AGAMA ISLAM TELAH SEMPURNA
Para pembaca, semoga Allah subhanahu wata’ala mencurahkan rahmat-Nya kepada kita semua, Agama Islam merupakan nikmat termulia yang Allah subhanahu wata’ala anugerahkan kepada umat Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. Sebuah agama yang diemban oleh penghujung dan pemimpin para nabi dan rasul yang tidak ada lagi nabi dan rasul setelah beliau shalallahu ‘alaihi wasallam, sehingga agama yang dibawa beliau adalah agama terakhir dan paripurna yang mencakup dan mengatur segala aspek kehidupan baik aqidah, ibadah, akhlaq, maupun mu’amalah yang dibutuhkan umat manusia untuk beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala dengan benar dan sempurna.
Anugerah termulia ini Allah subhanahu wata’ala tegaskan di dalam Al Qur’an (yang tidak akan mengalami perubahan atau musnah sampai datangnya hari kiamat), sebagaimana dalam QS. Al Ma’idah ayat ke-3:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah aku sempurnakan agama (Islam) untuk kalian, dan telah aku cukupkan nikmat-Ku atas kalian, dan Aku telah ridha Islam menjadi agama kalian”
Dalam ayat yang mulia ini, Allah subhanahu wata’ala memberitakan bahwa agama Islam adalah agama yang telah sempurna. Artinya telah sampai pada tingkatan paripurna. Tidak butuh lagi terhadap penambahan dan pengurangan, relevan di setiap keadaan dan zaman tanpa butuh revisi dan koreksi. Karena memang agama ini turun dari Pencipta dan Pengatur alam semesta, yaitu Allah subhanahu wata’ala Dzat Yang Maha Sempurna.
Suatu ketika seorang Yahudi datang menemui shahabat Umar Ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu, seraya berkata: “Kalian telah membaca sebuah ayat dalam kitab suci kalian yang kalau sekiranya ayat itu diturunkan kepada kami umat Yahudi, niscaya kami akan jadikan hari itu sebagai hari raya kami. Umar berkata: “Ayat apa itu?.” Mereka berkata:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Lalu Umar berkata: “Demi Allah sungguh aku tahu, kapan ayat itu diturunkan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, dan waktu turunnya ayat tersebut. Ayat itu diturunkan kepada Rasulullah subhanahu wata’ala pada Jum’at sore di hari Arafah.” (HR. Al Bukhari no. 45 dan Muslim no. 3017)
Al Hafizh Ibnu Katsir Asy Syafi’i rahimahullah -seorang ahli tafsir terkemuka- menjelaskan kandungan ayat tersebut: “Ini adalah nikmat terbesar dari Allah subhanahu wata’ala terhadap umat ini. Karena Allah subhanahu wata’ala telah menyempurnakan agama ini bagi mereka, sehingga tidak butuh kepada suatu agama selain agama Islam dan tidak butuh pula kepada nabi selain nabi mereka Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karenanya, Allah subhanahu wata’ala jadikan beliau sebagai penutup para nabi dan diutus (sebagai rasul) kepada segenap umat manusia dan jin. Tidak ada yang halal kecuali beliau menghalalkannya dan tidak ada yang haram kecuali beliau telah mengharamkannya, serta bukanlah termasuk dari agama kecuali apa yang beliau syari’atkan.
Setiap berita yang beliau sampaikan dari Allah adalah haq dan benar, tidak ada kedustaan dan penyelewengan. Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala:
وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا
“Telah sempurna kalimat Rabb-Mu yang tegak di atas kebenaran dan keadilan.”
Yaitu benar dalam segala berita dan penuh keadilan dalam segala perintah dan larangan. Manakala Allah telah menyempurnakan agama ini bagi mereka, berarti telah lengkap pula nikmat terhadap mereka.”
Tak lupa, Al Imam As Sa’di -salah seorang ahli tafsir terkemuka pada abad ke-13- mengatakan tentang ayat ini: “Yaitu dengan kesempurnaan pertolongan-Nya, dan kesempurnaan syariat-syari’at-Nya, baik yang bersifat zhahir maupun batin, pokok-pokoknya dan juga cabang-cabangnya. Oleh karenanya, Al Qur’an dan As Sunnah (sumber utama agama Islam, pen) merupakan dua pusaka yang mencakup seluruh hukum-hukum agama baik pokok-pokoknya maupun cabang-cabangnya.”
