KEUTAMAAN SHAHABAT RASULULLAH shalallahu ‘alaihi wasallam

Para pembaca, semoga Allah merahmati kita semua, merupakan salah satu pokok yang mendasar dari keyakinan Ahlus Sunnah adalah penghormatan terhadap kedudukan dan keutamaan para shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, serta selamatnya hati  dari kebencian dan kemarahan, serta selamatnya lisan dari celaan, hinaan, dan perkataan yang tidak pantas terhadap mereka.

Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al Hasyr: 10)

Mereka hidup di masa yang terbaik, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam: “Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian yang setelahnya (generasi tabi’in[1]), kemudian yang setelahnya (generasi tabi’ut tabi’in[2]).” (HR. Al Bukhari no. 2458)

Keutamaan tersebut didapatkan karena mereka langsung berada di bawah bimbingan madrasah (pengajaran) Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai penerima wahyu dari Allah subhanahu wata’ala. Mereka memiliki keutamaan lebih di bidang ilmu dan amal shalih, serta kedudukan mereka sebagai pengemban dan penyampai syariah agama ini. Mereka adalah generasi yang saling bersaing di dalam kebaikan. Serta Islam jaya, tegak dan kokoh di masa mereka.

Masa para shahabat merupakan masa yang terbaik secara mutlak dibandingkan dengan masa umat-umat terdahulu maupun yang akan datang. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Ali Imran: 110)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku diutus pada kurun (masa) yang terbaik dari Bani (keturunan) Adam.” (HR. Al Bukhari dari shahabat Abu Hurairah t)

Sehingga shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam lebih mulia dari Hawariyyun (shahabat/penolong Nabi Isa ‘alaihissalam), 70 pemuda pilihan Nabi Musa ‘alaihissalam, dan shahabat para nabi-nabi yang terdahulu.

Para shahabat adalah perantara antara umat manusia dengan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Wahyu turun di masa mereka dan terkait dengan kondisi-kondisi mereka. Sehingga mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui tentang makna-makna ayat-ayat Al Qur’an.

Merupakan kewajiban bagi kita untuk mencintai dan mengakui kedudukan mereka. Berlepas diri dari jalannya orang-orang yang ingin merendahkan kedudukannya. Seperti agama Syi’ah Rafidhah yang mereka mencela sebagian besar para shahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan melampaui batas dalam memuliakan keluarga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Serta berlepas diri dari sekte An Nawashib, sebuah golongan yang membenci dan mencela keluarga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

Keutamaan yang ada di antara para shahabat bertingkat-tingkat sesuai dengan lebih dahulunya mereka masuk Islam, keterlibatan dalam jihad, hijrah, dan bergantung kepada amalan-amalan shalih lainnya, serta sejauh mana pembelaan mereka terhadap agama Allah subhanahu wata’ala dan Nabi mereka.

Pengertian shahabat

Siapakah para shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam itu? Mereka adalah orang-orang yang bertemu dengan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, beriman kepadanya, dan meninggal dalam keadaan Islam. (Lebih lengkapnya lihat An Nukat ‘ala Nuzhatin Nazhar hal. 149, karya Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah)

Keutamaan Muhajirin atas Anshar

Kaum Muhajirin adalah para shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang berhijrah dari Makkah ke Madinah. Mereka meninggalkan sanak saudara, kerabat, harta benda dan tempat tinggal, karena mereka lebih cinta mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

Adapun kaum Anshar, mereka mempunyai keutamaan dengan pertolongan yang mereka berikan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para Muhajirin di Madinah.

