Kedudukan Niat dalam Suatu Amalan

(( والنية شرط لسائر العمل بها الصلاح والفساد للعمل ))
“Niat adalah syarat bagi seluruh amalan
Dengannya ditentukan baik dan rusaknya suatu amalan”
Kaedah di atas ini termasuk kaedah yang paling penting dan paling utama. Kaedah ini masuk pada seluruh pembahasa bab-bab ilmu. Sahnya amalan badan dan amalan harta; baik berupa amalan-amalan hati maupun amalan-amalan anggota badan ditentukan oleh niat. Rusaknya amalan-amalan tersebut pun berdasarkan rusaknya niat.
Jika benar niatnya, maka ucapan dan perbuatan pun juga akan benar. Jika rusak niatnya, rusak juga ucapan dan perbuatannya. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,
(( إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ, وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِىءٍ مَانَوَى ))
“Sesungguhnya suatu amalan itu tergantung pada niatnya. Seseorang hanya akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR. al-Bukhari no: 1 dan Muslim no: 1907).
Niat memiliki 2 tingkatan:
Tingkatan Pertama: Niat yang membedakan suatu kebiasaan dengan ibadah. Yang demikian ini misalnya puasa. Puasa adalah amalan meninggalkan makan dan minum atau yang semisalnya. Akan tetapi terkadang manusia meninggalkan makan dan minum karena kebiasaan tanpa di dasari niat untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata’ala dalam amalannya itu. Tapi terkadang ia melakukannya pula untuk sebuah ibadah. Maka butuh perbedaan antara keduanya (dengan niat, pen).
Tingkatan Kedua: Niat yang membedakan antara ibadah yang satu dengan yang lainnya. Sebagian ibadah hukumnya fardhu ‘ain, sebagian lagi hukumnya fardhu kifayah, sunnah ratibah atau witir, bahkan sebagian yang lain hukumnya sunnah mutlak. Maka perlu adanya perbedaan (dengan niat, pen).
Dan yang juga termasuk tingkatan niat adalah al-ikhlas, ini adalah nilai tambah dari hanya sekedar niat untuk beramal. Yaitu harus terpenuhi niat nafsul amal (niat melakukan suatu amalan), serta niat al-ma’mul lahu (niat untuk siapa dia beramal). Maka inilah yang disebut ikhlas, yaitu seorang hamba memaksudkan amalannya (nafsul amal) untuk mengharap wajah Allah subhanahu wata’ala (al-ma’mul lahu), dan tidak menginginkan selain-Nya.
Sumber: al-Qawaid al-Fiqhiyah (al-Mandzumah Wa Syarhuha) karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah