Keutamaan Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijjah

(Muhadharah Asy-Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah)

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat dan salam selalu tercurah kepada hamba dan Rasul-Nya yaitu nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan shahabat beliau semuanya.

Amma ba’du,

Sesungguhnya kita berada di ambang pintu hari-hari yang penuh barakah, yaitu sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah yang telah Allah subhanahu wata’ala berikan keutamaan dan Allah letakkan padanya kebaikan yang banyak bagi hamba-hamba-Nya. Tidak diragukan lagi bahwa kehidupan seorang muslim seluruhnya adalah baik jika dimanfaatkan untuk beribadah kepada Allah ta’ala dan amal shalih. Seluruhnya adalah baik sejak dia mencapai umur dewasa sampai Allah wafatkan dia, jika Allah memberi dia taufik untuk bisa memanfaatkan masa hidupnya untuk beramal shalih yang dengannya akan sejahtera kehidupan akhiratnya.

 

Maka barangsiapa yang menjaga kehidupan dunianya ini dalam ketaatan kepada Allah, maka Allah akan menjaga kehidupan akhiratnya, dan dia akan mendapati buah kebaikan yang telah dia usahakan di sisi Allah dan kebaikan itu terus berlipat ganda. Dan barangsiapa yang menyia-nyiakan dunianya, maka akan hilang (kebahagiaan) akhiratnya, dia akan merugi di dunia dan akhirat, itulah kerugian yang nyata.

Seluruh kehidupan seorang muslim adalah baik. Namun barangsiapa yang Allah ‘azza wajalla beri keutamaan padanya, dia akan memanfaatkan waktu-waktu yang memiliki keutamaan melebihi hari-hari yang lain itu untuk menambah amalan-amalan shalih, sehingga dia mendapatkan pahala yang berlipat ganda. Ada bulan Ramadhan yang penuh dengan barakah dan kebaikan, amalan-amalan shalih dilipatgandakan pahalanya. Dan pada bulan Ramadhan ada suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan yaitu Lailatul Qadar.

Dan ada pula sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah yang Allah jalla wa’ala telah bersumpah dengannya di dalam Al-Qur’an:

وَالْفَجْرِ وَلَيَالٍ عَشْرٍ

“Demi fajar, dan demi malam-malam yang sepuluh” [Al-Fajr: 1-2]

 

‘Malam-malam yang sepuluh’ adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah sebagaimana telah masyhur di kalangan ulama. Allah ta’ala bersumpah dengannya karena kemuliaan dan keutamaan padanya, karena sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala bersumpah  dengan makhluk-Nya sesuai dengan kehendak-Nya, dan tidaklah Allah bersumpah kecuali kepada sesuatu yang memiliki keagungan dan kemuliaan, yang hamba-hamba ini akan memberikan perhatian kepadanya. Allah bersumpah dengan (sepuluh hari pertama Dzulhijjah) ini karena kemuliaan dan keutamaan yang ada padanya, agar hamba-hamba ini lebih memperhatikannya.

Dan dikatakan juga bahwasanya ini adalah sepuluh hari yang Allah sempurnakan untuk Nabi Musa ‘alaihissalam:

وَوَاعَدْنَا مُوسَى ثَلاثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ

“Dan Kami janjikan pada Musa setelah malam tiga puluh dan kami sempurnakan baginya (dengan tambahan) sepuluh malam” [Al-A’raf: 142]

Mereka (sebagian ulama) berkata: Wallahu a’lam bahwa sepuluh hari itu adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.

Dan Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأَنْعَامِ

“Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan atas rizqi yang telah Allah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.” [Al-Hajj: 28]

Ini adalah hari-hari yang telah di tentukan.

Adapun hari-hari yang telah dihitung sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya ta’ala:

واذكروا الله في أيام معدودات

“Dan sebutlah Allah dalam hari-hari yang telah dihitung” [Al-Baqarah: 203]

maka itu adalah hari-hari Tasyriq.

Berdzikir (menyebut) Nama Allah pada hari-hari yang telah di tentukan, akan disebutkan nanti apa saja yang diucapkan dari dzikir-dzikir pada hari-hari itu.