Kesempurnaan Islam pun sebenarnya telah diakui oleh kaum musyrikin sendiri, mereka menyatakan hal ini kepada shahabat Salman radhiallahu ‘anhu:
إِنِّي أَرَى صَاحِبَكُمْ يُعَلِّمُكُمْ ( وفي رواية: كُلَّ شَيْئٍ) حَتَّى يُعَلِّمَكُمُ الْخِرَاءَةَ
“Sungguh shahabat kalian (yaitu nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam) telah mengajarkan segala sesuatu kepada kalian, hingga adab buang hajat pun beliau ajarkan.”
Seraya Salman berkata: “Ya, benar, sesungguhnya beliau subhanahu wata’ala telah melarang kami beristinja’ (membersihkan kotoran dari dubur atau qubul) dengan tangan kanan, dan buang hajat dengan menghadap kiblat (dalam riwayat lain; dan juga membelakanginya), serta melarang kami beristinja’ dengan kotoran binatang atau dengan tulang. ” (HR. Muslim no. 262)
Ini hanya sekelumit dari adab buang hajat, disana masih banyak lagi rinciannya sebagaimana yang telah dimuat pada edisi sebelumnya. Masalah adab buang hajat saja telah diajarkan oleh Rasulullah subhanahu wata’ala dengan gamblang dan penuh hikmah, apalagi permasalahan yang lebih urgen (penting) dari pada itu. Islam berbicara bagaimana seseorang beradab dengan kedua orang tuanya, adab bertetangga, adab bermasyarakat dan bernegara, yang kalau kita mau jujur dan mau mengamalkannya niscaya akan masyarakat yang dinamis. Islam juga mengatur hukum jual beli, pinjam meminjam, pernikahan, warisan, penggadaian, dan semua aspek kehidupan manusia. Semuanya diatur dalam agama Islam dengan penuh hikmah dan keadilan serta jauh dari unsur kezhaliman. Tak heran bila Yahudi dan kaum musyrikin turut bersaksi atas kesempurnaan Islam tersebut.
Para pembaca yang mulia, demikian halnya dengan ibadah, yang tidak lain Allah subhanahu wata’ala menciptakan jin dan manusia kecuali untuk misi tersebut, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala (artinya):
“Tidaklah Kami menciptakan jin dan manusia melainkan untuk semata-mata beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat: 56)
Diutusnya Rasulullah subhanahu wata’ala dan diturunkannya kitab suci Al Qur’an tidak lain kecuali untuk menjelaskan secara gamblang bagaimana cara beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala secara benar dan sempurna. Maka sesuai dengan amanat yang diembannya, Rasulullah subhanahu wata’ala telah menyampaikan seluruh ibadah yang dapat mendekatkan kepada keridhaan-Nya dan jannah-Nya, dan telah menyampaikan pula semua perkara yang dapat menjauhkan dari kemurkaan-Nya dan dahsyatnya adzab neraka jahannam.
Shahabat Abu Dzar Al Ghifari radhiallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah meninggalkan kami dalam keadaan tidak ada seekor burung yang mengepakkan sayapnya di udara, melainkan beliau telah sebutkan ilmu tentangnya. Lalu beliau berkata: “Rasulullah subhanahu wata’ala telah bersabda:
مَا بَقِيَ شَيْئٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
“Tidak ada sesuatu pun yang dapat mendekatkan kepada jannah (surga) dan menjauhkan dari api neraka, melainkan telah dijelaskan kepada kalian.” (HR. Ath Thabarani dalam Mu’jamul Kabir 1647)
Para pembaca yang mulia, atas dasar itu, sungguh Islam telah sempurna. Ia tidak memerlukan adanya penambahan, pengurangan, ataupun revisi/koreksi. Justru yang perlu dikoreksi itu adalah amalan kita. Sudahkah kita beramal sesuai dengan tuntunan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam? Semoga Allah subhanahu wata’ala memberikah hidayah kepada kita semua.
