiyaskan hadits Ka’ab bin Ujrah dalam masalah fidyah adza (menebus karena melakukan pelanggaran dengan sebab syar’i, yaitu disebabkan penyakit).

أَوْ أَطْعِمْ سِتَّةَ مَسَاكِينَ، لِكُلِّ مِسْكِينٍ نِصْفَ صَاعٍ

Atau engkau beri makan enam orang miskin, bagi masing-masingnya beri setengah sha.” [HR. Al-Bukhari no. 1816 dari sahabat Ka’ab bin Ujrah]

 

  1. Adapun yang dipilih oleh Syaikh Ibnu al-Utsaimin rahimahullah tidak ada ukuran tertentu dan tidak dipersyaratkan at-Tamlik.

Semuanya dikembalikan pada keumuman lafadz memberi makan yang dikenal oleh masyarakat setempat. Menurut pendapat ini, jika orang yang hendak membayar fidyah dengan memberi makan siang atau makan malam pada seorang miskin ia telah membayar fidyah. Namun jika ingin memberi makanan mentah maka dengan ukuran pendapat di atas yaitu setengah sha’.

Beliau berdalil dengan amalan sahabat Anas radhiayallah ‘anhu ketika sudah tua renta,

ضَعُفَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ – رضي الله عنه – عَنِ الصَّوْمِ قَبْلَ مَوْتِهِ عَامًا , فَأَفْطَرَ فَصَنَعَ جَفْنَةً مِنْ ثَرِيدٍ وَدَعَا ثَلاَثِينَ مِسْكِينًا فَأَشْبَعَهُمْ

Sahabat Anas tidak mampu berpuasa pada tahun sebelum beliau meninggal, iapun tidak berpuasa dan membuat             tsarid[2], kemudian mengundang 30 orang miskin untuk makan dan beliau membuat mereka kenyang.” [Dishahihkan oleh al-Albani dalam kitab al-Irwa 4/21]

 

Syaikh Ibnu al-Utsaimin berkata, Kesimpulannya barang siapa yang lemah untuk berpuasa dan kelemahannya tidak ada harapan hilang, maka wajib baginya untuk memberi makan setiap harinya satu orang miskin. Sama saja baik dengan cara memberinya makan atau memberi (makanan pokok) untuk menjadi miliknya.[3]

 

Bentuk fidyah

Dalam bentuk apakah fidyah pengganti puasa dikeluarkan? Bolehkah bayar fidyah dengan uang? Mungkin itulah pertanyaan yang sering terungkap ketika seorang hendak membayar fidyah.

Fidyah pengganti puasa ada dua bentuk:

  1. Dengan memberi makan, baik makanan mentah atau matang sesuai ukuran yang telah ditentukan syariat. Pada bentuk ini ulama sepakat akan kebolehannya.

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“Wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) untuk membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.” [QS. Al-Baqarah: 184]

Pada ayat di atas disebutkan secara tegas bahwa fidyah dibayar dengan memberi makan. Sahabat Anas menerapkan ayat ini dengan memberi makanan matang siap saji sebagaimana telah disebutkan di atas.

 

  1. Fidyah dengan uang seharga dengan makanan. Namun pada bentuk ini ulama berbeda pendapat akan kebolehannya. Di antara ulama yang membolehkannya adalah madzhab Hanafi. Jumhur ulama tidak membolehkan membayar fidyah dengan uang.

Alasan ulama yang tidak mmbolehkannya karena tidak ada dalil yang menunjukan hal tersebut, bahkan dalil yang ada hanya menggunakan kata it’am yang berarti memberi makan. Padahal di zaman Nabi shallallau ‘alaihi wa sallam juga sudah ada uang.

Namun pada satu kondisi boleh membayarnya dengan uang, yaitu jika di tempatnya tidak ada orang miskin atau ia ingin membayarnya kepada saudaranya yang miskin yang betempat tinggal jauh dari rumahnya. Ia mengirimkan uang tersebut kepada yang ia percaya. Namun tetap ketika akan diberikan kepada miskin harus dalam bentuk makanan bukan uang.

 

Kepada siapakah fidyah diberikan?

Jawabannya hanya kepada fakir miskin. Pembayaran fidyah tidak sama dengan zakat, dimana golongan penerima zakat bukan hanya fakir miskin saja.

Jumlah orang miskin yang akan diberi fidyah harus sejumlah dengan hari yang ia tinggalkan. Tidak boleh baginya membayarkan tiga puluh fidyah untuk satu orang miskin. Ini adalah pendapat Syaikh al-Utsaimin. Beliau berdalil dengan salah satu Qira’ah yang masyhur, dimana lafadz miskin pada surat al-Baqarah ayat 184 di baca dengan jamak yaitu masaakiin artinya orang-orang miskin.

 

Oleh karena itu, fidyah harus diberikan kepada orang miskin. Masing-masing dari puasa yang ditinggalkan diberikan kepada orang yang berbeda. Sebagimana yang dilakukan sahabat Anas, beliau mengundang tiga puluh orang.

 

Waktu pembayaran fidyah

Seorang diberi keluasan untuk memilih, apakah ia akan membayarnya setiap hari, satu orang miskin. Atau ia akhirkan sampai selesai Ramadhan, kemudian membayarnya sekaligus dalam satu waktu. Sebagaimana yang diamalkan oleh sahabat Anas. Dengan syarat, ia membayarnya setelah dipastikan tidak berpuasa pada hari yang akan ia ganti dengan fidyah.

Tidak boleh baginya mendahulukan fidyah sebelum berlalunya hari puasa yang wajib ia ganti, sebab bagi yang mendahulukan fidyah sama halnya seperti orang yang mendahulukan puasa. Bolehkah kita berpuasa Ramahan pada bulan Sya’ban? tentu jawabannya tidak boleh.

 

Demikian ulasan fidyah yang lebih meluas dari pembahasan sebelumnya, semoga kita diberikan taufik untuk beramal sesuai sunnah. Amin

Disadur dari kitab-kitab fikih dan fatwa.

 

 

[1] AsySyarhu alMumti’ (7/167).

[2] Makanan terbuat dari campuran roti dengan daging dan kuah.

[3] Syarh al-Mumti’ 6/ 340.

 

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.