Kisah penuh hikmah
Oleh Tim Mading Takmili Darul Ilmi Lumajang
Para ulama banyak memberikan kepada kita kisah berharga, di antaranya apa yang ditorehkan pada kesempatan kali ini. Yaitu sebuah kisah hamba yang sholeh, seorang yang memiliki rasa takut terhadap hal-hal yang akan menjadikan dia sengsara di hari kebangkitan. Berani membuang rasa gengsi yang dimilikinya, berani bertanggung jawab apa yang ia perbuat, walau harus menahan rasa malu yang berat. Tidak ada kata terlambat dalam kamusnya. Bagaimana kisahnya, mari kita simak ulasan berikut ini.
Buah dalam hanyutan
Salah seorang ahli ibadah pernah bercerita: “Suatu ketika aku menempuh perjalanan, padanya terdapat tetumbuhan dalam keadaan aku sedang berpuasa. Dalam perjalanan tersebut, ketika aku melihat sungai yang begitu jernih hingga membuatku menceburkan diri ke dalamnya. Tiba-tiba, aku melihat ada buah yang terhanyut bersama air, lalu akupun mengambilnya dan berbuka dengan buah itu. Ketika buah itu sudah kuhabiskan, aku merasa menyesal, “Mengapa aku berbuka dengan suatu yang bukan menjadi hakku?” Batinku. Perasaan buruk langsung menghantuiku saat itu.
Malam itu aku lewati dengan penuh kegelisahan. Keesokan paginya aku bergegas mencari-cari dari mana buah itu berasal. Ternyata ia berasal dari kebun yang dilintasi sebuah sungai. “Ohh…sepertinya buah itu berasal dari kebun itu.”
Mencari tuan kebun
Saat aku mencoba melihat ke dalam kebun itu, aku mendapati ada seorang kakek tua di situ. Aku lihat ia sedang berjalan menuju ke arahku. Saat ia mendekatiku, aku ingin menayakan kepadanya perihal buah yang aku makan kemarin. Nampaknya beliaulah pemilik buah itu, “Semoga beliau merelakannya untukku.” Pikirku kala itu.
Tatkala ia sudah berada di hadapanku, aku bertanya kepadanya, ”Tuan, aku melilhat sungai ini mengalir dari kebun tuan, kemarin aku menemukan buah yang terhanyut di sungai ini. Aku pun memakannya untuk berbuka. Setelah selesai kuhabiskan, aku merasa menyesal. Karena aku sudah memakan buah yang bukan milikku. Aku mohon agar engkau mau memaafkanku dan merelakannya.” Demikianlah tuturku memelas pada kakek tua itu.
Namun kakek tua itu malah mengaku bahwa dirinya bukanlah pemilik kebun itu, sehingga tidak ada urusan antara dirinya dengan buah itu. Ia mengatakan, “Di sini aku hanya sebagai karyawan saja. Tugasku hanya merawat dan mengurusi kebun. Selama 40 tahun, aku sama sekali belum pernah mencicipi buah-buahan di sini, seperti apa rasanya dan tekstur buahnya? Aku tidak memiliki hak sedikitpun terhadap kebun ini.”
Usaha pencarian belum selesai
Mendengar penuturan beliau, akupun bertanya tentang pemiliknya, siapa dan di manakah dia, agar tak lagi menjadi beban pikiranku. Beliau akhirnya memberi tahu siapa pemilik kebun itu dan keberadaanya saat ini. Sang kakek tua itu menerangkan bahwa kebun itu milik dua orang bersaudara.
Aku segera pergi menemui mereka, namun aku hanya berjumpa dengan salah seorang dari mereka. Kuceritakan apa yang telah ku alami. Beliaupun mengatakan kepadaku, “Sebagian kebun itu adalah milikku, aku merelakan buah itu jika memang berasal dari kebunku.” Lalu aku menayakan keberadaan saudaranya (pemiliki kebun satunya), “Di mana aku bisa menjumpai saudaramu?” Beliau menunjukkan kepadaku di mana saudaranya saat ini.
Inilah pemiliki kebun yang sebenarnya
Aku kembali meneruskan derap langkahku ke tempat yang beliau maksud. Sampai di sana, akupun bertemu dengan orang yang kucari-cari. Kembali kuceritakan peristiwa yang kualami, memakan buah yang hanyut dari kebun itu. Beliaulah pemiliknya. Setelah aku kisahkan, iapun menimpali ucapanku, “Aku tidak akan mau merelakan buahku, hingga engkau mau menuruti kemauanku, satu syarat saja.”
Akupun lantas bertanya: “Apa syarat itu? katakanlah.” “Kau harus menerima putriku sebagai isterimu, aku akan memberimu 100 dinar.” Tegas lelaki tersebut.
Aku memikirkan persyaratan itu, “Urusanku seperti ini tidak menenangkanku, justru akan menyibukkanku. Aku berharap anda mau menghalalkan saja untukku karena sudah memakan buah milikmu.” Ujarku menimpali ucapan beliau.
“Tapi, aku bersumpah demi Allah aku tidak akan mau sampai kau mau menerima persyaratanku tadi.” Tegasnya lebih lanjut.
Kemudian aku melihat ke arah pemiliki kebun itu, akupun tertunduk sejenak memikirkan persyaratannya. “Baiklah aku siap menerima permintaanmu.” Ujarku kembali.
Lantas pemilik kebun memberiku 100 dinar. Tapi ia meminta kembali apa yang ia berikan. “Berikan kepadaku dinar yang kau serahkan sebagai mahar bagi putriku.” kata pemilik kebun itu selanjutnya.
Aku lalu memberi seluruh hartaku kepadanya. Namun pemilik kebun itu justru menegurku “Engkau tidak perlu memberikan seluruh hartamu, cukup sebagiannya saja.” Akhirnya ia menikahkan putrinya denganku sesuai persyaratan tadi.
Orang-orang mencela tindakan peilik kebun, “Kau mau menerimanya?! Sedangkan kau menolak pinangan para pembesar dan orang-orang yang berkedudukan. Mengapa engkau menghalangi putrimu dari mereka? Mengapa? Sementara kau malah menikahkan putrimu dengan orang miskin?” Kritik mereka sambil mencela pemilik kebun tadi.
Pemilik kebun tersebut mengungkapkan alasannya (mengapa memilihku sebagai menantunya): “Wahai kaumku, orang yang penyayang dan memiliki sifat wara’ (menjaga kehormatan dirinya), ia taat beragama. Oleh karena itu, orang ini termasuk hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sholeh. Alasan inilah sehingga aku memilihnya sebagai menantuku.”
Pelajaran dari kisah ini
Demikianlah kejujuran berbuah akhir yang baik, berani bertanggung jawab atas apa yang ia perbuat. Inilah sifat mulia yang dimiliki oleh seorang yang berjiwa kesatria, bersahaja, lagi bertakwa. Tidak ada motivator dan pemicu untuk mencari pemilik buah melainkan apa yang ada di dalam dada berupa takwa. Allah yang memberi jalan keluar bagi orang yang takut kepada-Nya dan menganugerahkan kepadanya kemudahan setelah kesukaran. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Allah Ta’ala dalam al-Qur’an yang mulia:
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Sesungguhnya dibalik kesulitan ada kemudahan. Sungguh dibalik kesukaran ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5-6)
Semoga kita bisa mengambil faedah dari kisah ini, dan termasuk orang-orang yang takut kepada Rabbul alamin. Amin