 

Dan di antara keutamaan sepuluh hari pertama Dzulhijjah adalah bahwasanya pada hari-hari itu terdapat hari ‘Arafah yaitu hari yang kesembilan. Suatu hari yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sabdakan (tentang puasa di hari itu):

أحتسب على الله أن يكفر السنة الماضية، والسنة المستقبلة

“Aku berharap kepada Allah agar mengampuni dosa (orang yang berpuasa ‘Arafah) pada tahun yang lalu dan tahun yang akan datang.”

Dan di hari itu pula ada penunaian dari rukun haji yang paling besar yaitu wukuf di Arafah. Ini adalah hari yang agung, pada hari itu kaum muslimin di seluruh penjuru dunia, baik timur maupun barat terkumpul di satu tempat saja yaitu di padang ‘Arafah untuk menunaikan rukun terbesar dari rukun-rukun haji mereka pada hari itu.

Hari Arafah merupakan hari yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengabarkan bahwasanya Allah turun ke langit dunia dan membanggakan orang-orang yang wukuf di Arafah kepada para malaikat dan berfirman:

انظروا إلى عبادي شعثا غبرا أتوني من كل فج عميق، يرجون رحمتي، ويخافون عذابي، أشهدكم أني قد غفرت لهم

“Lihatlah kalian kepada hamba-hamba-Ku, kusut masai dan berdebu, mereka mendatangi-Ku dari segala penjuru, mengharapkan rahmat-Ku dan takut akan adzab-Ku, maka persaksikanlah sesungguhnya Aku telah mengampuni mereka.”

Dan pada hari kesepuluh adalah hari haji akbar, yaitu hari an-nahr, kaum muslimin pada hari itu menunaikan manasik haji: thawaf, sa’i, menyembelih hewan hadyu, dan menggundul atau memendekkan rambut. Keempat rangkaian manasik haji ini mulai ditunaikan pada hari itu. Oleh sebab itulah Allah menamakan hari itu dengan hari haji akbar, karena pada hari itu ditunaikannya sebagian besar dari rangkaian manasik haji. Dan ada pula yang disebut dengan haji ashghar, yaitu umrah.

Pada hari itu Allah subhanahu wata’ala mengkhususkannya dengan keutamaan ini, para jama’ah haji menunaikan rangkaian manasiknya pada hari itu. Orang-orang selain mereka (selain jama’ah haji) melakukan shalat ‘Id dan menyembelih hewan kurban untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata’ala. Sepuluh hari yang penuh barakah ini terkandung di dalamnya keutamaan-keutamaan tersebut.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan yang lainnya:

ما من أيام العمل أحب من هذه الأيام العشر ، قالوا يا رسول الله ولا الجهاد في سبيل الله، قال: ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجل خرج بنفسه وماله فلم يرجع من ذلك بشئ

“Tidak ada hari-hari yang amal itu lebih dicintai Allah daripada hari-hari yang sepuluh ini” Para shahabat berkata: “Wahai Rasulullah walaupun itu jihad fi sabilillah?” beliau berkata: “Walau jihad fi sabilillah, kecuali seseorang yang keluar dengan jiwa dan hartanya lalu tidak kembali darinya sedikitpun.”

 

Maka pada hari-hari yang sepuluh ini, amalan-amalan yang dilakukan di dalamnya lebih dicintai oleh Allah dari pada amalan-amalan yang dilakukan di waktu yang lain walaupun itu jihad fi sabilillah yang merupakan amal yang paling utama. Amalan pada hari-hari yang sepuluh ini lebih baik daripada jihad fi sabilillah kecuali yang telah dikecualikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu orang yang keluar berjihad dengan jiwa dan hartanya dan tidak ada yang kembali darinya sedikitpun.