Didahulukannya kaum Muhajirin daripada kaum Anshar di dalam Al Qur’an menunjukkan kaum Muhajirin lebih utama dari pada kaum Anshar. Sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala firmankan (artinya):

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah.” (At Taubah: 100)

“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang anshar.” (At Taubah: 117)

Di antara deretan kaum Muhajirin tersebut adalah Abu Bakr, Umar bin Al Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu para shahabat yang memegang tampuk Khilafah Islamiyyah sepeninggal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Sekaligus sebagai orang-orang terbaik setelah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga kita diperintahkan untuk mengikuti jalan mereka:

“Wajib atas kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidun, gigitlah dengan gigi geraham kalian.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Keutamaan para shahabat

Di antara keutamaannya adalah:

1.  Mereka adalah orang-orang yang dipilih oleh Allah subhanahu wata’ala unruk menemani rasul-Nya. (lihat QS. Muhammad: 29)

2.  Mereka adalah orang-orang yang telah mendapat keridhaan dari Allah subhanahu wata’ala. (lihat QS. At Taubah: 100)

3.  Allah subhanahu wata’ala telah mengampuni para shahabat yang mengikuti perang Badar. Sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala kabarkan dalam hadits qudsi:

“Berbuatlah semau kalian, sungguh Aku telah mengampuni apa yang kalian perbuat.”

Jumlah para shahabat yang mengikuti perang Badar sekitar 300 orang. Mereka menghadapi pasukan Musyrikin yang berjumlah tiga kali lipat yaitu berjumlah 900 sampai 1000 pasukan. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/46)

4.  Para shahabat yang mengikuti bai’at Ar Ridhwan, Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Sesungguhnya Allah Telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setiap kepadamu di bawah pohon.” (Al Fath: 18)

Dinamakan Bai’at Ar Ridhwan karena Allah subhanahu wata’ala telah ridha terhadap kaum mukminin ketika itu.

Jumlah para shahabat yang mengikuti Bai’at tersebut sekitar 1400, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Al Imam Al Bukhari dan Muslim di dalam Shahihnya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda di dalam salah satu haditsnya dari shahabat Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu:

لاَ يَدْخُلُ النَّارَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنْ أَصْحَابِ الشَّجَرَةِ أَحَدٌ الَّذِينَ بَايَعُوا تَحْتَهَا

“Tidak akan masuk An Naar insya Allah dari para shahabat pohon salah seorang dari yang berba’iat di bawah pohon” (HR. Muslim no.4552)

5.  Allah subhanahu wata’ala telah menjamin beberapa shahabat sebagai penghuni Al Jannah (surga), jaminan dari Rabbul ‘Alamin bukan dari statemen perorangan. Diantaranya, 10 orang yang diberi kabar sebagai penghuni Al Jannah

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Abu Bakr di Al Jannah, Umar di Al Jannah, Utsman di Al Jannah, Ali di Al Jannah, Thalhah di Al Jannah, Az Zubair di Al Jannah, Abdurrahman bin ‘Auf di Al Jannah, Sa’ad bin Abi Waqqash di Al Jannah, Sa’id bin Zaid di Al Jannah, Abu Ubaidah bin Al Jarrah di Al Jannah.” (HR. At Tirmidzi no.3748 dan dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani)

Shahabat ‘Ukkasyah bin Mihshan radhiallahu ‘anhu ketika meminta kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam agar dido’akan termasuk sebagai bagian dari 70.000 orang masuk Al Jannah tanpa hisab dan adzab, dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memberikan jawaban atas permintaannya tersebut bahwa dia termasuk salah satu di antaranya. (HR. Muslim no.320)

Shahabat Bilal bin Abi Rabbah radhiallahu ‘anhu, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:

أًًًٌٌَََُُُرِيتُ الْجَنَّةَ فَرَأَيْتُ امْرَأَةَ أَبِي طَلْحَةَ ثُمَّ سَمِعْتُ خَشْخَشَةً أَمَامِي فَإِذَا بِلاَلٌ

“Diperlihatkan kepadaku Al Jannah, maka aku melihat istri Abu Thalhah, dan aku mendengar suara terompah di depanku dan ternyata Bilal.” (HR. Muslim no. 4495)