Oleh karena wahyu dan syari’at ini telah disampaikan seluruhnya oleh Rasulullah subhanahu wata’ala kepada umatnya, maka amalan atau ibadah yang tidak ada contoh dari beliau shalallahu ‘alaihi wasallam, berarti bukan dari Allah subhanahu wata’ala dan tergolong sebagai ajaran atau syariat baru. Padahal kita semua meyakini bahwa yang berhak membuat syariat adalah Allah subhanahu wata’ala. Oleh karenanya, Allah subhanahu wata’ala menegaskan dalam Al-Qur’anul Karim:
“Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy Syura: 21)
Sebuah amalan yang tidak diizinkan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya tidak akan diterima disisi-Nya, bahkan bisa menjadi sebuah kerugian yang amat besar bagi pelakunya. Allah subhanahu wata’ala menyebutkan akan hal ini dalam firman-Nya subhanahu wata’ala (artinya):
“Katakanlah: “Maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi amal perbuatannya?”
“Yaitu orang-orang yang telah sia-sia amal perbuatannya dalam kehidupan dunianya, sedangkan mereka menyangka telah beramal dengan sebaik-baiknya.” (Al Kahfi: 103-104)
Ayat yang mulia di atas mengingatkan dan menegur kita, tentang kewajiban untuk belajar dan mendalami agama Islam. Agar kita bisa mengukur, apakah amalan yang selama ini kita lakukan benar-benar sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, ataukah sebaliknya?
Sepatutnya kita selalu khawatir dan takut kepada Allah shalallahu ‘alaihi wasallam, karena semua amal perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan-Nya subhanahu wata’ala. Jangan sampai amalan yang selama ini kita lakukan tidak sesuai dengan petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Peringatan ini juga telah ditegaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang beramal tanpa ada dasarnya dari kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat yang lain beliau subhanahu wata’ala bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هذا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa mengada-adakan perkara yang baru dalam urusan (syari’at) kami, padahal itu tidak termasuk bagian dari syari’at (kami), maka perkara/amalan (yang baru) itu tertolak.” (HR. Al Bukhari)
Islam adalah agama sempurna, inilah yang dipahami oleh para shahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga mereka mencukupkan dengan apa yang diamalkan oleh Rasulullah subhanahu wata’ala saja tanpa menambah dengan amalan-amalan yang lainnya. Sebagaimana pernyataan Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu:
اتَّبِعُوا وَلاَتَبْتَدِعُوا فَقَدْكُفِيْتُمْ
“Ikutilah (apa yang diajarkan oleh Rasulullah), jangan mengamalkan amalan-amalan baru (yang tidak ada contohnya dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam), sungguh (petunjuk/sunnah beliau shalallahu ‘alaihi wasallam) telah cukup bagi kalian. (HR. Abu Khaitsamah dalam kitabnya Al Ilmu no. 45)
Serta inilah yang dipahami oleh para ulama kita. Al Imam Asy Syafi’i berkata:
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
“Barangsiapa yang menganggap baik (suatu perkara yang tidak dicontohkan Rasulullah), maka sungguh ia telah membuat syariat (baru).”
Ucapan semacam ini telah masyhur dinukil oleh para ulama Syafi’iyyah (bermadzhab Syafi’i), seperti dalam kitab Al Mankhul hal. 347 dan Jam’ul jawami’ 2/395, dan juga bisa dirujuk dari karya Al Imam Asy Syafi’i sendiri dalam kitabnya Ar Risalah hal. 507 dan Al Um 7/297-304.
Al Imam Malik, guru dari Al Imam Asy Syafi’i berkata: “Barangsiapa mengada-adakan amalan yang baru dalam agama Islam yang ia sangka itu adalah baik, berarti ia telah menuduh Rasulullah subhanahu wata’ala berkhianat dalam menyampaikan risalah/wahyu. Karena Allah subhanahu wata’ala telah berfirman:
“Pada hari ini telah aku sempurnakan agama bagi kalian.” (Al Ma’idah: 3)
Jika pada hari itu tidak termasuk dari agama, maka pada hari ini juga tidak termasuk dari agama.” (Al I’tisham 1/49)
Demikianlah, semoga Allah subhanahu wata’ala membimbing kita semua agar selalu tetap di atas petunjuk-Nya, dan berpegang teguh dengan sunnah rasul-Nya. Amien Ya Rabbal ‘alamin.
Bismillah
Afwan, mau sekedar beritahu terdapat salah ketik pada hadits riwayat At Thabarani dari sahabat Abu Dzar radhiallahu anhu diatas. Yang seharusnya shallallahu alaihi wa sallam menjadi subhanahu wata’ala
Jazaakallahu khairan
Jazakumullahukhairan, alhamdulillah kesalahan tersebut sudah kami perbaiki. barakallahufikum.