Hari-hari (yang sepuluh) ini memiliki keutamaan-keutamaan yang besar dan disyari’atkan di dalamnya amal ibadah yang banyak, yaitu:

Berpuasa pada hari-hari ini[1], dan hukumnya adalah sunnah, serta berpuasa pada hari yang kesembilan bagi selain jama’ah haji, adapun orang-orang yang berhaji maka mereka tidak berpuasa pada hari kesembilan agar tubuh mereka kuat ketika mengerjakan wukuf di Arafah. Sedangkan orang-orang yang tidak berhaji, puasa mereka pada hari itu akan mendapatkan balasan dari Allah berupa ampunan dosa mereka pada tahun yang lalu dan yang akan datang. Ini adalah keutamaan yang besar dari Allah subhanahu wata’ala.

Disebutkan dalam hadits dari Hafshah radhiyallahu ‘anha:

أن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- كان يصوم هذه العشرة

“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari-hari yang sepuluh” [HR. Abu Dawud dan yang selainnya dengan sanad la ba’sa bihi].

Adapun yang dikatakan oleh ‘Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha:

أن النبي-صلى الله عليه وسلم- لم يصم هذه العشر

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berpuasa pada hari-hari yang sepuluh ini”

maka ini adalah konteks penafian (peniadaan), dan hadits Hafshah menetapkan adanya puasa tersebut. Maka (dalam kaidah disebutkan bahwa) penetapan sesuatu lebih didahulukan daripada peniadaannya, dan Hafshah menetapkan bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa di hari-hari itu, adapun ‘Aisyah meniadakannya sebatas apa yang beliau ketahui. Sehingga Hafshah (dalam permasalahan ini) mengetahui sesuatu yang belum diketahui oleh ‘Aisyah.

Dan di antara amalan-amalan yang juga dikerjakan pada hari-hari yang sepuluh ini adalah bertakbir, dimulai dari awal masuknya bulan Dzulhijjah. Ketika diketahui masuknya bulan Dzulhijjah, maka takbir dimulai pada siang dan malam hari-hari yang sepuluh ini, dan agar setiap muslim memperbanyak membaca takbir dengan mengucapkan:

الله اكبر، الله اكبر، لا اله الا الله، الله اكبر، ولله الحمد

dan diulang-ulang terus takbir ini dengan mengeraskan suaranya, sebagaimana para shahabat dahulu mengeraskan suaranya ketika bertakbir di hari-hari yang sepuluh ini.

Dan ini adalah takbir yang dikhususkan bagi hari-hari ini saja, yang disebut dengan takbir mutlak dilakukan pada malam dan siang.

Dan disyari’atkan pula pada hari-hari ini untuk memperbanyak amalan ketaatan seperti shadaqah kepada yang membutuhkan, atau shadaqah fi sabilillah.

 

– Begitu juga dengan shalat-shalat sunnah pada selain waktu-waktu yang di larang, terlebih lagi adalah shalat malam.

Begitu pula agar hendaknya seorang muslim tidak bosan-bosan untuk berdzikir mengingat Allah pada hari-hari itu dengan membaca Al-Qur’an, mengucapkan tasbih dan tahlil.

menyibukkan dirinya dengan amalan ketaatan, baik yang berupa ucapan dan perbuatan, memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mengerjakan kebaikan dan tidak menyia-yiakannya.

Amalan tersebut dilakukan dengan berpuasa pada siang harinya dan shalat pada waktu malamnya, membaca Al-Qur’an, bertakbir, bertahlil, dan bertasbih, menyibukkan lisannya dengan berdzikir kepada Allah dan menyibukkan badannya dengan puasa dan shalat malam. Ini adalah suatu kebaikan yang banyak pada hari-hari yang sepuluh ini, yang amal-amal shalih pada hari-hari itu lebih dicintai oleh Allah dari pada hari-hari yang lain. Walaupun setiap amal shalih pasti dicintai oleh Allah jalla wa’ala pada seluruh waktu-waktunya, akan tetapi Allah memberikan keutamaan pada sebagian makhluk-makhluk-Nya atas sebagian yang lain, dan Dia mengutamakan hari-hari yang sepuluh ini melebihi hari-hari yang lain.