Shahabat Tsabit bin Qais radhiallahu ‘anhu, ketika turun firman Allah subhanahu wata’ala (artinya): “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara nabi, dan janganlah kamu Berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak terhapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.” (Al Hujurat: 2), mengeluh kepada beberapa shahabat bahwa dirinya termasuk penghuni An Naar (neraka) kerena dia pernah berkata keras terhadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, dan kemudian menahan diri tidak bertemu dengan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Ketika berita itu sampai kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau menyatakan bahwa Tsabit termasuk penghuni Al Jannah. (HR. Muslim no.170)

Al Hasan dan Al Husain, yang keduanya merupakan cucu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, dinyatakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemimpin para pemuda penghuni Al Jannah (surga) dalam sabdanya:

الْحَسَنُ وَالْحُسَيْنُ سَيِّدَا شَبَابِ أَهْلِ الْجَنَّةِ

“Sesungguhnya Al Hasan dan Al Husain adalah pemimpin para pemuda di Al Jannah.” (HR. At Tirmidzi no. 3701)

Shahabat Abdullah bin Salam radhiallahu ‘anhu, sebagaimana hadits dari shahabat Sa’ad bin Abi Waqqash dari ayahnya ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengatakan tidak ada satu pun penghuni bumi yang masih hidup telah dipastikan sebagai penghuni Al Jannah kecuali Abdullah bin Salam.(HR. Al Bukhari no.3528)

Masih banyak hadits-hadits lain yang tidak bisa dicantumkan seluruhnya karena terbatasnya tempat.

Larangan mencela shahabat

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاََََََََتَسَُِبُّوا أَصَحَابِي, فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ, لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَباً, مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَنَصِيْفَهُ

“Janganlah kalian mencela shahabatku, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, walaupun salah seorang dari kalian menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud, tidak akan menyamai infaq mereka walaupun hanya satu mud maupun setengahnya.” (Muttafaqun ‘alaih) (mud (Bhs. Arab): cakupan kedua telapak tangan yang disatukan, pen)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memberikan permisalan tentang harta yang diinfakkan seseorang di jalan Allah subhanahu wata’ala, betapapun banyaknya tidak akan mampu untuk menyamai apa yang telah diinfakkan para shahabat walaupun sedikit, semua itu dikarenakan keimanan, ilmu, amal, dan kejujuran yang ada pada diri para shahabat. Barangsiapa yang mencintai para shahabat dan memuji mereka, maka telah menta’ati Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, dan barangsiapa yang mencela mereka, maka telah bermaksiat kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

Asy Syaikh Ibnu Ustaimin rahimahullah berkata: “Hadits di atas menunjukkan haramnya mencela shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam secara umum, terlebih lagi mencela mereka secara khusus.”(Syarh Al Aqidah Al Wasithiyyah II/253)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Tidak boleh bagi seorang pun untuk menyebutkan tentang kejelekan-kejelekan para shahabat, mencela salah seorang di antara mereka dengan menyebutkan berbagai aib atau kekurangannya, barangsiapa yang melakukannya maka dinasehati sampai dia bertaubat dan jika tidak maka dicambuk di dalam tahanan sampai dia meninggal atau bertaubat.”(Ash Sharimul Maslul hal. 573)

Penutup

Keutamaan para shahabat yang ada di atas, tidaklah menunjukkan bahwa yang tidak tercantum tidak mempunyai keutamaan dan keistimewaan, akan tetapi penyebutan tersebut cukup mewakili.

Banyak kitab-kitab yang menunjukkan tentang keutamaan mereka, baik secara perorangan maupun kaum.

Sedangkan secara umum, Allah subhanahu wata’ala telah memberikan pujian bagi mereka di dalam firman-Nya (artinya): “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya, karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al Fath: 29)

Semoga kita digolongkan sebagai orang-orang yang selamat hati dan lisannya dari segala sesuatu yang berkaitan dengan para shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, dan semoga kita dipertemukan dengan mereka radhiallahu ‘anhum

di dalam Al Jannah.

Amin Ya Rabbal ‘Alamin.


[1] Tabi’un yaitu murid-murid para shahabat

[2] Tabi’ut Tabi’in yaitu murid-murid para tabi’in

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.