Hukum Mencela Ulama yang Terjatuh Pada Kesalahan

Hukum Mencela Ulama yang Terjatuh Pada Kesalahan

 

Terjemah fatwa oleh Rezky Palu, Takmili

 

Tahukah Anda bahwa Islam mengajarkan cara menyikapi orang yang terjatuh pada kesalahan? Termasuk, Islam juga membedakan antara sikap terhadap orang biasa yang terjatuh pada kesalahan dengan sikap terhadap orang-orang besar (ulama, dsb.) yang terjatuh pada kesalahan. Lalu, bolehkah menjatuhkan kehormatan orang yang bersalah? Apa hukum mencela ulama yang terjatuh pada kesalahan? Inilah jawabannya dari Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.

Hukum Mencela Ulama yang Terjatuh Pada Kesalahan

Pertanyaan

Apa hukum orang yang menjadikan kesalahan ulama sebagai alasan untuk mencela dan menuduh mereka dengan kebohongan? Apa nasihat Anda untuk para penuntut ilmu tentang hal ini?

 

Jawaban

Tidak dipungkiri lagi bahwa para ulama terkadang salah dan terkadang benar. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang maksum (tidak pernah salah). Maka tidaklah pantas (bahkan tidak boleh) kita menjadikan kesalahan mereka sebagai alasan untuk mencela mereka. Karena memang berbuat salah adalah tabiat manusia ketika mereka tidak mendapatkan kebenaran.

Justru yang wajib bagi kita ketika mendengar kesalahan dari seorang alim, dai atau imam masjid, hendaknya kita menghubungi (bertanya) kepada orang tersebut sampai jelas bagi kita (bahwa dia memang salah). Karena bisa jadi yang salah adalah orang yang menukilkannya, atau terjadi kesalahpahaman terhadap ucapannya, atau ada orang dengan niatan buruk yang ingin mencemarkan nama baiknya. Hal ini (perlu diperhatikan).

 

Intinya, siapa yang mendengar sesuatu yang tidak pantas tentang seorang alim, dai, imam masjid, atau siapa pun yang memiliki otoritas, wajib baginya untuk menghubungi dan bertanya: “Apakah dia benar-benar melakukan hal tersebut ataukah tidak?”

Lalu jika ternyata dia memang melakukannya, jelaskan kepadanya apa yang menurutmu salah. Bisa jadi dia memang benar-benar salah, akhirnya dia rujuk dari kesalahan tersebut. Atau malah dia yang benar, maka dia harus menjelaskan kebenaran ucapannya, agar tidak ada kekacauan yang biasa terjadi terlebih di kalangan anak muda.


Baca Juga: Meraup Berkah dengan Tetap Bersama Ulama Kibar


Wajib bagi para pemuda dan selain mereka jika mendengar hal yang seperti itu, untuk menahan lisan dan berusaha menasihati. Lalu menghubungi orang yang mereka mendengar berita tentangnya agar jelas pekaranya.

Adapun gosip di majelis-majelis (terlebih yang sifatnya umum), ketika ada yang mengatakan, ‘Apa pendapatmu tentang Fulan?’ ‘Apa juga pendapatmu tentang Fulan lain yang berlawanan dengan (Fulan) lainnya?’ Maka hal ini tidak pantas untuk disebarkan, karena akan menimbulkan fitnah dan kekacauan, wajib menjaga lisan.

 

Nasehat Nabi untuk Menjaga Lisan

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada sahabat Muadz bin Jabal radhiyallahu ’anhu:

أَلَا أُخْبِرُكَ بِمِلَاكِ ذَلِكَ كُلِّهِ؟ فَقُلْتُ لَهُ: بَلَى يَا نَبِيَّ اللهِ. فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ، فَقَالَ: ” كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ؟ فَقَالَ: ” ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ، وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ، أَوْ قَالَ: عَلَى مَنَاخِرِهِمْ، إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ؟

“Maukah aku memberitahumu kunci dari semua itu? Aku berkata: ‘Tentu wahai Rasullah’, Beliau pun menarik lidahnya dan berkata: ‘Tahanlah olehmu ini (lidah).’ Aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, apakah kita bisa diazab karena ucapan kita?’ Rasulullah bersabda, ‘Celaka kamu wahai Muadz, bukankah manusia diseret ke neraka di atas wajah-wajah mereka (dalam riwayat lain beliau bersabda: ‘Di atas hidung-hidung mereka.’) tidak lain karena ulah lisan-lisan mereka.” (HR. Ahmad 5/231)

 

Aku menasihati thalabatul ilmi (para penuntut ilmu) dan selain mereka untuk bertakwa kepada Allah Taala dan tidak menjadikan kehormatan para ulama sebagai tunggangan yang dapat ditunggangi seenaknya. Jika menggibahi orang awam saja sudah termasuk dosa besar, bagaimana dengan menggibahi para ulama dan pemerintah? Tentu dosanya jauh lebih besar.

Semoga Allah Taala menjaga kita dan kalian semua dari perkara yang Dia benci. Semoga pula Dia menjaga kita dari perkara yang dapat menyebabkan permusuhan di antara kita. Sesungguhnya Dia Maha Dermawan lagi Maha Mulia.

Sumber fatwa: Kitabul Ilmi karya Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah fatwa no.101, dengan penambahan subjudul.


Artikel Kami: Kesudahan Orang-Orang yang Mencela Para Sahabat Nabi


 

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.