Demikian pula termasuk yang disyari’atkan pada hari-hari yang sepuluh ini adalah bahwa barangsiapa yang ingin menyembelih kurban untuk (atas nama) dirinya sendiri atau dirinya dan orang lain, maka jika telah masuk bulan Dzulhijjah, dia tidak boleh mengambil sedikitpun dari rambut dan kukunya sampai dia menyembelih hewan kurbannya tadi, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan yang demikian dalam hadits yang shahih.

Pada hari an-nahr disyari’atkan menyembelih hewan, baik hadyu (untuk orang-yang berhaji) maupun adhahi (kurban, yakni untuk selain orang yang berhaji), dan hadyu ini sama saja apakah itu hadyu yang wajib sebagai rangkaian manasiknya seperti hadyu  ketika melakukan haji tamattu’ dan qiran tamattu’ maupun hadyu yang sunnah, yang seorang muslim menyembelih hewan sebagai hadiah kepada Baitullah Al-‘Atiq (Ka’bah) dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata’ala. Hari pertama dilakukan penyembelihan adalah pada hari ‘Id, ini bagi jama’ah haji.

Adapun untuk selain orang-orang yang berhaji, maka mereka menyembelih hewan qurban (udh-hiyah), dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata’ala, dan merupakan sunnah nabawi yang dituntunkan oleh ayah kita Nabi Ibrahim ‘alaihish shalatu wassalam dan dihidupkan kembali sunnah itu oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga menyembelih hewan kurban merupakan ibadah agung yang dengannya seorang muslim mendekatkan diri kepada Allah.

Sebagian ulama berpendapat wajibnya menyembelih hewan kurban. Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah berpendapat bahwa menyembelih hewan kurban adalah wajib bagi yang mampu. Adapun jumhur ulama menyatakan itu adalah sunnah mu’akkadah (yang di tekankan), dan bukan suatu hal yang wajib. Apapun hukumnya, menyembelih hewan udh-hiyah ataupun hadyu pada hari itu dan hari setelahnya menunjukkan keutamaan hari tersebut atas selainnya, inilah yang dimaksud dari firman Allah ta’ala:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkurbanlah.” [Al-Kautsar: 2]

Shalatlah ‘Id, sembelihlah hewan hadyumu, dan sembelihlah udh-hiyahmu pada hari itu. Pada hari itu sebagaimana yang telah dijelaskan merupakan hari ditunaikannya rangkaian manasik haji, thawaf ifadhah, sa’i antara shafa dan marwah, melempar jumrah, yaitu jumrah ‘aqabah, menyembelih hadyu bagi orang-orang yang berhaji, dan hewan kurban udh-hiyah bagi yang tidak berhaji. Dan di antara keutamaan yang Allah berikan adalah diperpanjangnya waktu penyembelihan ini sampai tiga hari setelah ‘Id, sehingga waktu penyembelihan adalah empat hari, hari ‘Id dan tiga hari setelahnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أيام التشريق أيام أكل وشرب وذكر لله عز وجل

“Hari-hari Tasyriq adalah hari-hari makan, minum, dan berdzikir kepada Allah ‘azza wajalla.”

Inilah sepuluh hari yang penuh barakah, yang diberikan kepada kaum muslimin dengan kebaikan-kebaikan dan barakah-barakahnya dari Allah, baik bagi kaum muslimin yang berhaji maupun yang tidak berhaji, dan termasuk kebaikan di dalamnya adalah amalan-amalan yang mulia ini.

Terkait dengan hadyu dan udh-hiyah, ada hukumnya tersendiri sebagaimana disebutkan oleh ulama, seperti dari sisi umur dan tidak cacat. Hewan udh-hiyah maupun hadyu belum mencukupi kecuali telah melewati batas umur yang ditentukan secara syar’i, untuk dha’n (kambing kibas) batasan umurnya adalah setelah sempurna enam bulan, ma’iz (kambing jawa/kacang) setelah satu tahun, sapi setelah dua tahun, dan onta setelah lima tahun, ini dari sisi umur pada hewan udh-hiyah dan hadyu, syarat ini juga ditetapkan pada hewan untuk aqiqah.

Begitu juga disyaratkan selamat atau bebas dari cacat, seperti matanya buta sebelah, kaki pincang, sakit, kurus, atau tidak sempurnanya anggota tubuh karena terpotong, atau putus hidungnya, atau yang selainnya. Yang jelas hewan kurban itu harus terbebas dari cacat yang membuat dia kurang sempurna dibanding dengan hewan lain.

Adapun tentang daging kurban, baik itu hadyu maupun udh-hiyah, maka Allah ta’ala telah berfirman:

فكلوا منها وأطعموا القانع والمعتر

“Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” [Al-Hajj: 36]

Dan firman-Nya:

فكلوا منها وأطعموا البائس الفقير

“Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” [Al-Hajj: 28]

Dan disukai untuk membagi hewan kurban menjadi tiga bagian, sepertiga untuk dia dan keluarganya, sepertiga untuk dishadaqahkan kepada orang-orang yang membutuhkan, dan sepertiga untuk dihadiahkan kepada teman-teman dan tetangganya, dan perlu diketahui bahwasanya tidak boleh menjual sedikitpun dari hewan kurban, walaupun kulitnya, juga tidak boleh di jual. Begitu juga tidak boleh memberikan upah kepada tukang jagalnya dari sebagian daging hewan hadyu maupun udh-hiyah, sesuai dengan yang telah disyari’atkan oleh Allah subhanahu wata’ala untuk memakannya, bershadaqah dengannya, dan memberikannya sebagai hadiah. Ini termasuk syi’ar-syi’ar yang difirmankan oleh Allah subhanahu wata’ala:

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

“Demikianlah (perintah dari Allah) dan barang siapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati” [Al-Hajj: 32]

Dan salah satu (syi’ar)-Nya adalah penyembelihan hewan hadyu dan udh-hiyah, yang seorang muslim hendaknya mempersembahkan sesuatu yang paling berharga dan paling bagus dari apa yang dia miliki, karena itu merupakan syi’ar dan upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah jalla wa’ala:

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” [Al-Hajj: 37]

Semua amalan tersebut berporos pada niat, walaupun demikian hendaknya tidak mempersembahkan sesuatu yang kurang, atau sedikit manfaatnya, dan tidak pula mempersembahkan sesuatu dari penghasilan yang haram. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إن الله طيب ولا يقبل الا طيبا قال: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الأَرْضِ وَلا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ

“Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik-baik” Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman berinfaklah dari sebagian hartamu yang baik-baik dan sebagian dari apa-apa yang kami keluarkan dari bumi untukmu dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk, lalu kamu nafkahkan daripadanya.[Al-Baqarah: 267]

 

Al-Khabits adalah sesuatu yang jelek dan buruk, maka janganlah bershadaqah dengan sesuatu yang buruk, baik berupa makanan, pakaian, dan segala sesuatu yang bermanfaat. Jangan memberi sesuatu yang jelek, dan jangan pula bershadaqah dari hasil yang haram, tetapi hendaknya bershadaqah dari penghasilan yang baik. Karena sesungguhnya Allah baik dan tidak menerima kecuali yang baik-baik, dan segala kebaikan adalah milik Allah subhanahu wata’ala.

Kesimpulannya bahwa hari-hari yang sepuluh ini memiliki keutamaan yang agung, maka sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk menyambutnya dengan gembira, penuh keceriaan, dan senang dengan kedatangannya, dan agar hendaknya menyibukkan diri dengan amalan yang disyari’atkan oleh Allah ta’ala, sehingga hal itu menjadi bekal baginya di sisi Allah subhanahu wata’ala yang akan dia petik di hari ketika dia menghadap Allah subhanahu wata’ala.

Sebagaimana telah kami sebutkan bahwasanya seluruh kehidupan seorang muslim adalah baik jika disibukkan dengan ketaatan kepada Allah, lebih dikhususkan lagi pada hari-hari atau waktu-waktu yang Allah beri keutamaan di dalamnya agar bertambah perhatiannya dan bertambah kesungguhannya. Akan tetapi sangat disayangkan bahwa sebagian besar manusia, berlalu umur-umur mereka, berlalu atas mereka hari-hari yang penuh keutamaan dan waktu-waktu yang penuh kemuliaan, ternyata mereka tidak bisa mengambil manfaat darinya, berlalu dari mereka dengan sia-sia. Kadang-kadang tidak cukup dengan hanya tidak bisa mengambil manfaat darinya, bahkan mereka menyibukkan diri kepada hal-hal yang haram, maksiat, kejelekan, terkhusus pada zaman ini, yang tersebar berbagai hal yang menyibukkan (melalaikan) dan permainan seperti surat kabar, perkataan yang tidak ada gunanya, internet, pasar-pasar, perdagangan, pekerjaan di kantor, atau yang selainnya. Dan ini, walaupun adalah sesuatu yang diharapkan dari seorang muslim bahwa ia harus mencari rizqi, akan tetapi itu semua tidak boleh menyibukkannya dari memanfaatkan waktu ini, maka hendaknya digabungkan antara mencari rizqi dan memanfaatkan waktu ini.

Allah jalla wa’ala tidak melarang kita untuk beramal duniawi sebatas apa yang kita butuhkan. Akan tetapi kita dilarang untuk lebih menyibukkan diri dalam urusan dunia daripada akhirat. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta dan anak kalian melalaikan kalian dari mengingat Allah. Barangsiapa berbuat demikian, maka mereka adalah orang-orang yang merugi.” [Al-Munafiqun: 9]

Allah subhanahu wata’ala juga berfirman:

فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ

“Maka carilah rizqi di sisi Allah dan beribadahlah kepada-Nya.” [Al-Ankabut: 17]

Yaitu carilah rizqi dari Allah dan beribadahlah kepada-Nya. Maka janganlah tersibukkan dengan mencari rizki dengan meninggalkan ibadah, atau beribadah dengan meninggalkan mencari rizqi sehingga berakibat menelantarkan orang lain. Yang terbaik adalah dengan menggabungkan antara yang satu dengan yang lainnya. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ* فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, jika dipanggil untuk shalat pada hari jum’at, maka bersegeralah untuk berdzikir mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, dan yang seperti itu lebih baik jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat itu, maka menyebarlah di muka bumi guna mencari keutamaan dari Allah dan ingatlah Allah dengan banyak agar engkau beruntung.” [Al-Jumu’ah: 9-10]

Dan ketika Allah menyebutkan tentang masjid-masjid dan orang-orang memakmurkannya:

يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ رِجَالٌ لا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ

“Bertasbihlah bagiNya setiap pagi dan sore, seorang yang tidak terlalaikan oleh perdagangan ataupun jual-beli dari berdzikir kepada Allah,  mengerjakan shalat dan menunaikan zakat.” [An-Nur: 36-37]

Sehingga seorang muslim hendaknya menggabungkan dua hal ini, antara mencari rizqi pada waktunya dan melaksanakan ibadah pada waktunya. Pada waktu tertentu ibadah itu bisa membantu dalam mencari rizqi. Allah berfirman:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ

“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, maka Dia akan menjadikan baginya jalan keluar dan memberinya rizqi dari jalan yang tidak disanka-sangka.” [Ath-Thalaq: 2-3]

Dan firman-Nya:

وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلا عَلَى الْخَاشِعِينَ

“Minta tolonglah dengan sabar dan shalat, sesungguhnya shalat itu adalah suatu yang berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu.” [Al-Baqarah: 45]

Dan firman-Nya juga:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman minta tolonglah dengan sabar dan shalat, karena sesungguhnya Allah bersama dengan orang-orang yang sabar.” [Al-Baqarah: 153]

Seorang muslim tidak akan menyia-nyiakan agamanya, begitu pula dia tidak akan menyia-nyiakan dunianya, dan sudah seharusnya bagi dia untuk menggabungkan antara kebaikan agama dan dunianya, inilah seorang muslim. Bagaimana dia bisa menyia-nyiakan waktunya dalam senda gurau dan bermain-main, menebarkan gosip, sandiwara, perkataan yang tidak berguna, nyanyian, olah raga yang tidak bermanfaat, perlombaan-perlombaan, menyia-nyiakan waktunya dalam masalah-masalah seperti ini. Dan yang mengherankan adalah mereka tidak bosan dari begadang, tidak merasa lelah dengan hal-hal yang bisa memudharatkannya, justru sebaliknya mereka merasa lelah untuk melakukan keta’atan dan beribadah, kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Allah subhanahu wata’ala.

Kesimpulannya bahwa seorang muslim harus memperhatikan dirinya dan memperhatikan waktu-waktu yang memiliki keutamaan sebelum dia mengatakan (dengan penuh penyesalan sebagaimana yang Allah ta’ala sebutkan dalam ayat-Nya):

يَا حَسْرَتَى عَلَى مَا فَرَّطْتُ فِي جَنْبِ اللَّهِ وَإِنْ كُنْتُ لَمِنَ السَّاخِرِينَ

“Sungguh merugi atas apa yang aku lalaikan dari apa-apa yang di sisi Allah dan dulunya aku adalah orang yang mencemooh hal itu.” [Az-Zumar: 56]

Dan juga sebelum merasakan sebagaimana yang Allah ta’ala sebutkan tentang penghuni neraka ketika dilemparkan ke dalamnya, mereka mengatakan:

قالوا ربنا أخرجنا نعمل صالحا غير الذي كنا نعمل

“Mereka berkata: ‘Wahai Rabb kami keluarkanlah kami, agar kami bisa beramal shalih berlainan dari yang dahulu telah kami lakukan.” [Fathir: 37]

Maka Allah jalla wa’ala berfirman:

أولم نعمركم ما يتذكر فيه من تذكر وجاءكم النذير فذوقوا فما للظالمين من نصير

“Bukankah Kami telah memanjangkan umur kalian dalam masa yang cukup supaya bisa untuk berfikir bagi orang-orang yang mau berfikir dan (bukankah) telah datang pada kalian sang pemberi peringatan? Maka rasakanlah (adzab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang zhalim yang menolong.” [Fathir: 37]

Maka barangsiapa yang menyia-nyiakan waktunya dan hidupnya, inilah tempat kembali untuknya, laa haula walaa quwwata illa billah.

Maka perhatikanlah diri-diri kita dan juga yang lainnya, agar menjaga waktunya dan memanfaatkan waktu-waktu yang memiliki keutamaan sebelum terlewatkan, karena itu adalah modal utama yang menjadi bekal ketika keluar dari kehidupan dunia ini.

إذا أنت لم ترحل بزاد من التــقى

ولاقيت يوم العرض من قد تزودا

ندمت على ألا تكون كمثلـــــه

وانك لم ترصد كما كان ارصــدا

Apabila engkau belum berangkat dengan bekal ketakwaan.

Dan menghadapi hari yang ditampakkan amalan seorang yang membawa perbekalan.

Engkau akan menyesal dan ingin bisa seperti dirinya.

Karena sesungguhnya engkau tidak bersiap sebagaimana dia telah bersiap.

Pastilah seseorang akan menempati ke tempat kembalinya, apabila engkau tidak mempersiapkan untuk akhiratmu, kamu pasti menyesal di saat penyesalan itu tidaklah berguna. Maka wajib bagi kita untuk lebih perhatian dan juga mengingatkan saudara-saudara kita, dan mengagungkan hari-hari ini dengan ketaatan kepada Allah subhanahu wata’ala, serta menjaganya agar tidak sia-sia, dan menjaganya dari sesuatu yang dapat menyibukkan diri kita kepada sesuatu yang memudharatkan dan menyebabkan dosa.

Semoga Allah memberikan taufiq kepada semuanya untuk mendapatkan ilmu dan amalan yang bermanfaat. Sesungguhnya Dia Maha mendengar, Maha Dekat, lagi Maha mengabulkan do’a.

وصلى الله على نبينا محمد، وعلى آله، وأصحابه أجمعين .

Diterjemahkan dari: http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=95411 dengan tambahan catatan kaki dari tim redaksi.

 


[1] Yakni tanggal 1 sampai 9 Dzulhijjah, adapun tanggal 10 adalah hari ‘id yang diharamkan puasa.

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.